The Slave (2)

81 4 2
                                    

Lembayung meremang, menjadi latar langit di tengah gurun tiada bernama. Gunung batu menjulang mengelilingi lembah, dan bukit-bukit pasir beserta kaktus seukuran manusia dewasa, tertanam sebagai penghias.

Bernapas lepas rombongan Karpas bersandar di dinding terjal pegunungan batu. Menengguk bulir-bulir air dari dalam kantong kulit perbekalan. Menghadang dingin angin gurun berselimut kain tipis nan lapuk.

"Di mana selimutmu, Reyez?" Karpas menghampiri wakilnya yang sedang duduk termenung memandangi redupnya mega.

"Aku tidak membutuhkan sehelai kain untuk menghalau dingin. Zirah ini sudah lebih dari cukup memberikanku rasa hangat," sahut Reyez. Bergeming dihembus angin.

Menoleh sekilas komandan gagah pemimpin tentara bayaran itu ke kumpulan budak yang meringkuk jadi satu untuk saling menghangatkan. Beberapa saling merangkul, beberapa berusaha melipat badannya sekecil mungkin agar selimut jatah mereka dapat menutupi badan dari terpaan dingin.

"Tidak berubah. Masih seorang bocah naif berhati lembut." Di bawah lebatnya kumis berwarna coklat, terkembang sebuah senyum. "Jangan-jangan kau juga sudah tahu nama budak yang kau berikan selimut itu?"

Reyez menoleh. Melempar selarik tatapan teduh kepada Karpas. "Epoh. Namanya Epoh, yang berarti harapan."

Karpas melepas tawa lalu ikut duduk di samping Reyez. Menepuk pundak bidang pemuda tersebut lalu ikut menyaksikan kerlip bintang di langit gelap berdamping separuh bulan.

"Sejujurnya aku senang kau berada di sini. Kelembutan hatimu meleburkan sikap keras para prajurit. Diimbangi ketangkasan mengayun pedang yang tidak kalah hebatnya denganku. Keduanya berpadu menjadi satu dan menguatkan serikat ini."

Reyez tertawa tanpa suara. "Kau terlalu memujiku, Komandan. Jika bukan karena latihan neraka yang kau berikan semenjak kecil, tidak mungkin aku akan menjadi seperti ini," ucapnya bernada ringan.

Senyum terkembang di wajah keduanya.

"Obat untuk kakekmu telah kau dapatkan. Setelah perjalanan ini aku harap kau masih mau berada di dalam serikat kecil milikku ini." Karpas kembali menepuk pundak Reyez.

"Jika upahnya dinaikan, mungkin aku akan mempertimbangkan tawaranmu," celetuk pemuda berambut cepak tersebut.

Hening pecah oleh tawa mereka.

"Baiklah, akan aku pikirkan hal itu," Karpas bangkit dari duduknya, "tetapi sebelum itu kau harus terus bersiaga penuh menjaga para budak dan gerobak bawaan kita."

Reyez mengangguk tersenyum lalu ikut berdiri menyusul sosok gagah yang telah lama menjadi panutannya. Dia masih terdiam saat Karpas berlalu. Dahinya berkerut dengan tatapan tajam menyusuri penjuru gurun. Masih membekas tajamnya tatapan gaib yang siang tadi dia rasakan.

Semilir angin menelusup rongga pakaian besi pemuda tegap tersebut. Membuyarkan lamunannya, membuat dia bergidik menahan dingin.

Sekejap pandangannya menjelajah cepat, lalu menatap kedua telapak tangannya dengan napas tertahan. Semburat merah berkobar di telapak tangannya, yang langsung dia torehkan berjarak ke sekujur tubuh.

Diayunkan kakinya ringan, setelah merasa pasti kalau tidak ada seorangpun yang melihat dia mengeluarkan api dari telapak tangan. Menghampiri para prajurit serikat, dan kembali mengulang perintah sang komandan yang diberikan di awal persinggahan mereka.

Waktu mengalir cepat. Di tengah ganasnya cuaca gurun, sebagian anggota rombongan tertidur, dan sebagian lagi berjaga penuh kewaspadaan menyisir sekitar dengan pandangan awas.

Kuapan panjang seorang prajurit mengalihkan perhatian Reyez. Diturunkan perintah kepada rekan sekerjanya untuk membangunkan prajurit yang tertidur, agar personil jaga berganti.

Hitungan detik bergulir. Syaraf pertahanan di tubuh Reyez menyentak terbangun oleh desau angin padang pasir bercampur amis darah. Terbawa dari sesuatu di balik bukit pasir. Berada tidak jauh dari persinggahan mereka.

Dihunuskan pedangnya bersamaan dengan hembusan suara yang seketika membangunkan seluruh kehidupan lembah. Hanya diperlukan waktu sepersekian detik sampai seluruh prajurit bersiaga mengisi formasi tempur.

Selintas kemudian. Sekumpulan pria beriringan keluar dari balik gundukan pasir. Menyeringai bagai seekor serigala kelaparan, dengan tajamnya senjata dalam genggaman.

Prajurit serikat tertahan napasnya oleh ketakutan. Melihat sekilas gambar berbentuk cakar dipenuhi darah. Berkibar di jubah seorang pria yang berdiri membusung di atas bukit pasir.

Lambang kematian padang pasir. Milik bandit kejam tiada moral, kumpulan penyamun bernama Targan.

Elemental WizardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang