Tentang Kesadaran

856 13 1
                                    

Pembaringan itu serasa dingin meskipun ia sudah berbaring cukup lama. Sebaliknya hati
Swandaru Geni justru hangat dan bahkan hampir menyala, terasa kobaran itu ikut membakar
pikiran dan perasaannya.
Hatinya menggeram, – “Bagaimana mungkin kakang Agung Sedayu punya kemampuan yang
jauh dari jangkauan nalar? Apakah Guru sudah berlaku tidak adil dan menuntun kakang
Agung Sedayu dengan lebih sungguh-sungguh dibandingkan aku?” –
Terbayang saat-saat pertama kali mereka berguru dan mendapat bimbingan dari Kiai
Gringsing. Meskipun saat itu bekal dan kemampuan Agung Sedayu memang lebih banyak dan
lebih tinggi darinya, tetapi tidaklah terpaut banyak. Disungai kademangan Sangkal Putung itu
Gurunya mulai melatih bahkan dari dasar-dasar kanuragan. Berloncatan dari batu ke batu –
yang waktu itu terasa sulit karena tubuhnya yang gemuk - cara memukul dan menghindar,
hingga menggunakan berbagai macam senjata. Disadarinya bahwa kakak seperguruannya
saat itu memang memiliki kelebihan dalam hal kecepatan dan kelincahan, sementara ia
sendiri merasa bahwa tenaganya sangat besar dan jauh diatas tenaga Agung Sedayu.
Dengan bimbingan yang sungguh-sungguh dan berlatih yang keras, ia kemudian merasa
sudah menyusul kemampuan kakak seperguruannya itu. Itulah saat mereka berdua
menerima senjata khusus sebagai ciri perguruan mereka yang berupa sebuah Cambuk.
“ Guru...”
Bibirnya mendesah, pelan-pelan ia mengangkat tubuhnya dari pembaringan dan
dipaksakannya untuk berjalan keluar.
“ Kemana kakang? “, - sebuah suara halus tiba-tiba mengejutkannya.
“Oh...”, - dengan sedikit gelagapan Swandaru menjawab, - “Aku ke pakiwan sebentar Wangi,
mungkin sambil duduk di halaman depan. Udara terasa panas”.

Swandaru kemudian menarik nafas dalam-dalam, ia seolah baru tersadar bahwa Pandan
Wangi tidur disampingnya sejak malam memasuki wayah sepi uwong tadi.
Pandan Wangi tidak bertanya lebih lanjut, ia sadar bahwa dalam beberapa hari terakhir
suaminya mengalami guncangan perasaan akibat beberapa peristiwa. Kesalahan anggapan
dan kekalahan dalam perang tanding melawan Agung Sedayu agaknya masih sulit
diterimanya. Sementara bagi Pandan Wangi sendiri hal tersebut seharusnya berdampak baik
bagi suaminya agar melihat kenyataan yang selama ini tersembunyi. Justru Pandan Wangi
berharap seharusnya Swandaru lebih memperhatikan orang-orang yang selama ini telah
menjerumuskan ke dalam lingkungan yang tidak jelas dan mengakibatkan perang.
Orang yang sering menawarkan kuda dan disebut Ki Ambara – yang ternyata adalah orang
kepercayaan Ki Saba Lintang - itu telah menjerumuskan suaminya.
Tiba-tiba dada Pandan Wangi berdesir, disamping Ki Ambara terbayang pula serauh wajah
cantik dari seorang perempuan yang bernama Wiyati. Perempuan cantik yang tewas di ujung
pedangnya itu telah menimbun segunung pertanyaan dan kecurigaannya atas hubungannya
dengan suaminya. Apakah ketika pedangnya menebas tubuh Wiyati sebenarnya wanita itu
telah hamil akibat dari perbuatan suaminya?
Ketidakpastian itu sudah lama membelenggu pikirannya, tetapi sifat Pandan Wangi yang
senantiasa berusaha menjadi seorang istri yang baik mencegahnya untuk bertanya lebih
lanjut dan mencari kejelasan kepada Swandaru.
“Ah...sudahlah, yang penting sekarang kakang Swandaru bisa lebih baik”, ia mencoba
menentramkan diri dan melanjutkan kegelisahannya dalam tidur.
Sementara itu setelah dari pakiwan Swandaru melangkah pelan-pelan menuju halaman
depan. Udara menjelang pagi terasa sejuk dan membuatnya berdiri tegak sambil memandang
langit yang sedikit berawan.
“Tidak mungkin Guru berbuat tidak adil”, - katanya dalam hati – “saat-saat terakhir Guru
lebih banyak menghabiskan waktunya di padepokan Jati Anom. Jarak Sangkal Putung jauh
lebih dekat di banding Menoreh, seharusnya justru aku lebih sering bisa bertemu Guru”
Selembar daun kering lepas dari tangkainya akibat tertiup angin dan jatuh dekat kakinya
berdiri.
“Ketika merasa sudah lanjut usia dan fisiknya mulai lemah, Guru menyerahkan sebuah kitab
atau rontal yang kemudian kami pelajari bersama-sama meskipun dengan bergantian,” –
Swandaru melanjutkan angan-angannya – “Itu memang sebuah bentuk keadilan bagi kami
sebagai murid-muridnya yang sudah mentas. Tetapi bagaimana mungkin kakang Agung
Sedayu kemudian menjulang seolah kemampuannya tidak bisa aku gapai sama sekali?
Matanya mampu meledakkan bukit karang, tubuhnya mampu membelah tiga dengan
kemampuan meringankan tubuh yang tak tertandingi, bahkan tenaga yang selama ini aku
andalkan tidak berarti apa-apa di hadapan kakang Sedayu”
Sambil melangkah mendekati regol depan, mata Swandaru tertuju pohon jambu air yang
belum lama di tanam. Sekali lagi ia menarik nafas dalam-dalam, pohon yang lama telah habis
meranggas karena terbakar dan porak poranda akibat sebuah pertarungan.
“Sabungsari…”, - tiba-tiba bibir Swandaru berdesis pelan

