First

1 0 0
                                    

.
.
Lucy mengecek ponselnya berkali-kali. Berharap notif apapun terpampang di layar ponselnya. Mendesah kecewa, dirinya bergegas pergi dengan setumpuk map dan kertas-kertas laknat di tangannya.

Dosen sialan!

Tau begini dirinya lebih baik di kamar asrama, bermesraan dengan minion ㅡboneka kesayangannya.

Kampus mereka memang menyediakan kamar asrama untuk mahasiswa yang jauh dari rumah. Selain harga yang murah, asrama berada di sekitar kawasan kampus. Memudahkan dirinya sekaligus hemat ongkos. Walaupun peraturan termasuk ketat, tapi yah, tak ada yang tak mungkin bukan.

Dirinya melangkah menjauh dari pelataran kampus menuju aula asrama.

Ruangan luas yang hanya diisi karpet dan tv di tengah ruangan itu memang menjadi tempat berkumpul dan bermalas-malasan untuk mereka yang tinggal di asrama.

"Bagaimana Lu?" teriak salah satu temannya dengan senyum mengejek.

"Shut up, Bitch!" sahutnya kesal yang menimbulkan tawa dari mereka yang mendengarnya.

Memaki adalah hal yang biasa bagi mereka. Karena telah tinggal bersama dalam satu atap dalam waktu lama, ucapan sumpah serapah adalah hal yang lumrah. Tentu saja itu dianggap hanya candaan saja.

"Tidak datang lagi, Lu? Sepertinya doa mu semalam kurang manjur."

"Oh, apa kau bercanda? Kemarin dia hanya titip doa pada Nan!" kelakar temannya yang menyebut Nan, teman seangkatan mereka yang religius.

"Fuckoff, Shit!" ujarnya kesal. "Sialan emang itu dosen! Aku sudah menunggunya dari pagi! Bahkan melewatkan sarapanku! Argggghh!"

Dumelannya hanya di anggap lelucon di depan teman-temannya. Yah, Lucy sudah biasa sih. Tapi memang itu kadang hal yang menjengkelkan sekaligus lucu.

Mendesah malas, Lucy melihat ponselnya lagi. Berharap menemukan notif dari orang yang ditunggunya, tapi nihil. Hanya ada notif menumpuk dari grub chat beberapa sosmednya.

Minggu ketiga keempat adalah hal yang paling di benci oleh para anak kost. Di minggu itu adalah saat di mana pengeluaran semakin besar sementara dompet semakin tipis.

Lucy memandang datar dompet yang berada di genggamannya. Netra-nya melirik ponsel di atas tumpukan mapnya. Menerka-nerka pengeluaran dan pemasukan di bulan ini. Dan menghela napas pelan.

Sepertinya tidak cukup.

Langkah panjangnya membuat dirinya menepi kesudut ruangan. Jemarinya dengan lincah mengetik nomor yang sudah sangat dihapalnya. Batinnya menghitung samar, pada dering keempat, suara yang di kenalnya menghampiri indra pendengarnya.

"Hallo, ayah. Ini aku."

"Ada apa, manis?"

Dirinya dapat membayangkan sang ayah tersenyum sumringah. Tapi dirinya malah bergidik.

Berdehem canggung, dirinya lantas ingin segera mengakhiri obrolan ini. "Uangku habis. Bisa kirimkan lagi?"

"Baiklah, telfon mama untuk mentransferkannya padamu."

"Cepat. Aku sangat butuh. Aku tutup."

Menarik napasnya, Lucy merasakan beban berat di dadanya.

Hubungannya dengan sang ayah memang tak seharmonis anak-anak lain karena berbagai faktor. Dirinya sangat kaku jika berhadapan dengan sang ayah, walaupun ayah sangat ingin dekat dengannya.

Tak mau memikirkannya terlalu lama, Lucy kembali mendial nomor seseorang.

"Halo Risya. Kalian dimana?" terdengar suara bising di seberang telepon.

"....."

"Ok. Aku kesana."

Melihat penampilannya melalui cermin di sudut ruangan itu, dirinya memakai jeans hitam, t-shirt putih dan terburu-buru memakai converse hitamnya. Merasa kerapihannya tak berubah dari tadi, Lucy mencomot asal ponsel, dompet dan tasnya kemudian melesat pergi.

......


"Aku kira kalian sudah di kost, ternyata masih disini."

Dua kepala itu sontak menoleh padanya.

"Kau dan sifat jahilmu, Lu."

Mereka duduk bertiga. Mulai bercerita tentang apapun. Mengenai keluarga dan masalah mereka, Lucy hanya diam mendengarkan dengan seksama.

Lucy memang jarang menceritakan tentang keluarganya pada orang-orang. Dirinya merasa tak nyaman jika mengobrol tentang masalah keluarganya. Tapi jika orang lain, dirinya tak ambil pusing. Dan sesekali menimpali jika itu penting.

Pemikir dan pemecah masalah adalah julukannya. Dan dirinya tak masalah dengan julukan itu. Dua temannya, Fany dan Risya memang sering curhat kepada dirinya. Dan dirinya hanya dapat memberikan jawaban yang cukup memuaskan baginya.

"Aku kehabisan uang." ujarnya tiba-tiba. "Dan seperti biasa, itu akan sangat pending."

"Sudah kau telepon orang tuamu?"

"Begitu aku tau dompetku hampir kosong, aku langsung mengajukan proposal pada mereka." ujarnya sarkastik.

"Iya, sebelum dirimu datang kami juga telah membahasnya. Dompet kami juga kosong."

"Astaga."

Mereka kompak tertawa melihat kemiripan keadaan mereka. Kemudian saling menerka-nerka isi dompet masing-masing.

"Lima puluh ribu! Demi apa itu bisa ngapain?! Bahkan beli nasi bungkus saja hanya bertahan tiga hari!"

"Masih mending kamu, Ris. Liat dompet aku. Dua puluh ribu! Astaga!" mereka kembali tergelak karena keadaan mereka.

Ya, ini lah kebiasaan mereka jika keuangan mereka sama-sama menipis. Menertawakan sisa uang di dompet.

Ketika Fany dan Lucy masih tertawa, Risya terlihat mengotak-atik ponsel pintarnya. Dan sumringah ketika mendapat apa yang di carinya.

"Hei. Tenang saja. Kita masih bisa hangout." ujarnya yang membuat Fany dan Lucy mengerjap bingung.

"Yah, kita masih bisa bersenang-senang." sambungnya lagi.

"Seperti biasa~"

Dan hanya di jawab senyuman miring oleh kedua temannya itu.

.

.

.

Continue

.

.

.

Writer's corner

Ini emang sengaja dibuat selambat mungkin...

23th November 2017

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 23, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Far AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang