Part 1

23 5 1
                                    

Okta membuang nafas pelan. Matanya tak bisa berhenti melirik jam dinding yang tertempel di dinding kelasnya. Sementara guru biologinya terus mengoceh di depan kelas dia tidak bisa konsentrasi sama sekali.

Hal ini bermula saat kejadian beberapa hari yang lalu,sekitar seminggu yang lalu. Saat seorang pria yang dengan tololnya menembaknya di hadapan banyak orang saat dia sedang berada di kantin. Pedahal Okta bahkan tak mengenalnya sama sekali. Karena prilaku pria gila itulah rasanya Okta benar-benar tak betah berada di sekolah. Rasanya dia ingin pulang secepatnya.

"Bila tak ada yang ingin ditanyakan kiranya cukup sekian saja pelajaran hari ini. Terima kasih."

Bagus! Okta tersenyum puas mendengar kata-kata perpisahan dari guru biologi itu. Hanya berkisar 30-45 detik setelah kepergian guru biologi bersuara merdu itu dari dalam kelas,semuanya sudah berisik seperti para pembeli di dalam pasar tradisional.

     "Okta kantin yuk!" Okta menolehkan wajahnya pada pemilik suara yang menyahutinya.
     "Gak ah males," balas Okta enteng sambil mengipas-ngipaskan buku tulis ke arah lehernya.
     "Pasti lo takut kalau cowok itu datang lagi ya? Haha ngaku!" terka wanita itu---teman Okta---Steffanie. Okta memutar bola matanya kesal mendengar celotehan sahabatnya itu.
     "Udah deh gak usah bahas cowok gila itu lagi! Nyebelin tahu gak?!" protes Okta lalu meninggalkan ruangan kelas yang memang sudah hampir sepenuhnya kosong karena jam istirahat. Steffie hanya menatap punggung sahabatnya yang kian menghilang ditelan tikungan koridor kelas. Dia  tahu apa yang Okta rasakan saat ini,tapi entah kenapa dia selalu ingin tertawa juga jika sudah memancingnya agar kembali ingat
Kejadian gila beberapa hari yang lalu itu.
***
"Gila gila gila! Jadi itu orangnya?"

"Yang bener aja Masha Allah. Diliat dari sisi manapun masih cantikan gue lah!"

"Kayaknya tu anak pakai pelet deh buat dapetin Iqbal,"

Oh Tuhan....
Panas rasanya telinga Okta mendengarkan desas desus siswi-siswi ahli rumpi yang juga tengah berada di perpustakaan yang sama dengannya. Ingin rasanya Okta mengabaikan mereka,tapi tetap saja sefokus apapun Okta membaca bukunya,suara gadis-gadis itu tetap saja terdengar.

Pedahal seandainya mereka tahu,Okta sama sekali tidak---sedikitpun tidak tertarik-- pada pria bernama lqbal Dhiafakhri itu! Kenyataannya pria itulah yang menghampirinya,bukan dia yang menghampiri Iqbal. Okta sekarang menyesal. Seharusnya dia menerima ajakan Steffie ke kantin tadi ketimbang ke perpustakaan. Mungkin saja di kantin suara desas desua para wanita penggosip akan kalah dengan suara siswa-siswa yang mengobrolkan pertandingan sepak bola.

"Oktober Alfianka!"

Suara ini...

"Okta! Aku menyukaimu! Terima aku! Aku mohon! Ya ya ya?"

Tidak tidak tidak...

Okta menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin pria itu datang lagi hari ini. Dia pasti sedang berimajinasi. Suara pria tolol itu pasti bersarang di dalam telinganya sehingga masih saja terdengar. Bagaimana tidak? Kejadian 1 minggu yang lalu itu bagaikan mimpi buruk yang tak bisa terlupakan walaupun dia berusaha.

     "Okta!"

Suara itu kembali terdengar. Urat di sekitar leher Okta menegang. Matanya menatap ke arah pintu masuk perpustakaan, takut-takut kalau pria itu benar-benar masuk dan mencarinya ke dalam.

     "Okta!"

      "Demi Neptunus!" Okta menampar jidatnya sendiri saat sebuah kepala menyembul dari ambang pintu diikuti oleh seluruh badannya. Pria berambut cepak itu menoleh-nolehkan kepalanya mencari orang yang dia cari,yang tak lain lagi adalah Okta.

OctoberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang