Pulang.

30 4 0
                                    

"Aya, I am so sorry..."

Derap langkah kaki  yang dibalut dengan sepatu kets hitam lusuh memenuhi kesunyian lorong putih yang panjang. Dengan tergesa, sang sumber pemecah kesunyian tersebut mengambil langkah cepat, matanya menyisir nomor pintu di kiri-kanan tubuhnya.

"This is urgent."

Langkahnya terhenti. Tangannya menggenggam erat tas punggung hitam yang tersampir dipundak. Inhale, exhale. Inhale, exhale. Okay, you got this. Sebelum gagang pintu diraih olehnya, pintu terbuka.

"Akhirnya, datang juga."


Hai! Namaku, Aya. Aya Choi. Aku adalah salah satu siswi sekolah seni menengah atas London yang sedang mengikuti spring camp klub fotografi di Indonesia. Di hari ketiga minggu kedua kegiatan kami ini, Sir Nicholas, guru pendamping kami, dengan berisik membangunkan kami sejak matahari belum nampak. Setelah menyiapkan diri sepantasnya -- mind you, it was not even 3 AM -- kami bergegas menaiki mobil jeep kecil, dengan terkantuk-kantuk sambil memangku 'alat perang' kami. Jalanan yang kami lalui berkelok-kelok, tidak banyak yang bisa kami lihat karena keadaan di luar sangat gelap. Hanya siluet pepohonan yang masuk dalam jangkauan lampu mobil yang bisa kami lihat.

Kekesalan kami dibangunkan sangat pagi oleh Sir Nicholas terbayar dengan pemandangan indah matahari terbit khas gunung Bromo. One of the infamous pride of Indonesia. Pemandangan indah itu mampu membungkam mulut Hendrick dan Natalia, dua anak berisik yang mengeluh sepanjang perjalanan kami dari penginapan. Sir Nicholas hanya memberikan senyum angkuh ketika melihat kami terpana menangkap momen alami tersebut. Saat matahari sudah cukup tinggi, kami melanjutkan kegiatan untuk bereksplorasi di daerah kawah gunung dan padang pasir luas di kaki gunung itu. Kami mendapatkan banyak foto bagus, campuran antara pemandangan alam yang sangat menakjubkan serta masyarakat lokal yang sangat ramah dan antusias.

Namun, kebahagiaan dan keceriaanku segenap hilang, ketika Sir Antonio, kepala koordinator camp kami menghampiriku pasca makan siang. Aku, yang saat itu sedang bergurau dengan teman-temanku ditarik menjauh dari mereka. "Aya, aku mendapat kabar, yang bisa dibilang buruk untukmu."

Deg. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang.

Bukan.

Bukan karena aku mempunyai rasa yang lebih dari sekedar murid-guru kepada Sir Antonio.

Sambil memperbaiki tali tas kamera, aku bersandar ke badan mobil jeep terdekat. Ya, beliau menarikku cukup jauh dari tempat teman-temanku berkumpul. "Ada apa, Sir?"

"Apakah handphone-mu sudah terjangkau sinyal?"

"Tidak sama sekali, Sir. Saya bahkan belum sempat memegang handphone saya sejak tadi malam." Benar, lokasi tempat kami berkunjung cukup jauh dari perkotaan, jaringan telekomunikasi susah terhubung. Cukup sulit mencari jaringan, jangankan untuk internet, untuk menerima telepon dan pesan singkat saja membutuhkan waktu lama.

Sir Antonio tertegun. Beliau tampak seperti kesusahan mencari kata-kata. "Saya baru saja menerima kabar dari Mrs. James, berita untukmu. Akan lebih baik jika kita kembali ke penginapan. Saya sudah memberitahu Sir Nicho dan Ms. Evans bahwa kita akan terlebih dahulu pulang."

Terdiam sejenak, aku mulai berpikiran yang aneh-aneh. Okay, sejak masih kecil Ayah selalu mewanti-wanti aku untuk selalu waspada terhadap orang disekitar, sedekat apapun aku kepada mereka. Dan Sir Antonio tidak terkecuali. Apakah aku membawa semprotan ladaku?

Selama perjalanan pulang (kami menumpang mobil turis lain), Sir Antonio mengajakku berbincang-bincang, mengenai kelasku selama tahun ajaran kemarin, bagaimana perkembangan proyek solo tahunan yang menjadi salah satu penentu kelulusan kami, serta kegiatan-kegiatan kami. Sir Antonio tampak sedikit tegang. Tanpa dia sadari, ia terus menggoyang kakinya, selalu mengecek jam tangannya, seolah-olah kami dikejar waktu.

How Much Does A Name CostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang