Tiga

1.2K 14 0
                                    

"No! Please, don't do this!"

"Please, don't touch her!"

"Aaaaarrgggghhh!"

"Tandrie, ada apa?" aku terbangun dengan cepat hingga kepalaku pening. Keringat dingin membuat tubuhku basah di tengah malam ini. Mama, tanpa kuminta memelukku erat. Aku memejamkan mata di pelukan mama sembari menormalkan deru nafasku yang terengah hebat.

"Hanya mimpi buruk, Ma." Ucapku setelah sekian menit menenangkan diri. Di luar sana aku seorang civil engineer, tampak gagah dan berkuasa, membawahi banyak orang dan dipandang sebagai orang hebat. Tapi saat ini, tengah malam ini aku seolah kembali menjadi Tandrie yang berusia delapan belas tahun. Rapuh, tak ada harapan, bagai onggokan sampah yang siap dibuang oleh tuannya. "Papa, Nana? Kok disini?" aku heran, apa sekencang itu teriakanku?

"Yaelah, Kak. Suaramu kan kenceng banget." Nana menelengkan kepalanya ke arah pintu, "FYI, papa tadi dobrak pintu kamar."

"Hah? Kok bisa?"

"Tandrie, kita semua panik dengan teriakanmu." Penjelasan kalem papa justru membuatku semakin malu. Semakin terlihat bahwa kepayahanku belum menghilang. Aku merasa kembali menjadi bocah yang tidak berdaya.

"Sayang, tolong cerita pada mama." Mama mengatakan hal itu cukup keras, aku baru sadar bahwa itu kode bagi Reyna dan papa untuk meninggalkan kami hanya berdua.

"A..aku.. ." apa yang harus kukatakan pada mama? Menceritakan bahwa mimpi itu mengulang dengan sempurna kejadian tragisku belasan tahun lalu. Kejadian tragis yang nyaris membuatku menyerah untuk hidup dan berharap mati saja, "Tandrie, takut mama."

"Apa yang kamu takutkan sayang. Look at yourself! Kamu sekarang telah berbeda sayang. Kamu bukanlah Tandrie yang dulu. Menangislah, tapi jangan melebihi kuota perempuan."

"Iya, Ma? Tapi ..."

"Sttt..." jari telunjuk mama membungkam kata-kata penyangkalan yang ingin aku keluarkan., "Ada sebab kenapa papa akhirnya mengizinkanmu kost. Papa dan mama sudah saatnya mempercayaimu sebagai laki-laki. Bisa hidup mandiri dan menjaga diri sendiri."

"Terima kasih, Ma. Tandrie hanya bermimpi saat itu."

"Saat itu?" aku mengangguk samar

"Saat Tandrie diperlakukan bagai binatang hingga Tandrie putus asa dan berharap mati kala itu."

"Sayang, papa, mama, Reyna minta maaf. Kami semua lengah saat itu. Maaf sayang.."

"Stt.." kini giliran aku yang menghentikan kata-kata permohonan maaf yang bertubi-tubi., "Tandrie sudah menerima kenyataan itu, Ma. Tandrie sudah ikhlas. Meski selamanya Tandrie tidak akan lupa."

Aku menunduk lagi, kelebatan peristiwa malam itu mengalir deras tanpa bisa kucegah. Aku berharap mati saat itu, tentu saja. Siapa yang ingin hidup setelah susah payah menata hidupmu, keluar dari kelamnya pelacuran gay, merangkak menuju kehidupan normal dan dihancurkan begitu sadis atas nama bersenang-senang?. Aku tak lupa bagaimana aku untuk kesekian kali harus menghadapi yang namanya diperkosa ditempat yang kurasa aman, Sekolah.

Apa aku harus cerita tentang pemuda itu? Pemuda yang kata ayahnya baru keluar dari penjara dan kini menjadi kuli dibawah pengawasanku. Perlukah aku waspada kali ini?

"Mama, papa, Reyna harus percaya bahwa Tandrie saat ini baik-baik saja." Ucapku akhirnya. Sudah cukup mereka menggunakan seluruh stok kecemasan untukku. Masih ada Reyna yang berhak mendapat porsi kecemasan papa mama, juga dariku.

Ayah, Kakakku Sempurna (2) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang