SURAT BERANTAI

26 1 5
                                    

Hari pagi ini menerima sepucuk surat. Seperti pada umumnya, surat itu berwarna putih. Tak ada yang spesial di sampul surat itu. Tak ada nama pengirim atau coretan lain. Putih bersih. Hari kebingungan kali ini. Zaman sekarang orang-orang tidak lagi memerlukan surat untuk berkomunikasi. Ada banyak media sosial yang bisa digunakan. Lalu mengapa ada orang yang terlalu rajin mengirimkan surat di pagi buta begini?

Ia kemudian memerhatikan seisi kelas. Hanya ada kertas-kertas di lantai bersama debu dan beberapa gelas aqua yang hanya berisi udara beserta pipet di atasnya. Selain itu, ada jejeran meja dan kursi yang berantakan. Tak ada siapapun selain dia bersama bunyi kipas angin yang menggeleng-geleng.

Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 6.13. Artinya, sudah 13 menit lalu ia memegang surat putih bersih itu. Ia enggan membukanya. Ini sudah surat ke 7 yang diterimanya sejak hari pertama menempati kelas XI. Dan ia juga masih enggan membuka satupun dari surat tersebut.

Laki-laki kurus itu memilih untuk menyimpan rasa penasarannya di dalam tas. Ia tahu tak ada yang penting di dalam surat putih itu. Kakinya melangkah menuju meja satu dan menuju meja yang lain, memunguti sampah yang berserakan. Ia hendak memasukkan mereka ke dalam tong sampah yang masih terlihat dasarnya.

Saat melihat ke dalam tong sampah ia menemukan sehelai kertas di sana. Tulisannya bercahaya. Lalu ia mengambil kertas itu sebelum memasukkan semua sampah ke dalamnya. 'Lantai 3'. Tulisan itu hilang bersamaan dengan suara Hari yang membisik. Bukan hanya tulisan. Kertas itu hilang juga dari apitan telunjuk dan jempolnya.

Dimasukkannya sampah ke dalam tong sampah. Ketika ia berbalik ia mendengar bunyi langkah. Bisa saja itu teman-teman yang sudah mulai berdatangan. Hari kembali ke kelas, menunggu yang lain sambil melihat papan tulis putih dengan tatapan kosong.

"Apa itu tadi?" Pikirannya melayang. Sekilas ia melihat papan tulis itu bergerak-gerak dan tertulis di sana kata 'BUKA' dengan sendirinya.

Hari sontak berlari keluar kelas, ia tahu kali ini ada yang menjahili. Dan benar saja, suara langkah kaki semakin ramai. Tapi tidak ada siapa-siapa yang ia lihat. Lari, sekuat tenaga. Suara sepatunya menggema di sepanjang lorong sekolah, ia berlari menuruni tangga dan menuju lapangan. Semua orang berkumpul di sana. Senam pagi dimulai.

Musik memenuhi langit biru yang bersahabat. Tak ada matahari terik. Dan angin hujan bertiup. Kapas beterbangan di pekarangan sekolah namun tak ada yang memerhatikan ataupun mengagumi.

***

Matahari kini tak malu lagi, ia juga tak terlalu panas. Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Hari mengangkat tasnya dan berjalan pulang; menuju halte bus, menunggu bus yang akan membawanya kembali ke rumah.

Setibanya di kamar, ia mengambil keenam surat lain. Hari ini ia memutuskan membuka surat-surat yang ia terima entah dari siapa. Surat pertama berisi kertas berwarna merah. Kosong. Hanya ada merah darah di sana. Kertas itu agak licin, seperti kertas origami. Berturut-turut isi surat selanjutnya sama namun berbeda; hijau, nila, kuning, jingga, biru dan yang baru saja diterimanya ungu. Iseng, ia menyusunnya. Dapat! Pelangi!

Hujan reda di luar setelah kata itu muncul dari bibir Hari. Esoknya, pagi-pagi sekali ia pergi ke lantai 3 sekolahnya. Di ujung ada gudang yang tidak terkunci. Ia melihat seisi gudang, ada banyak hasil prakarya di sana. Ada juga lukisan pelangi yang sudah usang. Di sampingnya tergeletak surat putih tanpa coretan di bagian depan. Kali ini Hari memilih membukanya langsung. Dahinya menyerngit. Bukan kertas origami berwarna yang ditemukan melainkan rantai. Ia menarik rantai yang berkarat itu. Terlihat bercak kemerahan di sana. Ia menariknya, semakin lama semakin panjang, seperti tak berujung. Pun semakin berat. Surat itu terjatuh ke lantai dan Hari masih bertarung untuk menarik rantai. Ia berbalik, rantai itu sudah menggulung tinggi di lantai. Tingginya sebahu Hari. Kemudian di ujung rantai itu, ada kertas kecil. Ia ingin mengambilnya namun sangat berat. Apa ini? Akhirnya ia menyerah dan memilih membungkuk untuk membacanya. 'Atas' Sontak Hari mendongak ke atas. Ia menjerit sekuat tenaga.

***

Bulan pagi ini menerima sepucuk surat. Seperti pada umumnya, surat itu berwarna putih. Tak ada yang spesial di setiap sudut surat itu. Tak ada nama pengirim atau coretan lain. Putih bersih. Hanya saja, ia kebingungan kali ini. Zaman sekarang orang-orang tidak lagi memerlukan surat untuk berkomunikasi. Ada banyak media sosial yang bisa digunakan. Lalu untuk apa ada orang yang terlalu rajin untuk mengirimkannya surat?

Tapi ini sudah surat ketujuh yang ia terima. Tanpa pikir panjang, tangannya membuka surat itu. Isinya, kertas origami ungu.

***

Orang-orang berkumpul di lapangan. Di sana, ada kepala sekolah yang mengenakan setelan hitam. Semua orang terdiam. Langit abu-abu. Daun-daun jingga menghiasi pinggiran lapangan. Tak ada yang bicara ataupun saling menjahili kali ini. Kepala sekolah mulai berbicara di ujung mikrofon hitam.

"Dalam dua pekan, kita sudah kehilangan 2 orang teman kita. Mereka sama-sama meninggal tergantung di gudang atas dengan rantai. Maka dari itu, sekolah akan diliburkan hingga kasus ini selesai. Menghindari bertambahnya korban lain di sekolah ini."

Seluruh siswa terdiam. Tak ada teriakan atau sorakan senang. Mereka ketakutan dalam hati. Siapa selanjutnya? Siapa selanjutnya? Apakah tubuh mereka juga sudah siap tergantung di langit-langit gudang lantai tiga?

Diantara sekian tanya sunyi dalam hati mereka. Bulan memucat. Ia mengadah ke langit. Hujan.

-TAMAT-

INFINITY : Sepotong Alur Alam SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang