Bab I

12 0 0
                                    


Aku melihatnya panik.

Karena waktu itu diantara kami tidak ada yang menyangka hujan akan turun.

Berteduh adalah pilihan kami satu-satunya.

Kami, yang berdiri di bawah lindungan atap seng ini sibuk mengibas-ngibaskan pakaian kami yang terkena satu hingga beberapa tetesan hujan.

Diantara kami ada yang bercanda-canda dengan hujannya. Ada juga yang menghina kedatangannya. Ada yang menjadikannya kesempatan berpeluk-pelukan. Ada juga yang begitu gelisah...

Aku memerhatikannya dengan jangkauan yang terbatas. Karena ada beberapa orang yang menjadi sekat diantara kami. Lagi pula, aku tidak benar-benar mengenalnya. Hanya sebatas kagum, karena dia punya raut wajah manis yang alami. Benar-benar manis.

Tapi, hanya dia yang waktu itu bernasib sama denganku. Sama-sama tidak ada yang diajak bicara.

Maka dari itu, aku dekati dia dan mengobrol sedikit.

Namanya IRIS ANGGITA QUEENIREN,

( Dalam buku harian Arkha, -Petrichor hal:769- )


"Halo?"

"Ohya haii," gadis itu tampak ragu telah mengenal laki-laki yang baru saja menyapanya itu. Ia berusaha meyakinkan, bahwa ia mengenal laki-laki itu. Walau hanya sekedar berpapasan—lempar senyum—dan selesai.

"Kamu nggak bawa mantel?" tanya laki-laki itu sedikit sok kenal dengan kedua tangan yang menggenggam dua buah tali tas yang dicantolkan ke bahunya.

"Enggak, karena aku pikir sekarang belum masuk musim hujan." gadis itu mengakhiri pernyataannya dengan secuil senyuman, yang membuat laki-laki itu menyamankan dirinya disana.

"Oh gitu, yaudah kalau mau pakai aja dulu mantelku." Tawar laki-laki itu.

Gadis itu terlihat bingung. "Kamu bawa mantel? Kenapa enggak pulang?"

"Ehhmm... biasanya aku nunggu hujannya sampai reda." Laki-laki itu beralasan. Sebenarnya, bukan itu yang terjadi. "Ohya, kita belum kenalan secara resmi. Namaku Arkha Dwiki Pradipta," akhirnya momen yang ditunggu Arkha terjadi juga.

"Aku, Iris Anggita Queeniren."

Disaksikan atap seng dan kesibukan orang-orang, mereka berdua telah resmi berkenalan.

--------


22 Januari 2014,

"Jadi gimana?" Mayang menyeruput milk tea miliknya dengan pandangan setengah melirik sahabatnya yang duduk berhadapan dengannya. Iris terlihat gagu. Resah seribu kata. Tak satupun kalimat dari bibirnya yang membuat suasana diantara keduanya hidup. Bila ada satu hal yang hidup, itu adalah keraguan Iris.

"Aku selalu merasa itu enggak akan ada gunanya." Sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Iris berusaha memberi keputusan.

"Sebelum aku pergi ke Singapura kamu bilang, kalau saat aku kembali aku udah bisa lihat naskahmu itu terbit. Ternyata selama dua belas tahun, kamu masih biarin naskah kamu itu cuma jadi mumi dalam peti. Dua belas tahun Ris! kamu enggak pernah ngerasa punya hutang?"

"Yaa... tapi..."

"Karena kamu selalu inget tingkah Arkha dulu? waktu dia tiba-tiba jadi ilfeel dan menjauh dari kamu?"

Dari dulu Mayang tidak pernah gagal menebak isi hati dan pikiran Iris. "Mayang... jujur aku enggak bisa lupa sama hal itu. Setiap aku melihat naskah aku, aku selalu inget sama kejadian itu."

PetrichorisWhere stories live. Discover now