G e n e r a t i o n o f D r e a m e r s
P r o j e c tS U N : A R I A
———————
R y z e 9 5🌿
🌿
🌿
Disini lah aku, disebuah tempat yang dingin dan gelap—hitam mendominasi tempat ini, entah bagaimana caranya aku dapat berada disini aku tidak tahu.
—yang kurasakan hanyalah satu, sekarang aku sedang terbaring di suatu tempat, dengan kedua mata yang tertutup rapat.
Meski kelima indera ku masih belum berfungsi dengan benar, aku masih bisa merasakannya. Disini, disebuah taman, tidak, atau mungkin sebuah tempat yang lebih luas dari taman—padang rumput, mungkin saja.
Dari mana aku tahu?
Samar-samar pendengaranku dapat mendengar suara cicit burung yang berada diatas ku bernyanyi dengan suara yang merdu, mungkin saat ini aku tertidur dibawah pohon yang cukup rindang, aku dapat mendengar melodi dari dedaunan yang saling bergesekan tertiup oleh angin.
Lalu...
Samar-samar aku dapat mencium aroma harum dari bunga-bunga yang ada disekitarku—lily, dandelion, mawar, lavender, ah ya, aku juga dapat mencium bau tanah yang lembab, tempat aku berbaring saat ini. Sentuhan dedaunan yang ada diatas tanah seakan menggelitik kulitku, sedikit basah oleh embun pagi.
Ah... aku masih belum bisa membuka kedua mataku.
Meski begitu aku merasakan pipiku basah—mungkinkah aku menangis, tapi karena apa?
Memutar sedikit memori, aku masih belum menyadarinya. Kedua tangan dan kakiku, tubuhku, masih belum mau menuruti kehendakku—membeku, tidak dapat digerakkan dan jari-jari tanganku terasa sangat dingin dan kaku. Meski begitu, kini aku dapat mendengar sebuah isakan lirih yang keluar dari mulutku.
—ya, aku menangis.
Ayolah otak, apa yang aku tangisi?
Mengapa aku tidak dapat mengingatnya?
Sakit, dadaku terasa pedih, tepatnya dihatiku—menyakitkan. Kapan terakhir kali aku merasa seperti ini? Aku berusaha mengingatnya.
—sebuah memori dengan alunan sendu, muncul didalam ingatanku.
Jika dipikir lagi, apa yang kurasakan saat ini hampir sama dengan apa yang terjadi di masa lalu—namun ini sedikit berbeda, bukan rasa hangat yang terselip kebahagiaan, hanya ada rasa kesepian yang muncul sesaat aku mengingat memori itu.
Memori sendu, memori yang sudah kuanggap sebagai racun—racun yang selama ini menggerogoti jiwaku dan perlahan semakin meruntuhkan tembok pertahananku, hingga akhirnya aku tidak dapat memaafkan diriku sendiri, bahkan tidak akan pernah memaafkan apa itu yang disebut dengan takdir.
—seluruh kebanggaan yang selama ini melekat dalam diriku seakan sirna setelah aku memiliki perasaan ini, dan aku menyesal karena memiliki kebanggaan ini.
Perasaan yang sebenarnya tidak boleh kumiliki bahkan merasakannya pun adalah sesuatu yang salah.
—ya, inilah alasan mengapa aku menangis, aku teringat akan satu hal yang berusaha ku kubur didalam memori ku yang terdalam, hal yang paling tidak dapat dilupakan olehku bahkan tidak dapat memudar dari ingatanku. Masih tergambar jelas, walau telah digerogoti oleh waktu.