Prolog

393 24 12
                                    

AKU percaya dan perlahan-lahan mulai paham tentang arti dari kehidupan ini. Setiap manusia pasti diciptakan dengan misi-nya masing-masing, dan saat ini aku sedang menjalankan misiku.

Menjadi seorang psikiater memang bukanlah hal yang mudah, setiap harinya aku harus bertemu dengan pasien yang mengalami gangguan kejiwaan. Ya, aku seorang psikiater yang bekerja di sebuah rumah sakit jiwa.

Psikiater identik dengan pasien sakit jiwa. Berbeda dengan psikolog yang hanya membuka konsultasi persoalan kejiwaan yang belum akut, psikiater menangani klien yang sudah berada pada taraf sakit jiwa dengan pendekatan psikologis dan medis. Dalam praktiknya, psikiater memberikan penanganan pada pasien dengan memberikan obat-obatan anti-depresan. 

Psikiater adalah dokter yang mempelajari ilmu jiwa. Karena aku sendiri memiliki gelar dokter, tetapi mempelajari dan memperdalam ilmu kejiwaan. Setelah mendapat gelar Dr. Dan lulus S1, aku pun melanjutkan S2 ku pada bidang psikiatri.

Pekerjaan ku ini bukan ku lakukan karena terpaksa. Saat itu aku memang sudah mentekad-kan diriku untuk fokus pada bidang psikiatri.

Sudah hampir lima tahun aku bekerja di rumah sakit jiwa yang terletak di kawasan Bandung ini. Menjadi psikiater memanglah tidak mudah, selain harus belajar ekstra dan kerja keras, aku juga dituntut harus mempunyai kesabaran yang tidak ada habisnya.

Tidak jarang, kaca mata yang aku gunakan pecah setiap harinya. Tentu saja itu karena ulah pasien. Sering kali mereka memukuli ku dengan benda apapun yang ada di dekat mereka, atau bahkan mereka pernah mendorong ku hingga aku terjatuh. Dan sampai yang paling gila--yaitu, ada pasien yang pernah menciumku!

Aku sudah biasa menghadapi pasien-pasien seperti itu. Tolong maklumi mereka, karena mereka sedang sakit. Rumah sakit jiwa tidak lah se-menyeramkan yang kalian pikir. Memang ada saatnya pasien mengamuk tidak jelas dan membuat para dokter pusing bukan main. Tapi itulah resiko seorang psikiater.

Dan saat ini, aku tengah berbincang dengan para pasien. Mereka akan senang jika diajak mengobrol, karena kebanyakan dari mereka tidak pernah lagi dijenguk oleh keluarganya. Sungguh prihatin.

Pandanganku teralihkan pada sosok pria yang hanya terdiam, tatapannya kosong. Aku tahu dia sedang melamun.

Aku menghampirinya, dia tetap acuh. Sudah biasa bagiku melihat pemandangan ini. Mata hitam dengan tatapan kosong serta sorot yang begitu dingin. Aku ingin menangis setiap kali melihat sorot itu.

Dia, Dave.

Dia yang membuat ku berkecimpung dalam Dunia kejiwaan ini.

Dan ini adalah sebuah pembuka, dari kisah di Rumah sakit jiwa.

------

TBC

Dont forget to vote and comment!

Love,       

Sheilabiila

RSJ 99Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang