Way Back Home

1.7K 270 99
                                    

Kulangkahkan kaki keluar dari tempatku mengais rezeki. Sebuah kantor pusat pemasaran yang tidak bisa disebut besar namun juga tidak bisa disebut kecil. Jika kalian bertanya, apakah kau betah bekerja disana? Maka aku akan menyiapkan dua jawaban, yaitu ya dan tidak.

Ya karena gaji disini cukup besarㅡbahkan lebih dari lumayan. Menghitung uang gaji adalah salah satu hal yang paling kusukai. Juga teman sesama pekerjaku baik dan ramah.

Tidak karena aku mempunyai sebuah kendala, yaitu jarak antara tempatku tinggal dan tempatku bekerja cukup jauh. Aku harus menaiki sebuah bus sebagai kendaraan dan halte adalah hal yang amat familiar untukku.

Juga karena dulu aku memiliki seorang atasan berkepala plontos dan kumis melintang yang menyebalkannya bukan main. Aku bahkan hampir mengundurkan diri dari kantor karena atasanku itu. Tapi untunglah sekarang dia telah berada di tempat yang semestinya, tempat perkumpulan orang-orang pemakan uang yang bukan menjadi haknya.

Sembari menyenandungkan sebuah lagu, langkah perlangkah kakiku melangkah menuju halte bus. Malam ini langit menghadiahi tetesan air bagi penghuni bumi. Walau tidak besar tapi tetap saja aku akan basah kuyup.

Dan setidaknya aku harus bersyukur karena seseorang disana selalu menyiapkan sebuah payung kecil berwarna kuning untukku.

Aku ingat ketika aku masih berstatus menjadi mahasiswa, kami selalu berbagi payung kecil yang sejujurnya hanya muat untuk satu orang. Payung kecil itu membuat bahu kami basah. Kami mendeskripsikan kata romantis dengan berbagi payung bersama.

Ya, dulu kami memiliki ikatan sebagai sepasang kekasih walau sekarang ikatan itu sudah berubah.

Tidak perlu menunggu karena setibanya di halte bertepatan dengan datangnya bus. Aku duduk di bangku ke empat di belakang supir yang melemparkan tatapan acuh. Hanya ada beberapa orang disini, diantaranya seorang kakek tua yang sedang mengelap bajunya dengan sapu tangan, tiga anak muda dan satu wanita memangku anaknya.

Semuanya nampak sibuk sendiri. Hanya anak-anak yang menempelkan hidungnya di kaca berembun, hanya anak-anak yang menyembunyikan sayap karena dingin.

Sampai jalanan basah yang macet kembali lengang. Beberapa orang menunggu lampu hijau, beberapa lagi berkumpul di dekat lampu merah berlalu. Aku melihat warna langit untuk menyembunyikan penyesalanku, hariku dipenuhi oleh pekerjaan yang harus kuselesaikan.

Harapan yang kubawa di pagi hari akan kembali lagi. Namun pada akhirnya akan seperti ini.. dan seperti itu. Setiap kali aku memandang matahari dari balik meja kerjaku, aku akan mengira-ngira kapan aku pulang kembali ke rumah.

Aku selalu rindu rumahku.

Pintu berwarna biru yang berdecit, sambutan hangat, aroma masakan, hangatnya sup, tatanan piring di meja makan yang lucu, lalu aku akan berselimut dan diiringi oleh lullaby paling merdu hingga aku tertidur. Ah, aneh rasanya. Aku tak pernah berhenti merindukan hal itu setiap harinya.

Pakaian kusut tak kuhiraukan. Kuikat tali sepatu usangkuㅡwalau begitu aku amat menyayanginya. Turun dari bus aku harus berjalan selama kurang lebih delapan menit untuk sampai di kediaman sederhanaku, untung saja hujan sudah reda sehingga aku bisa melipat payung kuningku sebelum membawanya dengan tangan kiri sebab tangan kananku tengah meneteng tas kerja.

Lampu jalanan terpancar di sepanjang jalan dan aku harus melewati jalan yang memuakkan hingga membuatku menendang batu dengan kakiku dan kuikuti batu yang terpental itu.

Kemudian aku mencium aroma dan suara tak asing. Dan benar saja, itu adalah suara anjing milik tetangga yang menggonggong, dengan suara kerasnya menyalak kepadaku di tengah suasana malam yang dipenuhi oleh suara jangkrik ini. Aku membalasnya dengan melotot ke arahnya dan mengangkat payungku tinggi-tinggi. Kenapa anjing itu selalu menyalak kepadaku?

Way Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang