My Life As A Stuntman

6 1 0
                                    

Satu jam sudah aku duduk disini. Menunggu kabar dari dokter yang sedang menangani anakku di dalam sana. Mala memang sudah didiagnosa terkena demam berdarah beberapa hari yang lalu. Namun aku tak bisa membiarkannya dirawat di rumah sakit karena tidak adanya biaya. Aku hanya seorang buruh serabutan dan istriku sudah tidak lagi bekerja menjadi tukang cuci karena memang aku yang tak mengizinkannya, usia kandungannya sudah delapan bulan.
Sempat saat itu suhu tubuh Mala menurun cukup drastis namun itu tak terlalu berarti karena kini ia terbaring lemah di atas kasur rumah sakit itu. Aku terpaksa kembali berhutang kepada Pak Burhan, mandor paling kaya di desaku. Hampir semua tetanggaku pernah berhutang padanya.
Hujan tiba-tiba terdengar deras dari dalam rumah sakit. Seseorang lalu keluar dari ruangan dimana Mala dirawat.
“Dokter.. bagaimana keadaan anak saya dokter? Bagaimana?” tanyaku dengan sangat gelisah.
“Sebenarnya keadaan Mala sempat membaik tadi. Tapi..”
“Tapi.. tapi apa dok?”
“Tapi setelah itu keadaannya kembali memburuk. Sistem pertahanan tubuh Mala yang lemah menjadi salah satu alasannya. Maaf pak, saya tidak bisa menyelamatkannya. Anak bapak sudah meninggal.”
Sejenak tubuhku kaku mendengar pernyataan itu. Segenap tanya yang sejak tadi bermunculan di benakku menghilang seketika bagai tersambar petir hujan kala itu. Dan air mataku pun perlahan mengalir membasahi sebagian ruang wajahku. Mala, anak semata wayang yang selalu menjadi pengusir lelahku sepulang bekerja dengan senyum manisnya. Teringat aku ketika beberapa hari sebelum akhirnya ia terdiagnosa penyakit DBD. Kala itu ia merengek ingin makan sate kambing. Tapi apa daya, dengan pekerjaanku yang seperti ini bahkan tak mampu mencukupkan kebutuhan makannya sehari-hari. Bahkan penyesalanku sekalipun tidak dapat ditukar dengan sate kambing. Kini aku pun terduduk lemah di lantai rumah sakit. Mencoba melawan pahitnya takdir yang harus dengan terpaksa kuterima. Aku bahkan tak tahu harus bilang apa pada istriku, Ratna, yang mungkin sampai saat ini masih terjaga. Dan malam itu menjadi malam paling dingin bagiku.
Seminggu setelah kepergian Mala, aku masih menjadi buruh serabutan. Istriku sedang menganyam tikar rotan saat aku sampai di rumah waktu itu.
“Rotan dari mana, bu?” tanyaku seraya memposisikan diri untuk duduk senyaman mungkin di lantai depan rumah waktu itu.
“Dari Bu Inah, mas.” jawabnya singkat.
Dari situ akun yakin betul bahwa masih ada sedih di hatinya, masih ada rasa resah tak percaya yang menyelimuti perasaannya. Tak mudah memang melewati kejadian memilukan itu, terlebih kini ia sedang mengandung. Namun Ratna memang belum mau mengutarakan bagaimana suasana hatinya sejak saat itu. Ia menjadi lebih pendiam dari biasanya. Membuat suasana rumah yang hanya ada aku dan dia saja didalamnya terasa dingin beberapa hari ini.
“Assalamu’alaikum..” ucap seseorang menghampiri kami.
“Wa’alaikum salam.. eh, Mas Teguh. Ayo silahkan duduk mas.”
Teguh adalah kawan lamaku. Entah dengan maksud apa ia kemari, apalagi dengan dandanan yang cukup berbobot itu. Sementara istriku beranjak pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman seadanya.
“Wah, kaya’nya kamu sudah banyak berubah ya..” gurauku memulai pembicaraan.
“Ah, kamu bisa saja, mat. Iya sekarang aku memang sudah tidak jadi kuli panggul di pasar lagi. Sekarang aku sudah jadi stuntman, mat.”
“Wah, pekerjaan macam apa tuh, guh?” tanyaku yang heran mendengar kata asing itu. Kemudian datang istriku membawa dua gelas air putih.
“Stuntman itu yang jadi pemeran pengganti di film action. Kerjanya ya.. berantem-berantem gitu. Macem-macem deh..” jelasnya lalu mulai mereguk air putih di gelasnya.
“Wah, serem juga ya? Kok kamu berani kerja seperti itu sih, guh? Kan bahaya.”
“Haha, waktu pertama kali denger temenku cerita juga aku takut, ngeri. Tapi ternyata itu gak seburuk yang saya pikir. Bayarannya lumayan, mat.” Ungkap Teguh yang mulai menyenderkan tubuhnya di dinding rumahku.
“Ah, yang bener kamu?”
“Iya. Sekali main bisa dapet 1 juta. Kalau tingkat bahayanya tinggi, bisa naik bayarannya, mat. Waktu itu aku disuruh meranin adegan jatuh dari lantai 5 dan bayarannya naik jadi 1,5 juta, ya meskipun tulang keringku retak gara-gara itu.” ucap Teguh sambil menepuk-nepuk kakiknya.
“Retak? Serius kamu? Trus gimana?” tanyaku ingin tahu.
“Iya. Orang-orang langsung nolongin aku waktu itu. Pas diperiksa sama dokter ternyata tulang keringku retak.” jelasnya.
Dan setelah itu kami terdiam beberapa saat sebelum Teguh kembali melanjutkan perbincangan.
“Sebenernya aku kesini mau ngajak kamu buat kerja bareng sama aku, jadi stuntman. Kebetulan ada sutradara yang lagi butuh banyak stuntman baru.”
“Hmm, gimana ya, guh? Aku ngeri sebenernya kalau harus kaya’ gitu. Lagian Ratna lagi hamil, guh. Aku nggak mau bikin dia khawatir. Dia masih sedih ditinggal Mala, guh.” ungkapku dengan wajah lesu nan sendu.
“Mala? Mala meninggal? Innalillahi.. kapan, mat?”
“Seminggu yang lalu, guh. Mala meninggal karna DBD.” sejenak bayang-bayang Mala melintas di pikiranku.
“Kalau begitu aku turut berduka cita ya, mat. Dan kalau kamu memang kamu masih ragu tentang stuntman itu nggak apa-apa. Tapi kalau kamu berubah pikiran, kamu bisa datangi alamat tinggal saya yang sekarang.” ucap Teguh seraya memberikan secarik kertas padaku lalu pamit pulang.
Waktu terasa semakin cepat sekarang. Tak terasa sudah sebulan Mala pergi. Kini pun usia kandungan Ratna sudah menginjak bulan kelima dan perutnya semakin membesar. Ingin rasanya aku tinggal di rumah menjaganya. Namun jika itu ku lakukan, bagaimana aku, istri dan calon anakku bertahan hidup? Aku jelas harus lebih giat bekerja. Bahkan hingga larut malam jika perlu.
Dua hari yang lalu istriku didatangi Pak Burhan. Ternyata ia menagih uang yang waktu itu aku pinjam untuk biaya rumah sakit Mala. Sebenarnya aku ingat akan hal itu. Namun uang yang ku dapat selama ini hanya cukup untuk biaya makan aku dan istriku, juga calon anakku.
Satu hari, dua hari, sampai di hari ketiga ini aku masih saja merasa gelisah. Sejak kemarin aku hanya terjaga sepanjang malam. Pikiranku sudah melayang jauh, entah kemana. Sudah beberapa hari ini kami hanya makan nasi dengan garam. Dan itu jelas tak cukup bagi istri dan calon anak yang dikandungnya. Lalu aku teringat juga dengan penawaran Teguh. Dan berbagai pertanyaan dan spekulasi pun mulai muncul di pikiranku. Di satu sisi aku tak ingin membuat Ratna khawatir menungguku pulang setiap hari, tapi di sisi lain aku sangat butuh uang. Uang yang dapat memenuhi segala yang dibutuhkan. Aku pun menghampiri Ratna yang sedang duduk bersandar di sisi dalam rumah.
“Ratna, aku mau tanya sama kamu. Boleh?” tanyaku memulai perbincangan.
“Mau tanya apa, mas?” suara dan tatapannya yang begitu lembut, membuatku kembali berpikir tentang pertanyaan yang akan ku tanyakan.
“Begini, dari kemarin kan kita hanya makan nasi dan garam, dan itu karena beberapa hari ini aku sudah tidak banyak dibutuhkan orang. Apa.. apa kamu mengizinkan aku bekerja di kota?” tanyaku dengan sangat hati-hati.
“Bekerja di kota? Memangnya sudah tidak ada lagi yang bisa dikerjakan di sini? Kenapa harus di kota, mas? Apa tidak ada tempat lain?” pertanyaan-pertanyaan Ratna itu mulai mendesakku.
“Ngg.. jadi waktu Teguh datang sebulan yang lalu itu, dia cerita tentang pekerjaan barunya. Katanya sekali bekerja dia bisa dapat 500 ribu, bahkan bisa lebih. Dan itu hanya ada di kota.”
Wajah Ratna seketika berubah. Nampaknya ia tak ingin aku meninggalkannya. Aku pun melanjutkan ucapanku.
“Aku akan minta tetangga untuk menjaga kamu. Aku juga bakal sering-sering pulang menengokmu. Dan setelah semuanya cukup, aku akan kembali kesini, kembali ke istana kita ini.” ujarku sambil memandang dua bola matanya yang indah itu.
“Terus kamu gimana?”
“Kamu tenang aja. Disana aku akan tinggal dengan Teguh.” jawabku singkat.
Meski raut wajahnya masih tampak cemberut, namun sepertinya ia sudah mulai berpikir untuk mengizinkanku. Dan malamnya aku menyiapkan beberapa perlengkapan untuk kubawa ke kota esok harinya.
Mentari pagi yang bersembunyi dibalik rintik hujan kala itu mengiringi langkahku menuju kota. Ku lihat istriku yang sebelumnya ku kecup keningnya itu melayangkan senyum tipisnya padaku. Senyum tipis yang indah. Aku pun mulai berjalan di atas tanah basah berkerikil. Lima belas menit berlalu, jalan raya itu sudah nampak rupanya. Aku pun mempercepat langkahku. Dengan menaiki sebuah bus mini aku mulai meninggalkan desaku. Aku duduk di bangku tengah, bersama seorang pemuda yang sedang asyik dengan telepon genggamnya.
Seseorang menepuk pundakku. Hari sudah beranjak sore ketika aku sampai di kota. Begitu pulasnya aku tertidur sampai semua penumpang bus sudah menghilang. Aku menanyakan jalan menuju alamat tinggal Teguh kepada kernet bus itu. Untungnya tidak terlalu jauh. Aku hanya perlu naik angkutan umum warna biru satu kali saja, jurusan alamat tinggal Teguh tentunya.
Usai membayar angkutan umum itu aku pun bergegas menemukan alamat yang dituju. Karena baru pertama kali datang ke kota aku merasa bingung sendiri. Lalu bertanyalah aku kepada beberapa orang yang ku temui sepanjang jalan. Setelah berjalan beberapa saat, aku pun tiba di tempat tinggal Teguh. Tempat itu tidak bisa dibilang rumah karena tempat itu bukan hanya milik Teguh. Ku lihat ia sedang asyik meninju sebuah bantalan yang telah digantung sebelumnya.
Tanpa pikir panjang, aku pun langsung menyapanya. Ia lalu mempersilahkanku untuk masuk ke dalam kamarnya. Melepas tas yang menjadi beban di pundak beberapa saat yang lalu, juga melepas rasa lelah setelah melewati perjalanan yang cukup panjang. Kamar itu pun tidak hanya milik Teguh seorang, sepertinya ada dua orang lagi di dalamnya. Itu terlihat dari ranjang tingkat yang sudah ada kala itu. Seperti asrama. Dan disini aku merasa seperti anak baru. Tak apalah.
Hari itu aku diajak oleh Teguh untuk melihat latihan para stuntman. Tak ada yang lain yang bisa kulihat selain dua, tiga orang yang saling berpasangan baku hantam. Memang hanya latihan, namun bagiku itu seperti kenyataan. Sebagai anak baru aku mencoba untuk mengurangi rasa takutku dengan menuruti perintah Teguh untuk meninju beberapa bantal yang menggantung itu. Aku langsung merintih pada pukulan pertama. Sungguh, itu bukan bantal. Memang terlihat seperti bantal, tapi bukan bantal yang kita pakai untuk tidur. Bisa dibilang saat ini aku sedang berusaha mengahadapi bantal berbatu. Dari yang ukurannya sebesar bola basket sampai bantal yang tingginya hampir sama dengan tangki minyak tanah. Melihat aku yang sejak tadi meniup-niup kepalan tanganku, Teguh lalu mengajakku pulang. Siang itu memang sudah waktunya makan siang.
Beberapa hari setelah aku menemui Ratna di desa, Teguh mengajakku ke sebuah tempat dimana banyak berdiri lampu-lampu besar dan beberapa kamera disana. Itu tempat shooting rupanya. Teguh langsung membawaku pada seseorang yang sedang duduk dibelakang monitor, memantau.
“Bos, ini saya bawa orang baru, bos. Walaupun baru lima hari latian, tapi lumayan kok, bos.” ucap Teguh seakan mengenalkanku pada orang itu.
“Oke, hari ini dia maen ya. Si Bowo gak jadi bawa orang soalnya. Nih script-nya, jelasin ke dia. Kalo udah langsung ke make up. Bentar lagi kita take. Hmm, sepuluh menit ya.” orang itu menjelaskan sesuatu yang tak ku mengerti kepada Teguh.
“Oke bos.”
Teguh lalu membawaku ke sisi lain tempat itu. Sengaja membawaku menjauh dari lalu lalang orang-orang sepertinya. Ia lalu mengarahkanku untuk melakukan beberapa gerakan. Entah kenapa tubuhku terasa agak kaku saat itu. Mungkin karena aku baru pernah datang ke tempat seperti ini. Ramai, tapi dengan urusannya masing-masing.
Empat menit sebelum waktu sepeluh menit yang diberikan oleh orang yang dipanggil ‘bos’ oleh Teguh itu tiba, Teguh membawaku ke tempat riasan. Aku tidak tahu kenapa aku perlu dirias juga, aku ini kan pria. Namun riasan yang diberikan seorang gadis berambut ikal itu memang tidak seperti riasan wanita. Sepertinya masih pantas-pantas saja bagiku.
“And.. action!”
Teriakan orang yang ternyata sutradara itu seperti menyuruhku, menyuruhku untuk memulai adegan dengan seseorang yang sudah dipilih untuk beradu tubuh denganku. Beberapa pukulan ku rasakan nyata di wajah dan perutku. Untungnya kali ini aku memerankan seseorang yang sudah dipastikan menang dari perkelahian bodoh ini. Usai dinyatakan cukup, Teguh pun langsung meraih tanganku dan membawaku istirahat sejenak. Ia lalu membawakanku sebotol air minum yang cukup dingin. Sutradara itu memanggilnya. Mereka terlihat berbicara beberapa menit sampai sang sutradara itu memberikan sebuah amplop kecil kepada Teguh. Setelah itu, kami pun kembali ke tempat tinggal itu yang bisa dibilang asrama.
Entah sudah berapa lama aku tak menemui istriku. Perutnya pasti sudah makin membesar sekarang. Tapi meskipun tak menemuinya, aku tetap mengirimkannya uang hasil jerih payahku. Ku putuskan untuk menemuinya besok karena hari ini aku punya tiga jadwal shooting di berbeda tempat.
Ya, sejak adegan yang ku perankan waktu itu, sutradara yang selalu dipanggil ‘bos’ oleh Teguh itu menyukai gayaku. Ia bilang aku ini stuntman baru yang sangat berbakat. Sutradara itu pun lalu menawarkanku kepada rekan-rekan kerjanya yang juga menjadi sutradara. Alhasil, kini aku cukup dikenal oleh mereka, orang-orang kota yang mengenalku sebagai stuntman. Namun sepertinya keberhasilan yang ku raih ini tak terlalu membuat Teguh senyum sumringah lagi. Belakangan ini aku jarang menemuinya. Mungkin dia sama sepertiku, sibuk.
Keesokan harinya aku bergegas merapikan beberapa pakaian ke dalam tas. Tampaknya aku hanya satu hari saja berada di desa. Namun betapa terkejutnya aku ketika melihat ada banyak orang berada di sekitar rumahku. Kulihat ada bendera kuning yang menggantung di dekat rumah. Aku pun masih tak mengerti. Ratna sedang terbaring disana. Dengan kain putih yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajahnya itu tampak sekali wajahnya yang pucat. Istriku meninggal. Dan segenap rasa rindu yang bermunculan di hatiku pun hancur tersapu duka dan kesedihan. Tinggallah aku seorang diri disini.
Satu minggu berlalu. Aku mencoba menguatkan hatiku yang entah sudah seperti apa hancurnya. Aku memutuskan untuk kembali ke kota, melanjutkan hidupku seorang diri. Kemungkinan besarnya aku takkan lagi kembali ke desa setelah rumah itu ku wakafkan.
Jadwal shooting-ku semakin hari semakin padat. Aku bahkan lebih sering bermalam di tempat shooting daripada di tempat yang kusebut ‘asrama’ itu. Padahal aku bukan pemain sinetron. Namun pendapatan kami bisa dibilang hampir sama. Aku bahkan sudah punya mobil dan sebentar lagi siap menghuni sebuah rumah elite. Entahlah, sepertinya aku mulai mencintai pekerjaan ini. Kelihaianku dalam berakting sudah menjadi bahan pembicaraan para stuntman-stuntman lain sepertinya. Membuatku secara otomatis bangga terhadap diri ini.
Malam itu, aku sedang mengahdiri acara makan malam. Acara makan malam ini adalah acara makan malam paling istimewa katanya. Bagaimana tidak? Acara ini dihadiri oleh para stuntman-stuntman senior dan beberapa sutradara terkenal.
Waktu itu aku pergi ke toilet sebentar. Tiba-tiba ada seseorang bertopeng yang menghadapkan pisaunya ke arahku sambil merengkuh erat leherku.
“Siapa kamu?” tanyaku dengan nada berteriak.
“Kamu tidak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, malam ini juga kamu akan mati. Hahahahaha..”
Aku pun lantas mencoba melawannya, hingga akhirnya pisau itu pun tertancap di perut sebelah kirinya. Dengan rasa gelisah yang memuncak, aku pun mendekati orang itu.
“Teguh? Kamu.. kamu mau membunuhku? Tapi, tapi kenapa, guh?” tanyaku, tak percaya.
“Iya.. a aku memang.. ingin mem.. bunuhmu, Rahmat. Sejak, kamu.. meng.. gantikanku sebagai.. stuntman baru.. yang hebat. Aku.. iri padamu. Kamu.. tidak seharusnya.. berada disini. A..kan kutunggu kau.. di nera..ka.” rintihannya terhenti lama, lama sekali.
Teguh. Sahabat yang sudah ku anggap sebagai kakakku sendiri, bahkan berniat membunuhku dengan beralaskan rasa iri. Tak habis pikir aku melihatnya yang kini telah terkapar di lantai toilet dengan pisau yang menancap di perutnya, mengacaukan jalannya aliran darah hingga nyawanya menghilang. Entah harus bagaimana aku sekarang. Menangiskah? Marahkah? Atau bahkan senangkah?
Sejak kematian Teguh malam itu, kabar buruk pun terus berdatangan mengahmpiriku. Aku dituduh membunuhnya. Tuduhan pembunuhan itu pun kemudian mengantarkanku pada sebuah hukuman penjara yang masih belum jelas berapa lamanya. Pihak kepolisian masih mencari bukti-bukti lainnya.
Yang pasti, hidupku kini telah berubah, drastis. Dari yang tadinya diagung-agungkan dan diidolakan, kini menjadi yang dihina dan dicaci-maki. Semua pembicaraan tentang keberhasilanku menjadi seorang stuntman pun berubah menjadi pembicaraan mengenai pembunuhan keji itu. Dari stuntman aku menjadi seseorang dan dari stuntman pula aku dibuang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Life As A StuntmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang