A House That Feels Different

73 30 10
                                    

Deru mesin mobil berhenti di pekarangan rumah lamaku. Aku turun dari mobilku dan berjalan pelan, semakin dekat dengan rumah itu. Bangunannya masih kokoh seperti dulu, hanya saja sarang laba-laba mendiami sudut-sudutnya. Aku tersenyum tipis ketika melihat mainan rumah-rumahan kecil yang tergeletak di atas karpet. Benda itu tampak berjamur dan sudah patah sana-sini.

Karena ini masih siang hari, jadi seantero rumah tampak terang setelah aku membuka jendela. Kakiku pun menapaki satu-persatu anak tangga untuk mencapai lantai atas dimana ada kamarku dan kakakku. Pintu kamarku masih sama, terdapat gantungan berpola lingkaran berwarna pelangi dengan tulisan 'Selena'.

Selanjutnya, aku membuka pintu bercat putih yang sudah terkelupas itu. Terdengar bunyi yang memilukan hingga aku menutup telinga dengan tangan. Begitu aku memasukinya, debu-debu menyambutku, membuatku terbatuk-batuk. Aku memandang sekeliling.

Ranjang berukuran sedang itu masih ada disana, di dekat jendela seperti yang aku mau dulu. Wallpaper berpola bunga mawar tampak kusam dan mengelupas. Aku membuka jendela dan terlihatlah pemandangan pegunungan nun jauh disana. Ini yang kusukai dari kamarku. Ketika aku banyak pikiran, aku akan duduk di dekat jendela dan melihat pemandangan yang menyegarkan mata.

Bunyi handphone dari saku cardigan biru yang kupakai mengalihkan pandanganku. Aku menatap layar yang menyala, tampak nama 'Mama' disana. Jari jempolku menggeser tombol hijau.

"Halo, Ma?"

"Kau dimana, Selena?" Mama terdengar khawatir.

"Bukannya aku sudah bilang aku akan pergi ke rumah lama kita?" Dahiku mengernyit, meskipun Mama tak melihatnya.

"Ta--"

Tut tut.

Oh, sial. Sambungannya terputus. Mama akan menyampaikan sesuatu sepertinya. Jadi aku meneleponnya kembali, tapi tak ada satupun panggilan yang diangkat. Aku jadi cemas. Ingin pulang, namun masih rindu dengan rumah ini.

Setelah bergelut dalam pikiran, aku berjalan menuju laci di nakas samping ranjang. Isinya hanya sisir, cermin kecil, dan ... diary. Aku tersenyum kecil, lalu mengambil buku kecil berwarna kuning cerah itu dan meletakkannya di atas pangkuan.

12 Januari 2010

Hari ini Ayah membelikanku boneka beruang super besar dan diary ini! Aku langsung menjerit kegirangan, bahkan sebelum Ayah selesai melepas sepatunya. Ah, bahagianya aku!

-Selena

15 Januari 2010

Ayah sakit, Ya Tuhan! Seharian ini dia ada di kamarnya dan terus terbatuk-batuk. Aku tidak boleh dekat-dekat dengannya karena takut tertular. Ibu pontang-panting membelikan obat dan buah-buahan. Kuharap Ayah cepat sembuh...

-Selena

Kertas pada halaman berikutnya telah berjamur dan robek. Tulisannya juga sudah luntur dan hanya menyisakan warna biru tua. Aku membuka halaman selanjutnya.

10 Februari 2010

Aku dapat nilai sempurna dalam ulangan Matematika tadi! Miss Anna memberiku hadiah cokelat yang sudah habis dimakan Si Gendut Fira :( oh, dan Ayah juga membelikanku sepeda baru yang tentunya lebih bagus daripada sepeda lamaku! Asyik!

-Selena

Aku terpaku begitu mendengar suara seperti benda jatuh dari lantai bawah. Kututup diary ini dan menaruhnya seperti semula. Antara ragu dan takut untuk turun ke bawah. Mataku menoleh sekeliling, sekedar waspada kalau-kalau ada penyusup masuk.

Cukup lama aku terdiam dan suara itu tak lagi terdengar. Dengan sedikit keberanian, langkah gontai membawaku ke bawah. Di tanganku ada pemukul baseball yang kudapatkan di samping lemari. Jika benar ada penyusup, aku akan langsung memukulnya dan aku bisa pulang!

Aku menoleh ke kanan kiri ketika sudah sampai di lantai bawah. Seantero rumah tampak sepi dan agak gelap. Kosong. Tak ada apapun. Lalu, tadi itu suara apa?

Belum selesai keherananku, suara langkah kaki menyuruhku untuk sadar. Aku mengedarkan pandangan lagi, takut. Seketika rumah tua ini begitu mencekam. Aku akhirnya memutuskan untuk pergi dari sini secepatnya.

Dengan berlari kencang, aku keluar dari rumah dan langsung memacu mobil dengan kecepatan hampir maksimal. Bulir-bulir keringat muncul dari pelipisku. Aku melihat ke kaca spion dan rumah itu kian hilang dari pandangan.

Mama langsung memelukku begitu aku sampai rumah. Sejujurnya aku masih bingung dengan sikapnya yang terlampau aneh. Padahal aku belum menceritakan kejadian ganjil di rumah lamaku tadi.

"Ma, sebenarnya ada apa dengan rumah itu?" tanyaku pelan, setelah meneguk air mineral yang dibawakan Mama.

Mama menghela napas, sementara aku menanti kalimatnya. "Ya, Mama mengiyakan sewaktu kau meminta izin ke rumah itu. Tapi, kau tidak tahu hal ini." Dia menatapku serius. "...Rumah itu sudah terbakar empat bulan lalu, dan Mama baru mengetahuinya tadi dari tetangga kita."

•••

Nah lho, rumahnya masa ajaib tiba-tiba kebentuk lagi :v

Btw, hai! Ketemu lagi :)) semoga kalian suka sama cerita keduaku setelah Many Times. Kritik & saran selalu terbuka, kok >.<

Dadah~

A House That Feels DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang