Prank!!
"Aku bangun! Aku bangun!" dengan mata yang masih mencari cahaya, aku berusaha memfokuskan pikiranku karena suara bising tadi. Duduk diujung tempat tidur sambil mengusap mata berulang kali, mencoba memastikan jam berapa sekarang. "03.45... Hhmmm... Masih ngantuk.." dan aku pun kembali terbaring pulas dikasurku.
.
.
.
.
.
.
Teeet teeet teeet teeet!Sungguh menyebalkan - pikirku.
Kuangkat tubuh ini perlahan, mencoba membuka mata yang berat rasanya sambil menggaruk kepala. Seketika saja aku teringat suara tadi yang membangunkanku.
Langsung kuturuni anak tangga dengan langkah panjang, berharap itu bukan sesuatu yang buruk. Lalu, inilah yang kulihat...
***
"Kami akan segera mengurusnya pak!/.../ Baiklah pak!"
Aku hanya menatap kosong ke depan, selalu terpikir olehku, kenapa aku? Lagi!
"Vaery.." suara polisi tadi membuyarkan lamunanku. Ia menatapku sendu, ia tahu ini bukanlah kasus yang pertama yang menimpaku. Tapi jauh dalam pikirannya, ia mengetahui, bukanlah aku yang melakukannya.
"Terjadi lagi, heh.." entah apa lagi yang harus kujawab selain tertawa kecil saat berada diposisi yang sama sekali lagi.
"Kau tahu, aku tahu.. Tapi tiga kali dalam seminggu? Ayolah Vaery!"
"Entah?" ya.. Bingung harus ku jawab apa. Aku hanya kembali menatap kearah pria yang tadi ditemukan tergeletak dirumahku, entah ia masih hidup atau tidak.
Biasanya sih, tidak!"Theodore Redwood, berusia 24 tahun, bekerja sebagai tentara angkatan laut, jabatan perwira. Hanya itu informasi yang baru sampai" ujarnya tanpa kuminta. Ya, mungkin ia sudah biasa akan semua pertanyaan yang pasti akan kutanya setelah peristiwa.
"Alamat? Nomor telepon? Dinas dimana?" tanyaku menyelidik.
"Belum ada"
Hhmm, informasi yang kurang, tak seperti biasanya, terlebih lagi ia seorang tentara. Kali ini sang creeper, panggilanku untuk penjahat yang aslinya, tak segan-segan.
"Baiklah kalau begitu. Aku akan pergi sebentar, lagipula ini rumah sakitkan, aku takkan jauh"
"Mau ku temani?" ajaknya. Biasanya kakakku yang begini. Begitu ia pergi keluar negeri untuk melanjutkan studi, aku pikir sudah tidak ada yang peduli lagi, ternyata masih.
"Tidak, terima kasih. Aku bisa sendiri, Alan" Yap, itulah nama polisi tadi. Alan Frey, seorang polisi yang tak lain teman masa kecilku. Berusia 26 tahun, dan terbilang muda untuk pangkatnya sekarang. Ia memang yang terbaik dikelasnya saat pelatihan dulu.
Kami sempat tak berhubungan lagi selama pendidikannya itu, tak mengetahui kabarnya, ataupun keberadaannya. Dan semua runtutan peristiwa yang terjadi dalam 3 tahun belakangan ini membuatku lebih dekat lagi dengannya, begitu pula sebaliknya.
***
Pikiranku masih kacau walaupun kejadian ini bukanlah yang pertama. Maksudku, yang benar saja, bung! Seorang anggota! Kau mau apa setelah ini? Membunuh presiden dan membuang jasadnya di rumahku lagi.
"Vaery!" Aku tersontak kaget, melihat dokterku memanggil namaku keras. "Apa kau baik?" hanya senyum palsu yang dapat kuperlihatkan padanya. Tapi tetap saja, dia tahu kebenarannya.
"Aku sudah menjadi dokter spesialismu selama 10 tahun, Vaery. Aku tahu saat kau sedang punya masalah, saat kau sedang bahagia, ataupun sedih. Aku mengenalmu" ia menatapku lekat, bisa kulihat dengan jelas keriput yang ada di matanya, dan beberapa bagian lain. Rambut dan kumis, serta jenggotnya yang mulai ber-uban, menampakan usianya yang memang sudah tak muda lagi.
Jadi teringat saat pertama kali ku mengenalnya, usianya masih terbilang muda. Waktu itu kami mengantar mama yang sakit, dan kalau diingat kembali, papa suka cemburu saat melihat mama hanya berdua dengan Dokter Wade, omong-omong itu namanya. Sangat lucu, sampai tak sadar ku keluarkan tawa kecil.
Dokter Wade melihatku aneh, saat membantuku membuka alat uap yang terpasang padaku. Aku memang begini, suka tertawa sendiri kalau mengingat kejadian lucu, membuatku lupa akan kejadian mengerikan ini.
"Apa kau baik?" tanyanya lagi. Tapi kali ini, ia memeriksa suhu badanku dengan tangannya dikeningku.
"Aku baik dokter, terima kasih" senyumku.
"Siapa kali ini?" tanyanya sambil kembali merapikan alat-alatnya tadi.
"Seorang perwira angkatan laut muda" jawabku singkat. Jujur saja, aku benci saat dia menanyakan hal ini. Membuatku kembali teringat akan masalahku.
"Wow! Semakin aneh saja setiap saat.." ujar Wade. Aku kembali menatap kosong kearahnya, ia segera menyadari dan menghampiriku. Dan pasti setelah ini, saat ia duduk dikursi merah empuk didepanku ini, aku akan dihujani ribuan pertanyaan.
"Katakanlah! Apa yang mengganggumu, Vaery"
Hmm, tapi aku suka pribadinya yang peka dan bijak. Aroma tembakau pilihan di tubuhnya, luar biasa. Akhirnya, kutarik nafas dan membuangnya.
"Jadi begini Dr. Preston Wade, kau mengetahui masalah yang menimpaku, masalah yang muncul semenjak kakak pergi keluar negri, masalah yang semakin lama semakin membawaku mendekati meja hijau. Maksudku, ayolah! Seorang perwira! Entah siapa setelah ini.. Mungkin duta besar? Atau mungkin presiden? Entahlah! Aku bingung harus apa. Aku bahkan tak tahu motif-nya melakukan pembunuhan itu. Tak ada jejak atau petunjuk sedikit pun! Oh, Ya Tuhan!!" jawabku frustasi.
Ia bungkam sejenak, sebelum mendekatiku dan memelukku erat. Tak kusangka air mataku jatuh saat itu, membasahi jas putih yang ia kenakan. Rasanya inilah yang kubutuhkan untuk melepas semua emosiku, sebuah pelukan hangat dari orang yang tepat.
Ia mengelus kepalaku pelan. "Kau pasti bisa melakukannya! Kau pasti menemukan motif yang digunakan pelaku, pasti! Aku sangat yakin kepadamu. Kakakmu juga pasti akan sangat bangga padamu, Vaery!"
Perlahan kuangkat kepalaku dan menatapnya sendu, "bagaimana kalau sebelum itu, justru aku yang dituduh membunuh? Dan justru aku yang di eksekusi mati?"
"Tidak akan. Aku yakin kau bisa!"
***
Langkahku berat meninggalkan rumah sakit itu. Pusing aku dibuatnya. Setiap saat, hampir dalam waktu yang sama, berjalan di lorong waktu yang sama, juga lapangan parkiran yang sama.
Alam pun bahkan bisa merasakan apa yang kurasakan. Dapat kurasakan angin yang perlahan mengeringkan air mata ini, menerbangkan rambutku perlahan. Awan yang dengan setia menemani, mengikutiku sepanjang perjalanan, menutupiku dari paparan matahari.
"Kau pasti bisa... Aku yakin kau bisa..."
Kenapa kata-kata itu terus menghantuiku? Seperti sudah pernah mendengar ini sebelumnya.
Oh kak! Andai kau disini. Aku butuh motivator...
Tanpa disadari, aku melewati sebuah papan iklan digital. Papan itu berisi kata-kata mutiara dari para tokoh sejarawan. Oh! Aku tahu jalan ini, Jalan Poland. Dulu papa suka mengajakku kejalan ini, ada toko roti yang rasanya luar biasa lezat. Biasanya kami membeli berbagai rasa, coklat (favorit kakak), vanilla (favorit papa), green tea (favoritku), dan tiramissu (favorit mama). Kami membelinya saat menunggu mama yang sedang diperiksa oleh dokter, tentunya bukan Dr. Wade, atau papa tidak akan meninggalkan mama sendiri.
Kembali kufokus pada tulisan itu. Dan kali ini, aku tertarik pada kata-kata yang satu ini. Abraham Lincoln, "Siapapun Dirimu, Apapun Dirimu, Jadilah Yang Terbaik Dari Itu.."
Kau tahu, ia benar. Jadilah yang terbaik, karena dirimu sendiri, bukan orang lain. Jadilah yang terbaik untukmu, bukan untuk orang lain. Karena orang lain melihat apa yang kau capai, bukan proses menuju pencapaianmu. Dan aku akan melakukannya! Aku akan membuktikannya! Akan kutemuka penjahat yang sebenarnya bertanggung jawab atas semua penghinaan dan penderitaanku ini! Pasti!
Aku, Vaery Plumber Gleam. Detektif muda di sebuah biro swasta kecil, akan mengungkap misteri ini!
Continue ⛅
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Sorrow Song : Vaery Gleam
Teen FictionHanya ingin hidup normal di dunia yang tak normal ini.. Harapan satu-satunya yang setiap malam Vaery panjatkan. Entah akan terwujud atau memang ia harus hidup seperti ini selamanya setelah runtutan peristiwa menghampirinya tiba-tiba. Ia tak punya te...