Tiga

11.7K 1K 28
                                    

Dastan

Tepat pukul delapan malam gue sudah tiba di Jember. Syukurnya rumah sakit tempat Kiara dirawat nggak begitu jauh dari stasiun, jadi gue bisa naik ojek yang ada di sekitaran stasiun untuk bisa cepat sampai tujuan.

Touch down rumah sakit. And damn! Ponsel gue mati dan tadi saking keburunya nggak sempat bawa charger ataupun powerbank. Akhirnya gue masih harus tanya bagian administrasi untuk mencari di mana kamar Kiara dirawat. Saat sedang menunggu petugas rumah sakit mencari kamar atas nama Kiara, gue melihat sahabat Kiara. Itu Nadine, baru keluar dari lift dan masih mengenakan jas dokternya. Dia berjalan cukup tergesa.

"Nadine! Nadine!"

Gue terpaksa berteriak memanggil nama Nadine beberapa kali, karena memang jarak kami agak jauh kalau memanggilnya hanya bisik-bisik tetangga. Nadine berbalik arah mencari sumber suara yang menyerukan namanya. Dia langsung bisa menemukan dan melangkah tergesa ke arah gue.

"Kiara, Nad!" ujar gue penuh kekhawatiran.

"Baguslah kamu sudah di sini. Ayo, ikut aku. Kamu harus menemui dokter kandungan yang merawat Kiara selama ini."

Nadine bukannya mengajak gue ke kamar Kiara, malah mengajak gue ke ruangan dokter.

"Tapi aku mau ketemu Kiara dulu," jawab gue, menahan Nadine yang sudah melangkah lebih dulu.

"Kiara lagi tidur, ada Bude Mayang yang jagain. Kamu mending ketemu sama dokternya dulu, ya?"

Dengan berat hati gue menuruti ajakan Nadine. Setelah berjalan beberapa menit gue dan Nadine masuk ke ruangan dokter yang merupakan dokter kandungan Kiara. Seorang dokter perempuan, berusia kira-kira empat puluhan. Gue ketemu dokter ini baru dua kali, pertama waktu tahu Kiara hamil. Kedua sekitar dua bulan lalu saat jadwal periksa rutin dan kebetulan gue lagi cuti. Jadi bisa menemani kontrol ke dokter kandungan.

"Selamat malam Pak Dastan. Mari silakan duduk," ujar dokter tersebut ramah.

"Ya, Dok. Terima kasih."

Nadine meninggalkan ruangan dokter, setelah gue duduk di kursi yang telah disediakan di depan meja konsultasi.

"Begini, Ibu Kiara mengalami pendarahan hebat tadi siang, dan ternyata bayi di dalam kandungannya sudah tidak bergerak lagi saat ibu sampai di rumah sakit."

Tiba-tiba hening... Bahkan yang bisa gue dengar hanya suara detak jam dinding memenuhi ruangan ini.

"Maksud dokter?" tanya gue kemudian.

"Saya minta maaf, karena calon bayi bapak dan ibu tidak bisa kami selamatkan. Kami bersyukur, bapak bisa segera tiba di sini. Karena kami butuh persetujuan bapak supaya bisa segera melakukan kelahiran spontan untuk mengeluarkan bayinya dari rahim Ibu Kiara."

"Jadi maksud dokter, calon anak saya sudah meninggal?" tanya gue sekali lagi, memperjelas apa yang disampaikan oleh dokter.

"Iya, Pak. Maaf, kami turut berduka cita."

"Apa penyebabnya, Dok? Apa karena kelelahan, stress atau apa?"

"Bisa jadi semuanya benar. Sejak awal saya sudah mewanti Ibu Kiara supaya tidak mengerjakan pekerjaan berat atau perjalanan jauh selama kehamilan masih memasuki trimester pertama. Tapi bukan cuma itu saja permasalahannya yang menyebabkan kematian mendadak pada calon bayi. Sepertinya sel sperma dan sel ovumnya bukan yang terbaik saat terjadi pembuahan. Sehingga janin tidak bisa berkembang sempurna. Sudah pernah saya terangkan dulu, saat ibu Kiara mengalami bedrest di usia kandungannya yang baru berusia tiga bulan, bahwa kandungan Ibu Kiara bermasalah, janin agak terlambat perkembanganya. Namun ibu Kiara bersikeras bisa mempertahankan janin tersebut hingga lahir. Saya mencoba menjelaskan dengan bahasa non medis, agar bapak mengerti maksud saya. Tapi nanti saya akan melakukan observasi kembali. Semoga saja tidak ada myom atau kista di dalam rahim Ibu Kiara."

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang