Part 1

165 13 0
                                    

Warna abu-abu mewarnai langit luas. Banyak gumpalan-gumpalan awan hitam yang menyerupai permen kapas yang disertai oleh kilat yang menari-nari dan melompat-lompat. Setiap satu detik sebelum kilat melangkah, ada suara guntur yang pecah. Hujan deras turun membasahi permukaan bumi. Udara menjadi sangat sejuk. Ingin aku berlari-lari di bawah jutaan titik air yang jatuh.

Tapi aku tak bisa. Keadaan tubuhku tak memungkinkan. Walaupun hari ini, matahari tak terlihat untuk 1 detik pun. Aku hanya bisa melihat anak-anak berlarian dengan senang dan mendengar teriakan-teriakan mereka dari kejauhan. Aku tak pernah merasakan apa yang mereka rasakan. Aku tak pernah merasakan bagaimana rasanya berlarian di tengah lapangan yang luas dan hidup seperti anak normal biasanya.

Jadi, sepertinya kalian sudah tahu harapanku. Tapi bagi yang belum tahu, tenang saja. Aku akan dengan senang hati memberitahu kalian. Harapanku satu-satunya adalah, dapat hidup seperti anak normal. Aku tak peduli berapa lama aku diizinkan untuk merasakannya. Aku tak peduli mau itu satu minggu atau satu hari atau bahkan hanya dalam hitungan detik. Karena yang terpenting, aku dapat melangkah keluar dari pintu rumahku, meinkmati panasnya matahari, dan mencium udara luar dengan leluasa.

Pintu kamarku terbuka. Kupalingkan wajahku dari jendela yang dari tadi kutatap dengan kosong dan kulihat adikku, Jamie yang jalan mendekat dan duduk di sebelahku.

"Apa itu?" Tanyaku sambil menunjuk kertas yang dia bawa.

Dia menunjukkannya kepadaku dan berkata "Gambar yang baru kuselesaikan. Ini Papa, Mama, aku, dan yang ini kamu."

Kulihat ada gambar 4 orang, 1 diantaranya adalah perempuan. Di sebelah kanan gambar 4 orang tersebut, kulihat ada gambar rumah yang sangat sederhana dan di ujung kiri atas kertas tersebut, kulihat ada gambar matahari. Tak ada yang menemani matahari di sana. Hanya satu matahari yang tak begitu bulat. Tak ada gambar awan, bintang, apalagi bulan.

Gambaran tersebut diwarnai dengan krayon. Tapi tak begitu rapi. Ada banyak garis yang keluar. Jangan berharap begitu banyak. Ini hanya gambaran seorang anak kecil. Hanya gambaran yang sangat sederhana. Tapi membuatku sangat sedih. Rasa sedih yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Aku bertanya pada adikku "Kau masih berharap kalau keadaanku bisa membaik, ya kan?" dengan susah payah kutahan air mata yang sebentar lagi akan tumpah. Jawaban yang kudapat hanya dua anggukan. Dia menundukkan kepalanya dan tak berani menatap mataku.

"Aku juga mau. Tapi," kali ini, aku sudah tak dapat menahan air mata yang dari tadi berusaha untuk keluar. Kulihat dia juga ikut menangis. Kutarik dia dalam pelukanku. Aku berkata dengan sangat pelan "I'm sorry" dan aku mengulanginya berkali-kali. Air mataku semakin deras. Aku tak ingin melepaskannya. Tidak. Untuk selamanya. Aku ingin bermain di pantai yang katanya indah bersama dirinya. Aku ingin jalan-jalan bersama dan membeli ice cream di taman. Aku ingin berkeliling kota dengan sepeda bersamanya. Bermain sepak bola di tengah padang rumput yang sangat luas. Bahkan terlalu banyak yang ingin kulakukan bersamanya. Sampai-sampai, aku tak dapat menyebutkannya satu-persatu. Mungkin butuh berlembar-lembar kertas untuk menuliskan semuanya.

Tapi satupun tak bisa kulakukan. Tak satupun dari sekian banyak keinginanku. Tak ada gunanya juga untuk berharap. Untuk apa kau mengharapkan sesuatu yang sudah pasti tak akan pernah tercapai. Kau hanya membuang waktumu untuk hal-hal yang mustahil.

Just Once .Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang