"Sayang, mas berangkat. Assalamualaikum" Suara bariton itu berhasil membuatku menghentikan kegiatan rutinku.
"Iya " teriakku singkat. Segera kulepas celemek Keroppi dan meletakannya asal. Kulangkahkan kakiku dengan tergesa-gesa menuju teras rumah. "Mas, tung-" suaraku terhenti saat mendengar suara deru motor mas Hen -suamiku- perlahan menghilang. Kutarik napas dalam-dalam dan ku hembuskan dengan perlahan. "Huuuhh. Lagi dan lagi" lirihku dan berlalu melanjutkan kegiatanku yang sempat tertunda.
Setelah lama berkutat didapur dan urusan rumah tangga lainnya, termasuk tumpukan baju yang sudah menggunung belum kuseterika, berteriak untuk segera kubelai-belai sayang. Akhirnya aku bisa merebahkan tubuhku diatas tempat tidur. Kurasakan tubuhku lengket oleh keringat, mandi sepertinya menjadi pilihan yang tepat saat ini, pikir ku. Dengan malas aku beranjak dari tempat tidur, melangkahkan kakiku melewati meja rias lalu membuka pintu kamar. Ketika mencapai kenop pintu langkahku terhenti, seketika tubuhku menegang. Aku mundur beberapa langkah, sehingga kini aku bisa melihat pantulanku dicermin. Mataku melebar, aku seperti menonton film Resident Evil. Bukan. Bukan sosok Milla Jovovich yang ku lihat, tapi sosok yang mengejar si Alice. Rambut acak-acakan yang dicepol asal, mata dengan lingkaran hitam, wajah yang kusam dan berminyak, keringat dimana-mana bercampur bau bawang dibalik daster longgar yang warnanya mulai memudar. ZOMBIE!!!
"Kyaaaaaakkkk"
***
"Kita kaum Hawa yang sudah menikah memang seperti ini Ver. Laki-laki bukan menyebut kita sebagai wanita, tapi sebagai seorang Ibu" Suara Mbak Mita menghentikan lamunanku. Terdiam sejenak, lalu kulirik Mbak Mita yang kini sibuk menenangkan Nova -puterinya yang berumur 4 tahun- yang sedang menangis.
"Maksudnya apa Mba?" tanya ku sambil mengerutkan dahi. Tidak mengerti.
"Maksudnya, kita itu sudah nggak bisa mengurus yang lain selain dapur, sumur, dan kasur, ditambah anak kalau yang sudah punya anak" kini Mbak Dinda yang menjawab, menimpali perkataan Mbak Mita.
"Itulah mengapa kita, perempuan yang seharian mengurusi rumah disebut Ibu rumah tangga, sedangkan perempuan yang bekerja diluar, nggak sepenuhnya mengurus rumah disebut wanita karier. Wa.ni.ta" jelas Mba Mita dengan menekankan kata 'Ibu' dan 'wanita'.
" Makanya kita harus selalu peka. Apalagi kalau kelakuan suami sudah mulai berubah. Harus hati-hati tuh, takutnya mereka punya sosok wanita selain sosok ibu. Jangankan Mbak Dinda sama Mbak Mita yang sudah berkepala tiga, kamu aja sudah berbeda auranya dengan Lia, anak gadisnya Pak Shodiq. Padahal kalian seumuran, kan?" jelas Mba Dinda sambil melirik kearah Lia yang baru saja pulang dari bekerja turun dari sepeda motornya.
Mataku mengikuti pandangan Mba Dinda. Sepuluh meter didepan kami, Lia terlihat masih cantik meskipun ada gurat lelah diwajahnya. Rambutnya yang lurus dan panjang tergerai indah. Kemeja satin merah marun begitu kontras dengan kulitnya yang putih. Rok span hitam melekat ketat membuat bentuk tubuhnya semakin indah. Perfect.
Perkataan antara Mba Dinda dan Mbak Mita selanjutnya sudah terabaikan olehku. Otakku mulai berputar menarik sebuah kesimpulan. Kapan terakhir kali mas Hendro memuji dan mengatakan cinta padaku? Penampilanku dan perubahan Mas Hen. Mungkinkah?! Hueeeeee. Gak mau!!!
***
"Mas lembur, nginep tempat Ibu"
Kubaca pesan singkat yang baru saja dikirim Mas Hendra. Singkat, padat, dan jelas. 'Kenapa cuma kirim sms, nelpon kek. Seharian nggak denger suara istrinya, nggak kangen apa?' runtukku kesal. Kenapa harus menginap tempat Ibu, selama ini juga kalau lembur sampai jam berapapun tetap pulang kerumah. Apa Mas Hendra sudah mulai bosan dengan aku? terus dia menghindar? Atau jangan-jangan alasannya aja menginap tempat Ibu, padahal.... "Positive thinking, positive thinking..." ucapku sambil menepuk pelan keningku berulang kali. Efek nonton telenovela tadi sore sepertinya mulai bekerja.
Kurebahkan tubuhku miring kearah kanan, pandanganku jatuh pada sebuah potret seorang pria dengan setelan jas hitamnya sedang memeluk mesra pinggang seorang perempuan yang mengenakan kebaya putih. Senyum bahagia menghiasi bibir pasangan pengantin itu. Yah, itu foto pernikahan aku dan Mas Hen 3 tahun yang lalu. Tiba-tiba rasa nyeri menghinggapi hatiku, terasa sesak didadaku. "Aku harus berubah penampilan ku, aku mau Mas Hen cuma melirik aku. Melirik ku sebagai wanita. Aku pasti bisa" ucapku sambil memejamkan mata mencoba menenangkan hati dan fikiranku yang sedang kacau.
***
"APA??? nggak salah nih mba?" pekikku pada seorang wanita didepanku.
"Nggak Mbak. Harganya memang segitu, ada harga ada kualitas Mbak. Kalau Mbak mau, ada model lain yang harganya lebih miring" ucap wanita itu sambil melangkah pergi lalu kembali lagi dengan beberapa helai pakaian ditangannya. "Ini harganya lebih miring mbak, mau nggak Mbak? "
Kuamati pakaian yang disodorkan oleh wanita itu. Sebuah dress warna hijau pastel selutut dengan motif taburan bunga Krisan putih dipadu dengan blezer rajut lengan panjang dengan warna senada. Ahhhh aku suka banget!! tapi...
"Nggak lah mbak, saya ambil yang ini aja deh" putusku akhirnya.
***
Entah sudah beberapa kali aku melirik jam dinding dikamarku. Hei jarum jam, kenapa lambat sekali kau berputar!! Akhirnya kuputuskan untuk beranjak kedepan meja rias. Kutatap lagi pantulan ku didalam cermin. Dress ketat 10 cm diatas lutut dengan potongan dada rendah membungkus tubuhku. Rambut panjangku yang biasanya ku cepol asal kini tergerai dengan ujungnya yang curly menutupi punggungku. Wajahku yang biasanya hanya dilapisi bedak bayi, sekarang terlihat lebih mencolok dibeberapa bagian. Tidak ada lagi yang kusam, tidak ada lagi mata panda, tidak ada keringat. Fresh. Tanpa sadar aku tersenyum. Dan astaga, bibirku tampak menggoda dengan warna merah menyala senada dengan warna dress ku. Tapi kenapa bibirku rasanya tebal sekali? "Ah, biarin yang penting seksi" gumamku.
Tiiintiiiiiiinnnnn
"Assalamualaikum" suara seseorang yang kutunggu sudah datang. "My hubby i'm coming" pekikku tertahan dengan senyum lebar.
***
Kupandang wajah yang kini tampak serius menyantap makan malam. Sesekali matanya menatapku yang kubalas dengan senyum manis yang terbaik yang kupunya. Hahahahhaha aku masih terbayang raut wajahnya yang begitu lucu ketika aku menyambut kepulangannya tadi. Ekspresi wajah kaget dengan mulut menganga, memandangku berulang-ulang dari ujung rambut sampai keujung kaki. Terkesima. Akh, bukan-bukan. Terpesona. Yup, TERPESONA.
"Kenapa?" tanya Mas Hen ketika aku kembali menatapnya.
"Ah.... eh... gak. Nggak kenapa-kenapa kok mas"
"Nggak makan?"
Makan? Uaaaa pengen sih, apalagi tumis kangkung saus tiram plus orak arik tempe. Kutelan ludahku. Mau!!!
"Nggak mas, masih kenyang"
Bohong. Aku bohong mas, sebenarnya aku lapar sangat mas. Tapi ini semua demi perutku yang semakin melar. Hueeee diet ini menyiksaku!!!
"Hm" mas Hen menyelesaikan makan malamnya lalu beranjak keruang tv. Sedangkan aku merapikan meja makan, mencuci piring dan membereskan istana kecilku. Dapur.
Setelah urusan dapur selesai aku berniat menyusul mas Hen menonton tv. Tapi ternyata sosok yang ku cari tidak ada. "Apa mas Hen dikamar yah? Hihihi kamu gak sabar pengen makanan penutup ya mas. Ok my hubby, i'm coming"
Setengah berlari aku menuju kamarku, ehm maksudnya kamar kami, kamarku dan mas Hen. Ketika pintu terbuka, kulihat mas Hen sudah tidur terlentang dengan kedua telapak tangannya sebagai bantalan. Aku segera beranjak naik ke ranjang. Mari kita berhitung. Satu. Dua. Ti... ba tiba tangan kanan mas Hen sudah terulur kesisi kanan ranjang. Bantalku sudah siap. Asyikkkk!
Aku segera mengatur posisiku tidur miring menghadap dada mas Hen. Tempat ternyaman didunia.
"Mas..." aku mendongakkan kepalaku menatap wajah terpejam mas Hen.
"Hm" jawab mas Hen masih dengan mata tertutupnya.
"Belum tidur ya?" kini tanganku bergerak membentuk pola lingkaran didada telanjang mas Hen.
"Hm"
"Mamas sayang nggak sama nduk?"
Mas Hen membuka matanya "Pertanyaan konyol" jawabnya sambil menekan dahiku dengan ujung jari telunjuknya.
"Yeee itu bukan jawaban" aku mengerucutkan bibirku.
Tiba-tiba mas Hendra membalikkan badannya, menindihku. Wajahnya begitu dekat, bahkan nafasnya yang hangat terasa menerpa wajahku. Astaga, kenapa aku deg-deg kan begini. Nafasku memburu dan telapak tanganku berkeringat. Sadar. Sadar Vera kamu bukan perawan yang lagi menunggu malam pertama, kan?
"Sayang.. "
Hei, apa aku salah dengar. Suara mas Hen terdengar sedikit eerrrr parau. Pandangan mas Hen mengunci mataku. Perlahan wajahnya mendekat. Tanpa komando aku segera memejamkan mataku. Deru nafasnya semakin hangat dipipiku. Eh, bukan. Dia menuju telinga. Ya telingaku.
"Kalau mau tidur cuci muka dulu!!!"
Kyaaaakkkkk. Aku sukses membulatkan mataku. Melotot, semelotot-melototnya. Hei. apa-apaan ini? Sekuat tenaga aku mendorong tubuhnya hingga terjengkang diujung ranjang.
"Nggak mau!!!" jawabku ketus. Apa suamiku sudah error. Dari sore aku berdandan, memoles wajahku sedemikian rupa. Aku bahkan merogoh dompet dalam-dalam untuk kursus make up dan beli segala macam tetekbengek make up belum lagi pakaian. Semua untuk siapa? demi siapa? Dan dia tadi bilang apa? cuci muka?! No!! Big big No!!!
"Mau tidur apa mau kondangan? Tidur kok pake baju bungkus lemper, ketat sana sini. Terus itu pipi kenapa merah- merah gitu. Mata juga diitem -itemin. Kayak gerandong. Bibirnya juga, abis dientup tawon ya? Buruan dicuci, mas tunggu dikamar" Mas Hen menarikku turun dari ranjang dan mendorong tubuhku untuk masuk ke kamar mandi. Lalu pergi meninggalkan aku yang kaget mode on.
Ya bagaimana nggak kaget. Itu kalimat terpanjang yang pernah aku dengar setelah ijab kabul yang dia ucapkan 3 tahun yang lalu. Oh iya, ini dress mamas sayang, bukan bungkus lemper. Terus ini make up biar jadi cantik bukan jadi apa tadi? gerandong!!! nggak ada yang lebih buruk dari cucunya Nek Lampir apa? Aku sukses berteriak untuknya. Berteriak dalam hati. Hiks!!!
"Ngerusak suasana" runtukku kesal.
Kuputar keran air diwastafel. Meraup air yang mengalir dengan telapak tanganku dan mengusapkannya ke wajahku. Berulang-ulang dan bisa kulihat aliran air bening itu kini berubah warna menjadi merah dan biru. Duo proklamator dan pahlawan dari Bali melambaikan tangannya. Kyaakkk Hayati rugi banyak Bang!
Kuambil handuk kecil untuk mengeringkan wajahku. Tunggu. Eh iya tunggu. Bukannya tadi mas Hendra bilang tunggu ya? iya, tunggu dikamar. Huaaa kamu grogi ya mas? jadi kamu nyuruh aku ke kamar mandi biar gak ketahuan nervous. Hahahha kamu lucu mas. Ternyata ada untungnya kamu sering lembur. Sudah lama nggak olahraga malam. Jadi kangennya ke level maksimal. Aku terkikik. Untuk ketiga kalinya dalam sehari ini, "My hubby, i'm coming"
Tapi...
Hei, pernahkah kalian menatap matahari secara langsung disiang bolong. Itulah yang aku rasakan, sedih, marah, kecewa campur aduk jadi satu. Semacam, mau bersin tapi gak jadi!
Keinginan untuk menyenangkan suami -menyenangkan aku juga sih- pupus ketika ku dengar nafas mas Hen yang halus dan teratur. Dia tidur. Benar-benar ditunggu untuk tidur. Dia pasti capek dan lelah. Kubaringkan tubuhku disisinya mencari tempat ternyaman dan membawaku kealam mimpi.
***
Tidak ada yang berbeda pagi ini, kecuali pandangan mas Hen yang menatapku tanpa berkedip. Yah, sudah kukatan bukan, aku ingin dipandang mas Hen sebagai seorang wanita. Dan untuk kejadian semalam, ah lupakan saja. Toh, aku bisa memulainya lagi seperti pagi ini. Ucapkan selamat tinggal pada wajah wajan, minyak wangi jelantah, dan daster cantikku. Yah walaupun aku harus rela untuk tidak marathon seri milik Sandra Brown, agar bisa bangun lebih pagi dan tampil cantik seperti semalam.
Mas Hen sudah menyelesaikan sarapannya, mengambil kontak motor dan bergegas menuju ruang tamu. Namun langkahnya terhenti karena aku segera menghadangnya.
"Mas..." bisikku lalu memejamkan mataku. Satu detik. Dua detik... Sepuluh detik.
"Mas berangkat. Assalamualaikum"
What??? Mana morning kiss untukku, yang ada morning shocking. Aku mengerucutkan bibirku.
"Ya, wa'alaikumsalam" jawabku lemas.
***
Aku tersenyum pada beberapa orang yang melewati ku. Basa basi sejenak dengan beberapa orang yang ku kenal. Langkahku terhenti saat mataku menatap sosok pria yang berada beberapa meter dihadapanku. Tubuhnya bersandar pada kusen pintu. Sesekali senyumnya diikuti tawa renyah menanggapi apa yang dibicarakan wanita-wanita yang ada dihadapannya.
selanjutnya, hal yang membuat aku bingung, ketika aku merasakan sesuatu yang perlahan-lahan mengendap dan membuatku menjadi seperti wanita yang sentimentil. Apakah kalian tahu, rasa apakah itu?
Segera ku merogoh kedalam tasku dan mengambil benda segiempat dari dalamnya. Kutekan angka 2 pada layarnya dan pangilan terhubung...
"Ya"
"Udah makan siang?"
"Belum,nggak usah disiapin, mas nggak pulang"
"Oh kebetulan, kita makan siang bareng aja diluar. Nduk sudah di tempat kerja Mas"
Kulihat mas Hen menggerakan kepalanya, mencari keberadaanku. Pandangan kami akhirnya bertemu, tergambar jelas wajah kaget dan terkejutnya. Segera kuputuskan panggilanku dan melangkah mendekati mas Hen.
"Lho ini istrinya Pak Hen ya? wuih cantik ya"
"Hei, lihat deh. Itu siapa? pacarnya pak Hen apa istrinya ya? cantik yah?"
"He'e cantik, kok aku baru tahu ya"
"Seksi dan sedikit menantang sih, tapi tetep cantik"
"Bla... bla.... bla..."
Banyak bisik-bisik yang ku dengar disekitar. Dan yang kulakukan hanya tersenyum. Sedikit GR boleh, kan? Hahaha. Namun, senyumku berubah ringisan saat kurasakan pergelangan tanganku ditarik paksa oleh seseorang.
"Aduh, duh duh mas, sakit. Mas kenapa? kita mau kemana?"
tanyaku beruntun saat kutahu mas Hen yang telah menarik tanganku. Aku terseok-seok mengikuti langkah lebarnya menuju ruang kerjanya.
"Kenapa kesini?" mas Hen menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan.
"Ngajakin makan siang" jawabku sambil memperlihatkan senyum tiga jariku.
"Kenapa pakai baju kayak gitu?"
"Biar...." aku menggantungkan jawabanku. Ayo mas disambung, biar cantik gitu. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri.
"Biar banyak yang godain gitu!!!"
Aku terkejut seketika saat mendengar perkataan mas Hen. Ku liat rahangnya mengeras dan tangannya mengepal hingga buku jarinya terlihat berwarna putih. Apa mas Hen marah?
"Bukan mas, aku cum..."
"Cuma pengen dikerubungi cowok-cowok gitu?!!"
"Stop mas!!! kenapa mas ngomong gitu? yang ngegodain siapa? yang pengen dikerubungi siapa? bukannya mas ya yang kayak gitu?! asyik ketawa cekikikan sama cewek-cewek cantik muda seksi!!! aku begini karena mas, buat mas. Aku pengen dipandang sebagai wanita sama mas. Aku pengen dipuji sama mas kalau aku cantik. Tapi mas nggak peka. Yang peka malah orang lain!!!" ku tumpahkan semua yang mengganjal dihatiku. Nafasku memburu seiring dengan dadaku yang naik turun.Aku marah.
"Ok. Kalau gitu" jeda sesaat, mas Hen memegang kedua bahuku. Mata tajamnya mengunci pandanganku. "Woha!!! nduk cantik. Mamas sampai terkejut! cukup?!"
Nggak. Bukan ini yang aku mau, aku memang berharap dipuji oleh mas Hen. Tapi bukan seperti ini. Ku rasakan mataku mulai memanas dan tenggorokanku tercekat. Oh tidak! jangan menangis Vera. Tekanku dalam hati.
"Ya udah, nduk pulang" kubalikkan tubuhku meninggalkan mas Hen. Aku butuh pengalihan.
BLAMB
Kubanting pintu ruang kerja mas Hen berharap dia tahu kalau aku sedang kesal. Setelah berada dibalik pintu aku melangkahkan kakiku dengan perlahan. 'Ayo mas kejar nduk, rayu nduk seperti kita pacaran dulu' harapku dalam hati.
Satu menit.
CEKLEK.
"Yes" pekikku tertahan. Tanpa sadar kugigit bibir bawahku, menahan senyum.
"Langsung pulang, jangan mampir-mampir"
Dan seketika tubuhku melemas. Aku tidak menoleh apalagi menjawab. Kuhentakkan kakiku dengan keras agar mas Hen tahu aku sedang kesal.
***
“Hueeeeekkkk hiks hiks. Srrrtttt. Hahahahha” Sudah hampir satu jam aku melakukan hal yang sama berulang-ulang. Menangis, membersit hidungku dengan tisu lalu tertawa terbahak-bahak.
Ku pandang layar televisi yang menayangkan serial kartun anak-anak. Dimana tokohnya sikotak berwarna kuning sedang bernyanyi dirumah nanasnya. Aku menangis saat dia tertawa, pun sebaliknya aku tertawa disaat dia sedih ditinggalkan oleh sahabatnya.
Aku akui, fokusku kekotak ajaib di depanku hanyalah pengalihan rasa sedihku. Kulirik jam yang menggantung diruang tamu, tepat jam delapan malam. Sudah 8 jam berlalu dari saat aku pergi meninggalkan kantor Mas Gen. Selama itu juga aku seperti remaja labil yang sedang putus cinta. Uring-uringan nggak jelas. Kuperhatikan sekeliling ku. Hah, sepertinya gempa lokal telah terjadi di kamarku. Dengan lemas, aku beranjak dari tempat dudukku dan mulai merapikan kekacauan yang kubuat sendiri.
Aku mendesah kesal saat memungut dress yang aku pakai saat menemui Mas Hen tadi. Melipatnya menjadi gulungan bulat dan kulempar kearah keranjang pakaian kotor. Hap!!! Masuk dengan tepat!
Kegiatanku terhenti didepan cermin meja riasku. “Ya, ya, ya. Kembali ke Vera si Upil abu. Dicari dengan segala usaha, setelah dapat disentil begitu saja” aku bermonolog sambil memutar badanku yang dibungkus daster tidurku.
“YEAHAHAHAHAAAAAA!!!
Kau bukan utamakan
Tegap gagah perkasa
Siapa dia? Wiro Sableng!
Pembela kebenaran, pembasmi kejahatan
Itulah dia! Wiro Sableng!
Sikapnya lucu, tingkahnya aneh
Seperti orang yang kurang ingatan dan tak sadar
Dia selenge'an tapi cinta damai
Wiro Sableng disukai banyak orang
Wiro Sableng, dasar sableng
Gurunya gendeng, muridnya SABLENG!!”
Alunan suara Bondan Prakoso menguar dari handphoneku. Tanpa melihatnya aku tahu siapa yang meneleponku. Kubalikkan badanku dan meraih handphone yang tergeletak diatas kasur.
“Kenapa nelpon-nelpon? Aku lagi ngambek tau!!!” alih-alih menjawab panggilan, aku malah memandang garang pada foto yang ditampilkan saat panggilan masuk. Kugeser tombol berwarna merah dan melemparkan handphone ku keatas kasur.
“YEAHAHAHAHAAAAA!!!
Kau bukan utamakan
Tegap gagah perkasa
Siapa dia? Wiro Sableng!
Pembela kebenaran, pembasmi kejahatan
Itulah dia! Wiro Sableng!
Sikapnya lucu, tingkahnya aneh
Seperti orang yang kurang ingatan dan tak sadar
Dia selenge'an tapi cinta damai
Wiro Sableng disukai banyak orang
Wiro Sableng, dasar sableng
Gurunya gendeng, muridnya SABLENG!!”
Hpku kembali berdering, namun aku tetap tak bergeming. Dan itu terus menerus berlanjut. Hingga nada lain mulai terdengar.
“Buka lapak emang cincai. Harga santai kagak lebay. Dinego aja say, pasti bisa say. Buka lapak aja say”
Nomor baru. Aku mengerutkan kening ku. Menimbang sesaat, lalu kuputuskan untuk mengangkatnya.
“Hall-“
“Hallo Bu. Segera datang ke Rumah Sakit Medical 55. Pak Hendro kecelakaan seka...”
Tutty tuuttt
Segera ku akhiri panggilan, mulutku terbuka lebar. Bahkan aku melupakan niatku untuk mencaci orang yang memotong ucapan ku.Tiba-tiba tubuhku melemas. Dengan sisa kesadaran, aku meraih kontak motor matic ku diatas nakas.
***
“ Maaf, hiks. Bu, hiks. Ruang rawat atas hiks nama Hendro Pratama hiks dimana yah?” tanyaku dengan Isak tangis yang tak juga kunjung berhenti.
Petugas resepsionis yang ada di hadapanku menatapku dengan heran. Kedua ujung alisnya mengerut. Tatapan matanya pun berulangkali terarah dari kepala hingga ujung kakiku.
“Hallo” aku menggerakkan tanganku keatas dan kebawah berulang-ulang. Disaat seperti ini sempat- sempatnya dia melamun. Sesat akhirnya sang resepsionis kembali tersadar kalau ada seorang manusia dihadapannya.
“Diruang Kenanga 2 Bu. Dari sini lurus saja, lalu belok ke kanan” si resepsionis berkata setelah mengutak-atik komputer dimejanya.
Tanpa mengatakan apapun, aku segera berlari menuju tempat yang disebutkan. Air mataku yang mengalir seperti berlomba dengan derap langkah kakiku.
Aku membaca tulisan setiap pintu yang ku lihat. “Kenangan 2, ini ruangannya” bathinku berujar.
Tanpa mengetuknya, segera ku dorong keras pintu dihadapanku. Kulihat mas Hendro yang setengah duduk terkejut melihatku. Segera kuhamburkan tubuhku masuk kedalam pelukannya. Kutenggelamkan wajahku kedada bidangnya.
“Hiks, hiks, hiks. Mamas jahat. Bikin nduk ketakutan” aku meremas kemeja mas Hen. Membuat pakaiannya yang sudah kusut bertambah kusut. Kulihat pula kotor dibeberapa tempat di kemejanya.
“Hahahahaha. Takut banget ya kehilangan Mamas yang ganteng ini?” alih-alih menenangkan ku dengan kata-kata, yang dilakukan mas Hen adalah tertawa sambil mengacak lembut pucuk kepalaku. Menyelipkan beberapa helai rambutku kebalik telinga. Sepertinya terlepas dari cepolan.
