Part 2

97 9 0
                                    

   Jadi, apakah kita bisa berhenti begitu saja? Semuanya berhenti. Termasuk waktu dan kita akan terus berada pada detik ini juga untuk selamanya. Aku akan memeluk adikku untuk selamanya dan pelukan hangat itu, tak akan pernah kulepaskan. Tak sedetikpun.

Kedengarannya sangat gila. Ditelingaku juga. Apakah aku gila? Mungkin. Tapi sebenarnya apa yang masih bisa kau harapkan dari seorang anak laki-laki yang sudah berumur 15 tahun yang terkena Actinic Prurigo atau dalam kata lain, alergi sinar matahari? Keluar ruangan dan berada di bawah sinar matahari saja tak bisa.

Ini bukan keinginanku. Siapa yang ingin dirinya sakit? Tak ada. Tapi aku tak dapat menolak penyakit atau alergi ini. Karena ini adalah warisan dari kakekku yang sudah tiada karena penyakit ini. Aku tak bisa kecewa. Aku tak bisa marah. Kepada siapakah aku harus marah? Tak ada yang pantas mendapatkannya. Tak ada yang bersalah dan tak ada yang harus bertanggung jawab tentang hal ini.

Tadinya aku hanya bisa menerima keadaan dan pasrah begitu saja. Aku sudah melupakan keinginanku untuk sembuh. Tapi melihat adikku menangis dan begitu mengharapkan aku sembuh, keinginanku muncul kembali. Aku akan berusaha untuk menemukan cara agar aku bisa sembuh atau mungkin kalau sampai tak ada caranya, setidaknya aku dapat bersenang-senang bersama Jamie di luar ruangan. Tak apa kalau setelah itu, aku harus pulang dan tak akan kembali lagi. It's worth it, right?

Hidup hanya sehari saja, tapi merasakan kebahagiaan yang sangat luar biasa dibandingakan dengan hidup memiliki umur yang panjang tanpa merasakan kebahagiaan. Mana yang akan kalian pilih? Kalau aku sih, akan memilih pilihan yang pertama tentunya. Tapi bagaimana caranya? Aku tak diperbolehkan untuk keluar dari rumah.

Aku melepaskan pelukanku. Nafas kami sudah kembali teratur. Kami sudah merasa lebih tenang. Aku melihat matanya yang membengkak. Hidung kecilnya yang memerah. Dia masih berusaha menghapus air mata yang masih menetes. Bibirku menggambarkan senyuman yang sangat tipis. Betapa lucunya seorang anak kecil yang menangis. Mereka sangat imut dan mereka terlihat sangat rapuh.

"Kalau sampai terjadi sesuatu padaku, buat papa, mama bahagia ya?" kataku sambil menghapus air mata yang mulai menetes lagi dari matanya. Dia mengangguk dan menatap mataku. Dia sangat berusaha untuk tersenyum dan terlihat ceria seperti biasanya.

"Marvin, Jamie, ayo makan malam!" teriak mama dari luar kamar. Aku dan Jamie langsung keluar kamar dan duduk di meja makan. Kulihat papa yang duduk di seberangku sedang mengobrol dengan Jamie yang duduk di sebelah kananku. Mama menaruh 1 piring yang penuh dengan makanan di meja. Lalu duduk di seberang Jamie. Kami mulai makan. Masakan mama enak seperti biasanya. Kami mengobrol tentang banyak hal. Semuanya berusaha membuatku merasa bahagia dengan apa yang mereka katakan. Tak satu pun dari mereka yang mau menyampaikan berita buruk yang mereka punya, di hadapanku.

Aku tahu, papa dan mama sedang kekurangan uang. Semua uang yang mereka punya telah habis karena tertipu oleh seseorang yang menawarkan obat untukku. Tapi orang tersebut menghilang begitu saja setelah papa dan mama melunasi semuanya.

"Ma, pa, kalian ga perlu bertingkah seolah-olah, semuanya senang. Kalian ga perlu nutupin semuanya dariku. Aku juga mau tahu, mau bantu. Kalau kalian mau buat aku bahagia, bukan begini caranya. Kasih tahu aku gimana caranya supaya aku bisa sembuh." Kataku dengan sedikit rasa kesal yang membuat semuanya berhenti sejenak dan membawa keheningan yang luar biasa.

Tapi papa dengan sangat mudahnya memecah keheningan yang ada dan berkata "Marvin, okay, kalau kamu mau papa sama mama jujur, sekarang papa akan kasih tahu semuanya. Jadi, ka...kamu ga bisa sembuh Vin. Ga ada obat dan dokter yang bisa sembuhin kamu. Maaf kalau selama ini kamu ga bahagia. Maaf kalau selama ini kamu ga bisa ngerasaain bermain di bawah sinar matahari. Maafin papa sama mama yang ga bisa ngasih kamu apa yang kamu ha..."

"Pa, aku ga butuh yang namanya obat atau dokter supaya aku sembuh. Aku tahu itu. Aku yakin tanpa obat dan dokter aku bisa sembuh. Aku ga percaya kalau papa sama mama udah nyerah gitu aja. Selama ini, aku pikir, papa sama mama mau aku sembuh. Ternyata aku salah." Bentakku tanpa menunggu kalimat papa selesai. Ada setetes air mata yang mengalis di pipiku yang langsung kuhapus. Karena aku tak ingin terlihat lemah. Aku sedih, mereka sudah menyerah. Mereka sudah tak ingin aku sembuh. Aku menatap mata papa dan mama dengan tegas. Lalu aku melihat kearah Jamie. Dia terlihat sangat sedih. Aku tak ingin membuat Jamie lebih sedih lagi. Kuputuskan untuk bangkit berdiri dan meninggalkan ruang makan.

"Marvin! Cepat duduk lagi!" teriak ibuku. Aku mendengarnya tapi aku tak menurutinya. Aku tak pergi ke kamarku. Aku hanya berdiri di balik tembok agar aku bisa mendengar percakapan papa dan mama. Satu alasan lagi, agar tak ada yang melihat kalau sampai aku menangis.

"Thomas, sudah kubilang kalau suatu saat dia akan tahu. Kau tahu kan kalau dia anak yang cerdas?" kata mama. Aku dapat merasakan apa yang dia rasakan sekarang. Dia merasa bersalah dan menyesal. Aku pergi ke kamarku untuk beristirahat.

Just Once .Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang