Langit Kotabaru

78 9 20
                                    

Suara pintu yang didobrak paksa mengejutkan Sumini ketika melihat beberapa tentara bermata sipit menghambur ke dalam kamar yang hanya dibatasi gorden tipis nan kumal. Sumini yang meringkuk di samping dipan tak sanggup menatap mereka yang kini berdiri dihadapannya. Seorang tentara yang sepertinya adalah pemimpin pasukan, memerintahkan sesuatu yang bahasanya tidak dimengerti oleh Sumini. Setelahnya, satu orang tentara melesak maju, kemudian meraih tangan Sumini dengan kasar dan menyeret dengan paksa keluar kamar. Sumini hanya bisa menangis. Di antara buram airmatanya yang mengalir membasahi pipi, ia melihat simbok dan bapak hanya menggigil di sudut ruang, seorang tentara menodongkan popor senapan kearah mereka.

Sumini dimasukan ke dalam sebuah truk yang ternyata telah penuh berisi perempuan-perempuan muda sepertinya. Wajah mereka penuh ketakutan. Mata mereka sembab. Sumini yakin mereka mengalami hal yang sama, ingin melawan tetapi tidak kuasa, karena jika melawan taruhannya sungguh berat. Peluru-peluru akan beterbangan dari moncong senapan dan menembus ulu-hati sanak saudara yang ada.

Sumini duduk di samping seorang gadis yang sepertinya sudah di kenalnya. Oya, Darmini, adiknya Parmin. Darmini terlihat begitu berantakan, rambutnya yang masih awut-awutan di tali dengan karet gelang merah seadanya. Darmini hanya menunduk, jemari-jemari tangannya saling meremas. Entah mengapa kemudian tangan Sumini memeluk pundaknya, mereka saling berpelukan dalam isak yang tertahan.

Kedatangan tentara Dai Nippon ke Indonesia memang telah menyebar luas beritanya. Janji mereka untuk memerdekakan bangsa Indonesia seperti angin sejuk yang menelusup ke setiap telinga. Namun, kekejaman mereka memperbudak perempuan-perempuan dan anak-anak membuat hati seluruh rakyat cemas.

Tubuh mereka terguncang mengikuti irama truk yang melewati jalan tanah berbatu. Dari sedikit celah terpal yang menjadi atap truk, hanya gelap yang terlihat. Dengusan nafas mereka terdengar mengiringi truk yang melaju perlahan.

***

Lelaki itu setiap pagi selalu lewat di depan rumah Sumini. Entah sejak kapan hatinya selalu berdegup kencang setiap melihat lelaki itu lewat di hadapannya. Biasanya dia lewat ketika Sumini sedang menyapu halaman rumah yang tidak begitu luas. Lelaki itu akan berhenti dan menyapanya sejenak, mengulaskan sebuah senyum.

"Pergi kerja, Mas?" tanya Sumini malu-malu.

"Yo, Min. Aku berangkat dulu ya, nanti kesiangan." Ucap lelaki yang bernama Parmin itu sambil melenggang meninggalkan Sumini yang masih menatap punggungnya.

Tak ada yang salah jika degub dada Sumini bertalu-talu setiap menatap punggung kokoh, lelaki gagah berkulit sawo mentah, dengan tubuh tegap sekitar 170 cm. Sumini dan Parmin bersahabat baik sejak kecil. Tapi Sumini merasa malu dengan apa yang dirasakanya. belum tentu Parmin mempunyai perasaan yang sama dengannya. Sumini hanya melihat mata Parmin yang lembut setiap menatapnya, meskipun hanya sekilas. Kini ketika usia mereka menginjak remaja, kegiatan mereka tak lagi sama. Sejak umur sebelas tahun, Parmin sudah bekerja membantu Pak Karso, juragan sembako di Pasar Kliwon. Sedang Sumini lebih sering di dalam rumah, membantu simbok di dapur dan sisanya Sumini belajar menjahit baju di rumah.

Sore itu, lelaki yang sering mengganggu pikirannya berdiri di depan pintu rumah bambunya. Ada nada gugup yang Sumini tangkap dari raut wajah tegas itu. Simbok dan Bapak turut serta menemui Parmin di depan pintu.

"Nyuwun sewu, pak. Saya dengar kabar jika banyak anak-anak gadis yang di bawa paksa oleh tentara Nippon. Desa sebelah sudah terjadi kemarin malam. Saya hanya khawatir, Sumini juga akan mengalami hal yang sama. Saya harap Bapak dan Ibu berhati-hati saja." Ujarnya gugup. Dalam getar bibir simbok dan bapak saat mengucapkan terimakasih, ada raut wajah kecemasan di sana. Dan hari itu terakhir kalinya Sumini melihat wajah Parmin.

***

Mereka ditawan di dalam satu ruangan yang penuh sesak. Usia mereka hampir sebaya, namun tak ada sedikitpun raut wajah bahagia yang terpancar dari setiap penghuni. Darmini menggenggam erat tangan Sumini. Mereka duduk berdampingan. Resah menggelayut di dalam hati. Mata mereka tak bisa nyenyak, meski malam itu tidak terjadi apa-apa.

Pagi masih lelap, tiga orang tentara menyeruak masuk, dengan suara lantang membangunkan para penghuni kamar yang jumlahnya lebih dari seratus. Mereka berusaha berdiri dengan tegap, meski kemudian langkah kaki mereka masih sempoyongan. Darmini, Sumini dan perempuan-perempuan lainnya keluar dari kamar dan beraris rapi di halaman. Kini mereka tahu bahwa di sinilah barak para tentara Jepang.

Ketika hari berganti senja, tubuh mereka terasa lunglai. Seharian di sengat matahari untuk bekerja di sawah ataupun membangun jalan, tetapi sesuap nasipun tidak mereka dapatkan. Mata mereka mulai terpejam, ketika tiba-tiba beberapa tentara jepang menyergap masuk, menarik tangan Darmini, Sumini dan beberapa wanita lainya. Suara teriakan mereka hanya di lawan dengan tamparan tangan para tentara Nippon yang terlihat beringas.

Sumini di bawa ke sebuah barak yang di dalamnya sudah berdiri empat tentara lainnya. Tubuh Sumini menggigil, airmata mengalir perlahan dari pipinya. Tentara itu dengan beringas merobek gaun Sumini, Ia hanya bisa merintih menahan segala laranya. Satu persatu tentara itu bergantian menikmati, Hanya satu tentara di sudut barak yang bergeming menatap Sumini yang kini nyaris mati. Ia hanya mendekat ke arahnya kemudian berbalik tanpa melakukan ap-apa. Namun, matanya tak lepas menata Sumini yang terlihat hampir mati.

Tubuh Sumini benar-benar terasa remuk. Dalam keadaan nyaris sekarat, Sumini teringat dengan Darmini yang tadi juga di seret bersamaan dengan dirinya. Darah Sumini terasa menggelegak, seperti ada api yang membakarnya. Bisikan-bikikan jahat untuk segera menghabisi nyawa para tentara bergelung dalam pikirannya. Tetapi dengan apa? Bahkan Sumini nyaris tidak bisa bergerak.

***

Parmin berdiri tegap di depan rumah bambu yang kini terlihat muram. Simbok dan bapak menyambutnya dengan sendu. Bapak teringat sebelum Sumini dibawa paksa tentara Nippon, Parmin sempat mengutarakan maksudnya untuk menikahi Sumini, Bapak Hanya mengiyakan, pun dilihatnya Sumini juga menaruh hati terhadap lelaki pekerja keras ini.

"Ada kabar Sumini, Pak?" tanyanya ragu. Kepala Bapak hanya menggeleng. Raut wajah keriput itu terlihat semakin menua. Mereka hanya bergeming.

Bayangan Parmin menyading Sumini, sepertinya masih jauh dari angan. Wanita berlesung pipit, berkulit sawo mentah dengan rambut hitam sepanjang pinggang yang dia kepang dengan rapi telah menghantui hati Parmin. Duka hati parmin bertambah, dua orang yang ia cintai kini tak tentu rimbanya.

Sementara itu Sumini dan Darmini menahan perih lahir dan batin atas perlakuan tentara Jepang yang tidak ada habisnya. Sumini teringat satu tentara yang hanya selalu memandangnya. Kilat cahaya matanya berbeda. Entah apa yang ada di dalam pikiran tentara itu, yang kemudian diketahuinya bernama Ishida. Setiap tiba gilirannya untuk menikmati tubuh Sumini, tentara-tentara lainnya dalam satu barak selalu memanggil namanya, Ishida. Masihkah ada tentara Jepang yang berhati nurani? Tanya Sumini ragu.

***

Awan bergumpal di atas langit Kotabaru, Yogyakarta. Parmin di antara para pejuang Yogyakarta, Barisan Penjagaan Umum dan polisi istimewa bertekad merampas markas Jepang yang menduduki Kotabaru. Pertempuran sengit tak dapat dielakkan. Bias wajah kebahagiaan atas kemenangan yang diraih atas menyerahnya Jepang kepada para pejuang Yogyakarta. Mereka melucuti senjata Kaigun satu persatu. Membebaskan para tawanan wanita yang disekap di salah satu barak sempit di sana.

Parmin terpaku. Di depannya terlihat dua wanita yang dicintainya seperti mayat hidup yang tak bernyawa. Sumini menatap Parmin. Seketika airmata luruh bercucuran membasahi pipinya, Sumini merasa dirinya seperti daun-daun kering yang jatuh berguguran mengingat semua kebiadaban yang terjadi padanya. Tak ada lagi degub dada untuk Parmin. Hatinya membeku.

Parmin menuntun Sumini dan Darmini, adiknya, keluar dari barak. Di antara alam khayalnya Sumini mendengar Parmin berkata,"ayo kita pulang! Bapak akan menikahkan kita." Suara itu nyaris sama seperti yang pernah didengarnya dari Ishada, tentara Nippon yang tak pernah menyentuhnya dan kini mungkin harus meninggalkan Indonesia,"Menikahlah denganku," begitu ucap Ishada di malam terakhir setelah ke sekian ratus pertemuan mereka. Sebagai wanita, seharusnya Sumini bahagia. Namun, di dalam pikirannya kini dia hanya merasa seorang wanita pendosa yang tak pantas untuk siapa-siapa.

Awan di langit Kotabaru menggumpal hitam. Seolah ingin menumpahkan airmata yang tertahan, menghapus segala noktah hitam yang menghancurkan hati perawan.(tamat)

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 27, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Langit KotabaruWhere stories live. Discover now