AKU HAMIL
Setidaknya begitulah kata ibu. Aku juga kurang mengerti bagaimana ini bisa terjadi. Mungkin ini karena tetanggaku yang bulan lalu mengajarkan sesuatu yang baru. Sesuatu yang tidak pernah aku perbuat. Merasa cantik, unik, dan nakal. Semua itu membuatku bahagia.
Tanpa sadar, setiap pagi aku ingin berbincang dengannya dan selepas semua orang tidur aku mendapati rumahnya. Mungkin, karena itu aku diberikan kedewasaan yang baru. Maka Tuhan menitipkan bayi-bayi mungil dalam rahimku.
"Seharusnya kamu tidak hamil. Masa depanmu akan berbeda jika kamu memiliki anak. Kamu tahu, mempunyai anak itu berat. Tubuhmu menjadi kurus dan mulai rusak, dan puting dadamu akan disedot bahkan digigit oleh anakmu."
Aku hanya terdiam, menatap ibu yang berbicara dengan nada sedih. Seburuk itukah mempunyai anak?
Perutku mulai membuncit, dengan berat badan yang membuatku malas untuk berjalan. Aku tidak seceria dahulu. Kini, duduk saja membuat napasku engap. Setiap waktu membuatku ingin memakan sesuatu.
Mungkin, inilah awal dari akhir masa mudaku.
Aku ingat, bagaimana ketiga kakakku suka bermain denganku. Kita sering tertawa, bahkan bermain kejar-kejaran. Semua memori itu kusukai, terutama bagaimana senyum mereka ketika mengajakku high five, atau bagaimana wajah teduh mereka ketika membelai kepalaku.
Gelap malam juga seringkali membangunkan memoriku. Bagaimana dahulu aku menangis ketakutan ketika petir berteriak marah di sela awan dan ibu selalu mendatangiku. Mengelusku manja dan membuat aku kembali tenang bersandar padanya.
Aku tidak pernah menyangka, kalau aku yang akan menjadi seorang "ibu".
Aku rasa, aku masih belum pantas menjadi ibu.
Aku masihlah seorang bocah yang gemar bersenang-senang. Jangankan mengurus seorang anak, mandi pun aku masih susah.
"Kenapa kamu hamil?"
Kakak pertamaku bertanya dengan wajah muramnya. Ia mengelus kepalaku perlahan, membuatku bungkam dan hanya dapat menatapnya. Kenapa aku hamil? Aku sendiri tidak tahu jawabannya. Apa mungkin ini hukuman dari kenakalanku?
Kakak keduaku mempunyai raut yang sama ketika menatapku. Selalu saja, mata hitamnya itu tertuju pada perutku yang kian membesar. Meski tanpa kata dan pertanyaan, aku tahu ia sedang mengisyaratkan kekecewaannya.
Kini, bulan-bulan kelahiran bayiku semakin dekat. Minggu-minggu membuatku kian berat menyeret kaki. Membungkukkan badan juga membuat paru-paruku terhimpit, sehingga napas pun susah.
Anggota keluargaku tak lagi bersuara bagaimana besar perutku. Mungkin mereka sedikit banyak sudah menerimanya. Sejujurnya, aku ingin kembali ke masa lalu. Menjadi ibu mungkin pekerjaan terberat yang tidak akan pernah aku bisa lakukan. Aku belum sanggup.
Siang itu, matahari masih menyengat dan bahkan hujan bulan November belum turun. Tanpa sadar, aku melolong tidak jelas. Nyeri membuatku berteriak dan menarik perhatian ibu. Wanita itu menatapku panik, kemudian mengambil kain untuk menahan darahku yang merembes turun. Kakiku mati rasa.
Aku mulai merasa kalau aku berdiri di ambang kematian. Mengeluarkan seorang bayi membuat kakiku mati rasa. Tidak, aku tidak kuat untuk mengeluarkannya. Tetapi, ibu menatapku dengan mata yang penuh harapan. Membuatku berkata pada diriku sendiri.
Ayo, satu kali lagi kamu bisa.
Dan, anakku lahir ke dunia. Kelima anakku lahir dengan selamat, tampak mungil dan lemah. Seperti vas bunga keramik yang rapuh. Ibu menatapku dengan pandangan bangga, begitu ia melarikan maniknya pada anakku, aku tahu kalau ia sama besarnya menyayangi mereka.
"Mochi, kamu menjadi ibu!"
Dan aku menjilat tangannya sebagai ciumanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAN AKU HAMIL
Short Story[18 +] AKU HAMIL. Begitulah kata ibu begitu melihat perutku yang membesar.