Cincin - AUDRA

37 12 2
                                    


Tatapan mata Audra bertemu dengan tatapan seorang pria yang saat itu sedang mengenakan jaket berwarna biru. Pria tersebut sedang duduk di sebuah bangku taman. Audra dapat mengingatnya dengan jelas. Jaket yang dikenakan lelaki itu adalah jaket yang dikenakan saat kencan pertama mereka.

Pandangan Audra beralih pada genggaman tangan lelaki tersebut. Ia tengah memegang sebuah kotak beludru berwarna merah dan berukuran kecil. Ah, di dalamnya pasti terdapat sebuah cincin. Begitulah pikir Audra.

"Hey, Iyan!" panggil seorang perempuan sambil berlari kecil menghampiri Iyan.

Iyan segera memasukkan kotak beludru berwarna merah tersebut ke dalam saku celananya. Audra memandang perempuan yang ia tak tahu namanya dan Iyan bergantian. Terlihat segaris senyuman yang menghiasi wajah Iyan saat melihat perempuan yang berlari kecil ke arahnya tersebut. Ah, dia pastilah perempuan yang Iyan tunggu dan akan Iyan lamar dengan cincin yang ada di dalam kotak beludru merah tersebut.

"Hey, Nit," ucap Iyan ketika perempuan tersebut sampai di hadapan Iyan.

Audra lalu tersenyum kepada Iyan ketika tatapan Iyan mengarah kembali padanya. Ia juga membisikan kata ganbate. Setelah membisikkan kata-kata tersebut, Audra kembali berjalan. Ia berjalan sambil menunduk. Senyuman yang sebelumnya tersirat kini sirna, tergantikan oleh mendung di kedua sudut matanya.

Entah mengapa ada sedikit rasa sesak yang Audra rasakan saat melihat Iyan bersama dengan perempuan lain. Audra menggeleng-gelengkan kepalanya, menegaskan bahwa hubungannya bersama Iyan telah berakhir. Ya, berakhir dua bulan yang lalu. Namun meski mengetahui kenyataan tersebut, tetap saja terasa ada yang hendak menjebol kantung matanya. Ia memegang dadanya. Ah, ada sedikit rasa nyeri di sana. Dadanya terasa dipukul bertalu-talu dengan palu atau mungkin ditusuk pisau tumpul tak kasat mata, yang jelas hatinya terasa nyeri. Ia menampar-nampar kedua pipinya pelan, lalu menghembuskan napasnya. ­Be strong, Audra.

"Audra, tunggu!" seorang pria memanggil Audra.

Langkah Audra terhenti.

Suara itu adalah suara yang sangat Audra kenali. Suara yang pernah menemani hari-harinya beberapa waktu lalu. Suara itu adalah suara yang dulu selalu memanggil namanya dengan penuh cinta. Suara itu, ya, suara itu adalah suara yang Audra rindukan, sangat rindukan.

Audra membalikan badannya. Tepat! Sosok pria yang kini berada dalam jarak kurang lebih tiga meter di depannya adalah dia yang beberapa waktu lalu pernah melukiskan pelangi di hari-harinya yang kelabu sekaligus membuat hatinya menjadi kepingan-kepingan kecil. Hancur. Audra lalu kembali membalikkan badannya dan berlari. Tidak, dia belum siap berhadapan dengan Iyan. Tidak, Audra tidak ingin kembali hancur. Audra ingin berlari, berlari dari kenyataan yang telah menganga di hadapannya, berlari sejauh-jauhnya, berlari dari Iyan.

Audra dapat mendengar dengan jelas suara langkah kaki yang berlari mengejar dirinya. Tidak, Audra benar-benar memohon semoga Iyan berhenti mengejarnya saat ini. Ia belum siap, hatinya belum siap menerima kenyataan. Kenyataan bahwa lelaki itu bukan lagi miliknya.

Tap

Iyan berhasil meraih pergelangan tangan Audra.Namun,  Audra meronta, berusaha melepaskan genggaman tangan Iyan pada pergelangan tanggannya.

"Please, tunggu. Berikan aku kesempatan untuk bicara," pinta Iyan.

Audra berhenti meronta. Ia lalu membalikkan badannya dan berhadapan dengan Iyan. Segaris senyuman terukir di bibir Audra. Senyuman yang terlihat dipaksakan.

"Hey, long time no see. Bagaimana kabarmu?" tanya Audra.

Iyan perlahan melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Audra. Ia lalu menunduk.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 05, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senandung CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang