Angan Tanpa Balasan

51 14 4
                                    



Mencintainya menumbuhkan sedikit rasa sakit. Padahal orang bilang, mencintai itu berarti akan ikut bahagia melihat orang yang kita cintai bahagia bersama orang lain, ya meski bukan bersama kita. Tapi, aku tidak merasakan itu. Aku merasa sakit setiap kali dia sedang dekat dengan lawan jenisnya yang lain. Aku sakit bila senyumnya lebih sering terlukis karena orang lain, bukan karena aku. Seperti halnya sekarang ini.

Dia, ya dia, lelaki berkacamata dengan warna kulit hitam yang manis yang aku sukai itu kini tengah tertawa dengan seorang perempuan yang mengenakan jilbab sampai menutupi dadanya. Mereka duduk berhadapan dengan sebuah meja yang memisahkan. Di meja tersebut ada sebuah buku dengan tulisan FISIKA yang dicetak tebal pada sampulnya dan beberapa buku bersampul coklat dan tentunya ada pulpen serta penggaris. 

Beberapa menit lalu perempuan tersebut, oke sebut saja namanya Anggun, meminta Rama mengajarinya mengenai materi tentang listrik. Tapi, sekarang mereka kelihatan sedang bercanda dan membahas sesuatu yang entahlah apa. Dari tempatku berada saat ini aku tidak dapat mendengarnya, karena aku berada di luar kelas Rama, lebih tepatnya saat ini aku sedang memerhatikan Rama dari jendela kelasnya. Ah, seandainya aku bisa sekelas dengannya.

"Hey, De, Nunggu lama ya?" tanya Gina temanku yang kebetulan sekelas dengan Rama.

Aku mengalihkan pandanganku dari Rama pada Gina.

"Enggak, kok. Lagipula aku juga baru keluar kelas," jawabku seraya tersenyum.

"Baguslah."

Gina mengapit tangan kananku. Sepintas aku melihat kembali ke arah Rama. Ah sepertinya mereka hari ini pun akan pulang bersama.

"Sudah lupakan, Rama," ujar Gina dengan nada suara yang entah kenapa terasa dingin bagiku.

"Apa salah kalau aku merasa...."

"Sudahlah, bukankah pepatah lama bilang kalau cinta itu tidak selamanya harus memiliki. Kalau kamu memaksa ingin memiliki, itu namanya egois."

Apakah perasaan ingin memiliki ini bukan sebuah rasa cinta? Apakah ini semua hanya sebuah hasrat keegoisan yang hanya ingin memiliki? Tapi, bukankah mencintai berarti juga ingin memiliki? Atau semua perasan ini hanya cinta yang belum dewasa?

"Iya, kamu benar," jawabku seraya menyunggingkan senyuman, walau sebenarnya hatiku merasa sakit.

Belum sempat kami melangkah, Rama dan Anggun telah lebih dulu mendahului langkah kami setelah sebelumnya mengatakan "duluan ya, Gin." Gin, Gina, hanya pada Gina, bukan padaku. Senyumannya itu, tak pernah sekalipun ia tujukan padaku, tak pernah sekalipun. Tuhan, ini menyakitkan.

"Yuk, De."

Sambil berjalan, mataku tak bisa lepas menatap Rama dan Anggun. Sekilas aku membayangkan bahwa yang berada di samping Rama adalah aku.

"Kau tahu, De. Rama dan Anggun mereka..."

Aku menoleh pada Gina. Dia menundukkan kepalanya.

"Kenapa?" tanyaku. Aku berhenti melangkah begitupun dengan Gina. Gina mengangkat kepalanya lalu tersenyum padaku.

"Kau tahu Reza, anak kelas sebelah. Aku rasa dia menyukaimu," ujar Gina seraya tersenyum.

"Kau menyembunyikan sesuatu dariku, Gin."

Gina kembali menunduk.

"Haruskah aku mengatakannya? Mengatakan sesuatu yang akan membuatmu terluka."

Aku diam.

"Mereka pa-car-an?" tanyaku seraya memenggal tiap suku kata dalam kata pacaran.

"Lebih dari itu, mereka akan bertunangan setelah kelulusan nanti. Dan mereka berdua akan kuliah di salah satu Universitas yang ada di Kairo."

Hening.

Kakiku terasa lemas, benar-benar lemas. Padahal semenjak dua tahun lalu, tepatnya saat masa orientasi, hasratku mencintainya telah menggebu. Aku tidak bisa melupakan dia, melupakan cinta yang tak pernah bertepuk tangan ini. Namun sekarang?

Mereka akan bertunangan setelah kelulusan nanti

"Kau tahu, aku pernah mencoba melupakan dia, melupakan semua yang aku rasakan padanya. Namun, semuanya nihil. Aku tidak bisa, Gin, tidak pernah bisa."

Gina menunduk. Namun, genggaman tangannya mengerat di sela jemari tanganku.

"Terkadang, aku merasa lelah dengan rasa tak berbalas ini. Aku benar-benar lelah."

"Aku tahu kau kuat." Suara Gina terdengar bergetar.

"Kau tahu rasanya itu menyakitkan, kala kita memikirkan dia yang tak pernah sekalipun menyadari keberadaan diri kita."

Gina mengangkat kepalanya, ia menatapku yang sedang menatap ke arahnya. Bibirku menyunggingkan senyuman dan kedua sudut mataku menurunkan hujan yang deras.

"Apakah ini waktuku untuk berhenti, meski aku tahu aku tidak akan pernah bisa berhenti? Haruskah kuterima kenyataan ini, bahwa anganku untuk berada di sisinya tak akan pernah terwujud, haruskah?"

Aku kembali mengarahkan pandanganku pada Anggun dan Rama, lebih tepatnya hanya pada Rama. Punggung Rama serasa semakin menjauh dariku, mungkinkah aku tak akan bisa lagi memandang punggung itu? Haruskah aku berhenti?

"Terkadang, hanya dengan memandangi punggungnya yang selalu menjauh dari pandanganku aku merasa bahagia. Tetapi sekarang, mungkin untuk memandang punggungnya saja aku tidak akan pernah bisa."

Kini punggung Rama sudah tidak terlihat lagi, menghilang dibelokan menuju gerbang sekolah.

Senandung CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang