Alunan musik yang diputar dengan volume rendah terdengar sayup-sayup membangunkan Aya dari tidurnya. Membuka matanya perlahan, ia mengamati pemandangan diluar mobil, masih dengan kepala yang tersandar di kursi mobil. Bunyi papan ketik handphone yang ditekan dalam kecepatan tinggi berhenti saat ia merenggangkan kaki dan tangannya.
"Sudah bangun?" Sapa laki-laki yang duduk dikursi pengemudi. Dibalut dalam pakaian sederhana – kaos putih oblong, celana kargo selutut – dan rambut acak-acakan yang ditutup dengan topi, ia mengacak-acak rambut Aya.
Dibalas dengan sungutan pelan, si laki-laki itu hanya tertawa rendah. "Kita sudah sampai, ayo turun!"
"Sampai dimana?"
Tidak diberikan jawaban, Aya akhirnya keluar dari mobil. Ransel kesayangannya tersampir ke punggung, ia mencermati keadaan disekelilingnya. Mino, kakak sulungnya, memarkir mobil yang mereka tumpangi di depan rumah bergaya minimalis berpagar putih. Diapit oleh dua rumah yang berukuran jauh lebih besar – begitu juga dengan rumah yang ada diseberang jalan, Aya menyimpulkan bahwa mereka berada dalam kompleks perumahan yang cukup elit.
Jangan bilang....
"Selamat datang di rumah Keluarga Choi, bungsu!" Seru Mino setelah berhasil membuka pagar – dengan sedikit kesusahan. "Sebenarnya ini adalah hadiah rahasia dari Rian, Rianna dan aku untuk ulang tahun pernikahan Ayah dan Ibu nanti, tapi karena keadaan yang tidak bisa dihindari, akhirnya gagal dijadikan kejutan."
"Hadiah rahasia dari kalian bertiga?" Aya masuk mendahului Mino dan duduk di kursi rotan yang diletakkan di teras rumah. "Sejak kapan kalian merahasiakan rencana dari aku?"
I can feel the love, guys.
"Bukan begitu, kita hanya tidak ingin kamu membocorkan rahasia ini ke Ayah dan Ibu," bela Mino, yang sekarang sedang bingung dengan kunci-kunci di depan pintu rumah.
"Ah, alasan kakak saja."
"Rencananya, setelah kamu selesai dengan urusan spring camp, kamu langsung terbang kesini dan menyelesaikan tugas kamu, menghias rumah dengan lukisan di tembok."
Aya hanya terdiam. Rasa tertinggal dari kakak-kakaknya tanpa sadar muncul. Dengan satu lirikan singkat, Mino dapat menebak apa yang ada dalam pikiran adik bungsunya. Menanggalkan kunci yang entah tidak berhasil ia temukan, ia merangkul pundak Aya.
"Jangan pikir kakak meninggalkan kamu dari rencana ini, Aya. Rencana ini baru muncul 1,5 tahun lalu, dan kamu saat itu sangat sibuk dengan kegiatan sekolah, proyek tahunan dan segudang aktivitas klub fotografimu. Kita tidak ingin menambah beban pikiran kamu dengan mengurus hal-hal yang, percayalah, sangat tidak seru."
Teringat akan kegiatannya yang benar-benar padat pada jangka waktu itu, Aya hanya bisa meringis. Agak susah untuknya marah atau sekedar menyimpan perasaan jelek kepada kakak-kakaknya, they're just too sweet.
Setelah berhasil meyakinkan Aya, Mino kembali berurusan dengan kunci rumah yang masih belum ia temukan.
"Kapan terakhir kakak tidur?"
"Kenapa memangnya?"
"You look like you need years of sleep."
Mino hanya bisa tertawa lepas. Memutar kunci berukuran cukup besar dari yang lainnya – dengan tulisan kecil 'pintu depan' tertempel -- Minho membuka pintu. Dengan penasaran, Aya mengedarkan pandangannya dalam ruangan memanjang yang menyambut mereka. Tepat didepan pintu, diletakkan lemari kecil berwarna merah terang – definitely Rian's choice – dengan rak sepatu berwarna senada disebelah kanan. Mengikuti Mino, Aya membuka sepatu dan memakai sandal rumah berwarna hitam yang disodorkan Mino. Ruangan selanjutnya adalah ruang tamu dengan beberapa set sofa baru yang masih dilapisi plastik. Dibalik rak bergaya modern – yang Aya tebak merupakan pilihan Rianna – terlihat tangga kecil menuju sebuah ruangan berdinding kaca – sepertinya kantor, entah untuk Ayah atau Ibu, batin Aya – dan perabotan dapur.
"Minum?"
Mino dengan santai mengambil gelas yang tergeletak di atas meja makan di dapur, sementara Aya duduk di kursi meja makan mengangguk memberi jawaban. Mata Aya masih sibuk memperhatikan rumah yang sangat, sangat polos itu. Diseberang tangga kecil di dekat dapur, tangga berukuran lebih besar, mengarah ke lantai atas. Bagian bawah tangga disulap menjadi rak buku, yang kontras dengan bagian rumah lainnya, telah terisi oleh koleksi buku pribadi keluarga. Berhadapan dengan kursi yang diduduki Aya, terdapat pintu menuju ruangan lain. Ruang keluarga, dilengkapi sofa yang kelihatannya super empuk berada pada ruangan setelah pintu tersebut, dengan kaca bening pengganti tembok yang memberikan penerangan alami ke dalam rumah. Bangunan asing yang disebut rumah oleh Mino cukup bagus, cukup terasa seperti rumah, batin Aya.
"Jadi, bagaimana menurut kamu? Kakak pribadi sangat suka dengan desain rumah ini."
"Lumayan. Cukup luas, ada cukup ruang untuk bernapas. Sangat homey."
"Rian memang hebat ya?" Aya tersedak air yang diminumnya, sementara Mino dengan panik mencari tisu. "Kenapa kaget? Harusnya kamu sudah bisa menebak ketika kakak bilang ini adalah hadiah dari kita. Desain rumah ini adalah kebanggaan Rian."
Aya sejenak lupa bahwa Rian adalah seorang arsitek. Setelah berhasil mengatur napas serta pikiran, yang nampaknya masih cukup kaget dengan perubahan drastis serta informasi yang masuk secara tiba-tiba, Aya memutuskan untuk menyuarakan pertanyaan yang sudah ia tahan sejak menginjakkan kaki pertama kali di Seoul.
"Kak, sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa tiba-tiba pindah? Kita benar-benar memulai hidup baru di negara yang tidak pernah kita kunjungi. Aku tidak lupa bahwa negara asing ini adalah kampung halaman kita. Tapi, sungguh? Dalam waktu yang sangat singkat? Aku bahkan tidak sempat mengucapkan perpisahan kepada teman-temanku secara langsung."
Tertegun, Mino menatap Aya. Setelah beberapa menit, Mino menghela napas panjang dan bersandar ke kursi. Jika sebelumnya Aya berpikir kakaknya hanya kurang tidur, saat ini ia terlihat sangat kelelahan dan banyak pikiran.
"Kepindahan kita sudah direncanakan sejak 2 tahun lalu, Bungsu. Ayah merasa sudah saatnya kita kembali ke kampung halaman. Itulah sebabnya, aku, Rian dan Rianna segera merealisasikan rencana kejutan ini. Kita menunggu kamu menyelesaikan sekolahmu, yang artinya tahun depan. Akan tetapi, karena beberapa keadaan darurat, kepindahan kita dipercepat."
"Keadaan darurat?"
Sudah bisa menebak Aya akan menanyakan pertanyaan itu, Mino kembali menghela napas panjang. "Jawaban untuk pertanyaan tidak akan kujawab, bukan porsiku. Sekarang, kamu harus siap-siap, kita punya janji dengan pihak sekolah barumu."
"Come on, kaaak. Aku baru saja sampai!"
"Tidak. Go prepare yourself."
"Bisa ditunda untuk besok tidak?"
"Nooope, ayo, bangun! Kamarmu di pintu pertama sebelah kanan setelah tangga. Rianna sudah memindahkan seluruh barang-barangmu dari London ke kamar, entah bagaimana caranya."
Dengan setengah hati, Aya bangkit dari tempat duduknya. Ia menaiki anak tangga dengan langkah lambat, seolah-olah badannya sangat lemah dan tidak bertenaga. Well, she kid you not, sesungguhnya dia sangat lelah setelah penerbangan panjang dan membutuhkan tidur di kasur yang empuk. Dalam hati ia memohon agar Mino dapat memberikannya kelonggaran dan membiarkannya istirahat.
"Aya, Rianna titip pesan, dia telah menyiapkan baju untukmu ke sekolah. Dan dia juga titip pesan, bahwa Ibu sudah sadar."
Seketika, setelah Mino selesai menyampaikan pesan singkat yang diterimanya dari Rianna, Aya menaiki sisa anak tangga dengan semangat dan setengah berlari. Mino hanya tersenyum kecil melihat tingkah adik bungsunya.
Ini semua mungkin terasa tiba-tiba, tidak adil bahkan untukmu. Tapi percayalah, keputusan ini merupakan keputusan terbaik, Aya. Untuk kita semua.
∞
- tbc
notes :
bukan tulisan terbaik yang aku tulis
pic credits :
twitter.com/selfamused
KAMU SEDANG MEMBACA
How Much Does A Name Cost
Fiksi Remajasebuah cerita tentang keluarga. tentang tali persaudaraan. tentang persahabatan. cerita klise yang sering terjadi, tapi tidak disadari. sebuah cerita fiksi. untuk para pemikir, pencari jawaban, all 2-pm thinker. character(s) : kim mingyu, oh sehun...