2

11 5 0
                                    

Aku sedang menghadiri acara jamuan makan malam antar rumah di desa kami yang biasanya diadakan setiap seminggu sekali, sebelum laki laki dengan sorban kecoklatan mendudukan dirinya di seberangku.

Aku akan biasa saja jika dia salah satu orang yang tidak ku kenali. Tapi sayangnya pemilik marga Assegaf itu terus memandangiku sampai dia mengatakan sesuatu, aku berniat untuk pindah tempat duduk.

"Bagaimana kabarmu?" Masih ku ingat dengan jelas suara merdunya yang dulu menghiasi masa kecilku dengan penuh senyuman.

"Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi saat ini." Tidak Parisya, kamu tidak boleh jatuh ke lubang yang sama lagi. Dia orang yang berbeda dari 10 tahun yang lalu. Dia laki laki yang jahat.

"Saya tidak mengenali Anda sebelumnya. Maaf." Dengan perasaan bercampur aduk aku meninggalkan dirinya sendiri. Lalu duduk di kerumunan para gadis yang siap di persunting.

Sebenarnya semenjak beberapa tahun yang lalu aku menjadi bagian dari mereka. Tapi sampai sekarang tidak ada yang berniat untuk meminangku. Entah sudah berapa banyak tolakan yang ku terima. Tidak sebanding lah, kurang tampan lah, tidak memiliki pekerjaan tetap lah. Hingga aku melupakan fakta bahwa aku berbeda.

Untungnya selama jamuan makan malam ini dia tidak berniat lagi untuk berbicara padaku.

Setidaknya aku pulang tanpa rasa penyesalan karna telah mengabaikannya.

Setelah berpamitan pada Bibi Lam, si penyelenggara Jamuan makan malam minggu ini aku pulang dengan tergesa. Tidak sabar memeluk guling kapukku.

Dari kejauhan aku melihat Ikana-adik tiriku tersenyum lebar penuh kengerian.

Sepertinya ada tamu yang di undang.

"Mbak, Ibunda telah menunggu di dalam." Ikana menarik tanganku untuk cepat naik ke atas.

Aku memandanginya dengan tatapan tidak meyakinkan. Pasalnya sudah hampir 4 tahun Ibunda tidak pulang ke desa setelah ia di berikan tugas untuk menjadi ketua dayang bagian dapur.

"Tunggu. Aku harus mencuci kaki ku terlebih dahulu." Ku lihat Ikana mengambil kendi di sudut dinding kayu.

"Baiklah aku kebelakang dulu, mengambilkan air untukmu." Setelah mengatakan tindakannya tadi, Ikana meninggalkanku dalam keheningan malam.

Akhir akhir ini memang sering terjadi hujan deras, maklum sedang musim hujan. Wajar saja bila kakiku penuh dengan lumpur.

Aku menyukai musim hujan karna membuat tanaman tampak lebih bersemangat memproduksi, tapi juga ada beberapa tanaman yang tidak bisa terkena banyak air akan mati.

Lalu Ikana kembali dengan kendi yang ku rasa telah terisi air sumur di dalamnya. Saat dia akan turun ke bawah untuk membersihkan kakiku, aku menahannya agar tetap di tempat.

"Kau tidak boleh membersihkan kaki gadis perawan." Nasihatku, entah dari mana asalnya nasihat leluhur itu tetap di pegang erat oleh kebanyakan keluarga di desa ini.

"Aku tidak sabar menantikan pelepasan status perawanmu, Mbak." Setelah selesai kami berdampingan masui ke dalam rumah.

Menemukan Ayahanda telah duduk di atas tikar, di sampingnya Ibunda tersenyum penuh keramahan. Ada yang tidak beres saat Ibunda menyambut kami dengan penuh suka cita seperti itu. Lalu Kakanda duduk di samping Ibunda, menghadap jendela yang berada di sebelah kiri.

Tanpa di komando, aku dan Ikana duduk berdempetan menghadap Ayahanda dan Ibunda.

Aku mengamati barang barang ku tidak berada di tempatnya. Kemana kah gerangan semua kerajinan tangan yang ku taruh di samping lukisan keluarga. Saat aku akan protes, Kakanda memberikan selembar kain bergambarkan dua sosok laki laki beda generasi.

"Ada apa dengan lukisan ke dua pria ini Ayahanda. Apakah mereka berniat untuk mempersuntingku lagi? Dan kalian berniat menerimanya tapi bingung karna mereka berdua memiliki kedudukan yang sama? Lalu kalian menyuruhku memilih di antara mereka berdua. Benar begitu?" Kali ini aku menatap mata Ibunda yang menatapku dengan keterkejutan yang berusaha di tutupinya.

"Ya, secara garis besar kau benar. Kami akan mengirimu ke Kerajaan Mataram."

"Sagala!"

"Ayah!"

Drama keluarga di mulai. Ayahanda memarahi Sagala-kakak kandung laki laki karna membocorkan niatan awalnya, Ibunda memarahi Ayahanda karna Ayah bersikap tidak sopan di rapat keluarga.  Huh, semoga di masa depan tidak terjadi lagi drama keluarga yang membosankan seperti ini.

"Pada intinya aku akan segera menikah. Jadi apa yang harus aku lakukan." Aku yakin ini ada kaitannya dengan kejadian 10 tahun yang lalu.

"Ini waktunya kamu beraksi Parisya." Ibunda memulai.

"Perkenalkan Prabu Kagendra dan Adipati Rajendra dari Mataram. Mereka memiliki hubungan darah, layaknya kau dan Ayah." Aku mengamati wajah Prabu Kagendra yang tampak tidak familiar. Apa aku pernah bertemu dengannya sebelumnya?

Wajahnya terlihat seperti malaikat kematian. Warna matanya sehitam arang, hidungnya mancung dengan ramping, bibirnya di tekuk tipis bewarna merah merona. Dia sangat tampan, tapi juga telihat mematikan.

Lalu Adipati Rajendra, wajahnya 50% mirip dengan Sang Prabu Kagendra, tapi dengan warna mata coklat terang dan bibir yang sedikit lebih ranum.

Satu kesamaan di antara mereka berdua. Tidak seperti makhluk hidup pada umumnya. Entah memang hanya lukisannya saja yang menggambarkan kegelapan. Aku tidak tau.

"Sang Prabu telah memilih Selir. Menur Lituhayu namanya, gadis belia itu berasal dari Surabaya." Kakanda menatapku dengan yakin.

"Kau sangat mengenalnya, Parisya," lanjut Ibunda.

"Dia. Menur bukan penduduk pribumi Ayahanda. Bagaimana mungkin dia..." Ikana membekap mulutnya sendiri setelah mendapat pelototan dari Ibunda.

"Itulah salah satu alasan kenapa Ibunda pulang setelah sekian lama."

"Ini tugasmu Parisya. Kau tau apa yang kami maksudkan."

"Demi kita, dan nasib rakyat nusantara kedepannya."

Aku tidak dapat mencerna maksud dari Ibunda. Aku. Kepalaku terasa sakit. Bisakah aku menghilang saat ini juga dari muka bumi.





Dracucaramelirga,
10112017.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 10, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang