Sebentar lagi, gue harus pindah ke Bogor. Gue masih hidup di angin Jakarta yang sebentar lagi tinggal kenangan dan hanya untuk diingat saja. hm, mungkin diingat saja gue tidak mau. Gue si perempuan 16tahun yang duduk di kelas sebelas lupa kalau Jakarta masih banyak kenangan yang merusak perjalanan gue. Tapi, rasa rasanya gue harus pindah ke daerah pun terlalu berat. Langkah nya terlalu tajam dan terlalu jauh, gue menolak pindah. Lebih tepat nya gue menolak perubahan. gue terlalu takut, sampai benar benar muak. Gue lelah menjelaskan bagaimana pendapat dan perasaan ku kepada ibu dan ayah. Gue remaja umur 16 tahun, yang mencoba membayangkan proses adaptasi di daerah, yang jauh berbeda dengan Jakarta. Remaja perempuan labil yang takut ayahnya mengalami kesusahan, gue lah daddy,s little girl.
"Bantulah ayah, ayah sudah tidak ada uang lagi,nak."
ayah menatap dengan mata yang lelah dan bingung itu.Dan gue terenyuh, tapi belum tersentuh. Gue bersikukuh untuk tetap di Jakarta karena teman-teman gue, karena laki-laki yang gue suka selama tiga tahun lama nya. Odi nama nya, dari nama nya sudah keliatan nakalnya. dengan rambut keribo, pembawaan yang angkuh, dan cuek. gue suka segalanya yang ada diri dia, dahulu.
Bagian tersedih dari Odi yang enggak gue suka, paling e n g g a k gue suka. Dia membuat gue menyedihkan, dia membuat kisah gue sebagai kisah cinta sendiri. selama 3 tahun lama nya, disaat saat gue menyukai nya dengan sangat, itu adalah masa masa persahabatan kami.
Ya, tahu sendiri penyebab kenapa kami tidak bisa bersama. Tapi itu salah nya kan? gue jelas bisa bisa saja, dia yang terlalu belajar pada pengalaman pahit.
Mana ada cinta hati-hati, yang gue tahu cinta itu sembrono. cinta sedikit, langsung cinta mati.
tapi masa masa persahabatan pun bisa berakhir, apalagi kisah cinta sendiri ini. semua berakhir saat,"Di, gue harus pindah ke bogor" gue bilang dengan khawatir.
"oh, ya? bagus dong jadi jauh sama gue" dia menjawab dengan ketus.
gue, si remaja labil yang mudah geer itu berpikirmungkin itu caranya menyampaikan kekecewaan.
tapi ternyata, itu perasaannya. itu bercandaan yang di campuri dengan ketulusan. dan gue baru menyadarinya lebih lama dari yang diperkirakan, gue buang buang waktu terlalu lama.
semenjak saat itu, kami tidak pernah bicara dengannya, apalagi hanya sekedar SMS. kami, benar benar berakhir.Jakarta adalah kota dimana gue besar, gue menikmati segala gejolak yang ada di Jakarta. dan semua semakin menyebalkan saat semua harus berakhir. Gue harus mengakhiri cerita nya, disaat gue masih menikmati alurnya. berat kan? dan sekarang, gue harus jauh dengan Odi, jauh dengan kehidupan yang sudah mendarah daging.
ya, bisa apa. ayah sudah memohon, gue gabisa lihat ayah sedih. meskipun gue pun tahu, bahwa gue di b o h o n g i oleh k e a d a a n.
---------------------------------Hari ini adalah hari dimana gue harus berangkat ke Bogor dengan barang-barang pribadi. menyelesaikan urusan sekolah baru gue, rumah baru gue. dan kehidupan baru gue yang tak terlalu menarik. gue benci berada di lingkungan ini, didaerah yang teman-teman gue pun enggak mau tahu.
"hahahahha Bogor, apa itu. kok lo pindah kesana?" sebagian besar, itu perkataan teman teman gue. dekat atau jauh, mereka memilih tak mau tahu.
gue jadi sangat amat tidak percaya diri untuk memulai cerita gue disini.
jumat, pagi. cocok untuk liburan, tapi gue merasa tak cocok dengan suasananya. buat teman-teman Jakarta gue, Bogor cuma kota transit kalau mau ke Bandung. ya, enggak salah sih, gue pun berpikiran yang sama.
gue enggak pernah berpikiran bakal bisa nyaman dan menjalani kehidupan yang super normal, meskipun gue bukan super human. tapi punya kehidupan super normal adalah hak, sobat.
rumah nya terlalu jauh dari gapura komplek, sekolahnya terlalu jauh dari gerbang, teman-temannya anak daerah. gue enggak suka. daerahnya juga, terlalu kecil. enggak asik!
kekesalan gue udah berubah menjadi senyawa air yang datangnya dari mata dan perasaan, bukan lagi kemarahan.
ya, itu klimaks nya. gue, yang akhirnya menyerah pada kemarahan dan lebih memilih melakukan demo. Laknat memang, gue lupa kalau gue masih seorang anak. enggak mikir kalau bisa di azab, tapi tau-taunya ayah dan ibu gue tau, demo ga cocok sama gue, si Remaja Labil yang cengeng ini.malam itu, ayah gue datang ke kamar gue sebagai aksi "menanggapi demo". ayah memang tak pernah meninggalkan dunia dan tugasnya, meski terlalu misterius.
"ayah, mengerti." dua kata yang ayah katakan. cuma dua kata, tapi gue tersentuh. gue pikir, mengerti adalah proses paling kompleks yang bisa manusia lakukan.
"aku, gabisa yah. aku mau pulang, let me go ayah..." nada ku yang terpampang jelas, kesedihannya.
"anak kesayangan ayah, ayah mengerti dan biarkan kamu yang mengerti ayah juga saat ini. ini lah, dan begini adanya." singkat, jelas dan menyentuh. kenapa begitu jelas beri saran nya?
gue si Remaja Labil yang cengeng itu sempat kesal, mengapa secepat itu menyerah? gue enggak habis pikir aja, gue kira ayah bisa hidup sampai saat ini karena dia hanya tidak ingin menyerah. gue ingin marah sambil menangis dan berharap ayah menyadari kalau ini berat. tapi.... ternyata kalau ego gue berlawanan dengan hati nurani gue, hati nurani gapernah kalah.
tapi gue bukan nurani.....
Gue, Aisyah, anak kedua dari 3 bersaudara. ayah gue seorang Tentara Nasional Indonesia - Angkatan Laut. bukan karena tinggal di laut makanya dibilang angkatan laut, tapi karena terlalu sibuk menyelam dalam impian. ahahaha enggak lah, gue bercanda. Kebayakan Tentara hidup dengan berkecukupan, tapi bukan berarti Kaya Raya. kalo Kaya Otot, itu benar. berbanggalah lo semua yang orang tua nya seorang Tentara, banyak pengusaha yang enggak berotot padahal banyak Uang. Ibu gue mantan Guru, panjatkan syukur bukan mantan Napi. sekarang, harta gue cuma mereka dan plus two, yaitu kakak perempuan dan adik laki laki gue.
"WOI BALIKIN KALUNG GUE, AHSY!!"
"WOI JANGAN PAKE BAJU GUE YANG ITU!"
"bodoamat kita berantem mulai hari ini"ya, Ahsy, itu gue. lebih tepat nya itu nama panggilan gue, dan percakapan tadi adalah kebiasaan mutlak dalam hubungan persaudaraan gue dan kakak gue.
Alzea, seorang remaja amatiran yang menjabat menjadi kakak gue, si beda dua tahun. dan Aljiraldo, si balita yang masih suka ngompol. sebut saja raldo.
ya, meskipun begitu. gue cuma punya mereka. mungkin juga, teman sependeritaan, teman beradaptasi di dunia yang gue butakan ini. sebut saja Bogor,karena memang Bogor namanya. Daerah, Kota baru yang merubah seorang Aisyah, seorang Ahsy.
KAMU SEDANG MEMBACA
My -truly- Destiny
Teen FictionAku sebagai manusia biasa yang normal, aku bermimpi tentang Takdir sesungguhnya. tapi tak kunjung datang dengan melewati banyak perubahan dalam hidupku. tentang dia, yang akhirnya berhasil menjalani kehidupannya di Akademi Militer, yang sebentar lag...