Ia teringat pada suatu malam dimana seluruh Kademangan tertidur lelap akibat sebaran sirep
yag kuat. Serombongan orang berkemampuan linuwih menggempur rumahnya dan hampirhampir membawa bencana untuk seluruh keluarganya. Betapapun ia berjuang, tetapi ia kalah
jumlah, apalagi semua yang datang malam itu adalah orang yang memiliki kemampuan
sangat tinggi.
Di saat-saat kritis itulah sejumlah prajurit menerobos halaman dan ikut serta dalam
perlawanan. Salah satunya adalah Sabungsari, prajurit muda yang juga sahabat dekat kakak
seperguruannya. Pohon jambu air yang kemudian mranggas itu adalah akibat pertarungan
Sabungsari dengan lawannya yang memiliki ilmu api. Meski Sabungsari harus terluka parah,
tetapi ia berhasil mengalahkan lawannya malam itu.
“Setinggi apakah kemampuan Sabungsari itu sebenarnya” – Swandaru mendesah, - “ia
mampu mengambil alih lawanku dan bahkan membunuhnya”
Rasa penasaran yang bercampur kegelisahan mendera hati Swandaru. Tubuhnya
membungkuk mengambil sebuah batu sebesar dua kepalan tangan orang dewasa.
Dipegangnya batu itu dengan tangan kiri dan dalam setengah tarikan nafas, tangan kanannya
mengayun dengan cepat. Dalam sekejab batu itu sudah berubah bentuk, pecah berserakan.
“Hemmm…….”, - terdengar Swandaru mendesis.
Hatinya sedikit mengembang sebelum akhirnya menguncup lagi.
“Tetapi kakang Agung Sedayu mampu memecahkan batu karang tanpa menyentuhnya,
bahkan apakah benar bahwa Sabungsari pun mampu melakukannya?”
Swandaru berjalan mendekati pohon jambu air yang masih belum tinggi itu. Di usapnya
beberapa daun yang baru trubus itu sambil pikirannya terus berkelana.
“Apakah memang selama ini aku buta terhadap orang disekelilingku?”
Nafasnya tiba-tiba menjadi berat

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 23, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pudjo Riswantoro  : Balada Swandaru Geni (Sempalan Api di bukit Menoreh)iTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang