Akankah semua terasa sama?

28 0 0
                                    


    Langit cerah beserta tawa keluarga yang membuat ku rindu nantinya, mengiringi kepergianku pagi itu. Pergi untuk berjuang! Pergi untuk membahagiakan wanita dan laki­-laki yang kini sedang bersanding di kursi layaknya pengantin baru. Senyum dan tawa menghiasi wajah mereka, meneduhkan hati ini. Menularkan senyum di bibir ini.

   Ahh rasanya berat sekali kaki ini melangkah pergi meninggalkan raja dan ratu yang saling melempar senyum itu. Senyum yang membuat siapa saja yang melihatnya merasa iri. Senyum itu, senyum di bibir mereka, tawa bersama, terkadang menangis ketika mengenang masa lalu yang kelam. Semua kenangan itu aku tak sanggup meninggalkannya. Kenangan yang tak mungkin terlupakan.

   Mobil yang akan mengantarkan ku ke pelabuhan pun telah tiba. Dengan berat hati akupun meninggalkan kampung halaman ku tercinta. Dari jendela mobil ku lambaikan tangan sembari melempar senyum perpisahan kepada mereka semua. Sedih namun akupun harus membanggakan mereka, sang raja dan ratu ku.

   Selama perjalanan aku hanya diam mendengarkan musik. Supir yang mengantarkanku ke pelabuhan tidak lain adalah paman ku sendiri. Dia seorang wartawan, dia kebanggaan keluarga besar kami, keluarga Sanjaya. Alasan mengapa dia yang mengantarkan ku adalah karena ia sedang melakukan liputan di pelabuhan. Sekalian.

   Sesampainya di pelabuhan aku langsung berpamitan. Kamipun berpisah karna aku harus mengantri tiket terlebih dahulu sementara paman ku dia harus langsung menuju tempat liputannya. Antriannya cukup panjang. Sekitar 20 menit aku berada di antrian.

   Saat itu aku diarahkan ke dermaga 3, karena kapal ferry di dermaga 2 akan segera di berangkatkan. Sesampainya di awak kapal aku langsung mencari ruangan penumpang. Hampir semua ruangan penuh dan untungnya masih tersisa satu bangku untukku. Saat itu kapal yang ku tumpangi tidak memiliki lesehan. Jadi semua ruangan di penuhi kursi-kursi layaknya kelas eksekutif. Namun sialnya ac di kapal itu tidak menyala hingga menyisakan pengap dan panas.

   Lagi aku hanya mendengarkan music dan mata ku menatap ke layar tv yang ada di tengah-tengah ruangan. Kulihat ada seorang ibu yang sedang menggendong bayi bingung mencari tempat duduk. Ruangan itu benar-benar penuh, sebagai anak muda harusnya aku tak duduk disini ketika ada yang lebih membutuhkan bukan. Akhirnya aku mempersilahkan ibu tersebut untuk duduk dan dia berterima kasih.

   Aku pun pergi ke luar. Kepinggir awak kapal. Dari situ aku bisa menikmati hamparan laut dengan ombak yang menenangkan mata. Angin laut yang menyejukkan diiringi cuaca yang sangat panas. Cukup lama aku berdiri menikmati. Ku lirik jam dan sepertinya masih satu jam lagi aku di kapal ini. Aku pun menepi ke tempat yang lebih teduh dekat dengan jendela ruangan penumpang. Ku gelar Koran sebagai alas ku duduk.

   Riuh suara para kuli angkut yang menawarkan jasa mengiringi langkahku menuju ke terminal bus. Tak hanya mereka, suara penumpang yang takut kehilangan rombongan pun membantu ramai suasana. Dengan berteriak.

   Cukup jauh dari dermaga menuju terminal bus. Tak ingin membuang waktu aku pun langsung menaiki bus tujuan Bekasi.

   Tepat jam sepuluh malam aku menginjakan kaki di kota kenangan ini dan disinilah awal kehidupan baru ku akan di mulai. Dua belas jam perjalanan membuat tubuhku terkapar untuk sesaat. 

                                                                                               *****

   Pagi pertama di Bekasi. Hari minggu. Car free day. Menyenangkan. Mungkin dan seharusnya. Bunyi alarm seketika membangunkanku. Ku buka mata lalu bangkit dari tempat tidur kemudian pergi ke dapur untuk minum dan membuat sarapan. Karena aku tahu betul kakak iparku tidak akan membuat sarapan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 06, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

TERIMA KASIH DUNIAWhere stories live. Discover now