Cepolan? Hah?? Seketika aku melihat penampilan ku sendiri. Oh, tidak!! Aku masih memakai daster bututku. Dan, hei. Apa aku lupa ya kalo aku punya sepasang sendal yang berbeda warna, bentuk, dan ukuran. Pantas saja si ibu resepsionis tadi memandang ku aneh. Mungkin yang ada dalam pikirannya, aku pengemis yang gagal terciduk satpol PP.
“Tuh, kan. Sampai gak sadar kesini dengan keadaan yang...” mas Hen tidak melanjutkan kata-katanya. Memandangku dari ujung rambut ke ujung kaki. Mengangkat sebelah alisnya, lalu kembali tertawa. Aku kembali menenggelamkan wajahku. Sumpah. Aku malu!
“Yeeey, siapa yang takut kehilangan Mamas” sreeetth ' nduk cuma belum siap jadi janda tau” sreeetth. “Kirain kecelakaannya parah” sreeetth. “Abis yang nelpon tadi heboh banget suaranya” sreeetth. Aku menjawab sambil menggesek-gesekkan hidungku kedada mas Hen.
Mas Hen melepaskan pelukanku. Tangannya yang besar mengangkat daguku, menuntunku untuk mendongakkan wajah. Menarik beberapa lembar tisu diatas nakas lalu digunakannya untuk memencet lembut hidungku. Ahh leganya.
Setelah melempar tisu ketempat sampah, kurasakan telapak tangan hangat mas Hen merangkum wajahku. Menariknya pelan mendekati wajahnya. Kurasakan benda lembut, hangat dan kenyal didahiku. Tanpa sadar aku telah menutup mataku. Menyesap kehangatan yang disalurkan mas Hen lewat kecupan lembutnya.
Jeda cukup lama, mas Hen melepaskan kecupannya. Ah, kenapa serasa ada yang hilang ya?
Sebelah tangan mas Hen berpindah kepunggunggku, dan sebelahnya lagi menekan lembut tengkukku. Perlahan tapi pasti wajah kami mendekat seiring dengan kelopak mata yang menutup. Ku rasakan nafas hangat mas Hen menerpa wajahku. Sejenak aku terbuai, hingga sesuatu menyadarkan ku.
“Ih. Mas Hen, udah ah. Malu tau. Gak pede lagi” aku melepaskan diri dari mas Hen.
“Kenapa malu?” tanya mas Hen dengan senyum yang dikulum.
“Ya malulah. Keadaan nduk kayak gini. Gak cantik!” jawabku sambil memainkan ujung kukuku.
Mas Hen, melerai tanganku. Menautkan dengan tangannya, tergenggam erat.
“Sayang. Lihat mata Mamas”
Aku mengangkat wajahku. Menatap manik coklat madu mas Hen.
“Cantik itu bukan dari wajah, sayang. Tapi dari sini” mas Hen melepaskan genggaman kami.Pandanganku kini jatuh pada jari telunjuk mas Hen yang menekan lembut dadaku
“Mamas suka nduk yang seperti ini. Yang pipinya memerah karena malu” mas Hen mengelus lembut pipiku dengan punggung tangannya.
“Yang bibirnya merah dan bengkak karena berantem dengan bibir Mamas” aku memejamkan mataku, saat mas Hen mengerakkan ibu jarinya di bibirku. Gerakan pelan yang berubah lembut, hangat, kenyal dan menuntut. Aku membuka mataku. Dasar tukang maling ciuman. Geramku dalam hati.
“Dan mata jernih tanpa polesan areng yang melotot lebar”
Mas Hen terkekeh. Dan aku kembali menenggelamkan wajahku kedadanya. Iiiih, mas Hen selalu tau reaksi tubuhku.
“Tapi Mamas gak pernah lagi bilang cinta ke nduk. Gak pernah cium kening dan bibir nduk kalo berangkat kerja. Malah kemaren, nduk dibiarin kaya sapi ompong ngarepin morning kiss. Tapi Mamas malah nyelonong pergi. Disamperin, malah dimarahin” Aku mengerucutkan bibirku.
Tangan mas Hen menggenggam tanganku yang sedang bergerak membentuk pola lingkaran di dadanya. Kurasakan mas Hen mengecup pucuk rambutku. Tuh kan, mas Hen benar-benar tahu reaksi tubuhku.
“Pertama. Mamas bukan orang yang pinter merangkai kata romantis penuh rayuan gombal. Bagi Mamas perbuatan itu lebih nyata dibanding ucapan”
Aku mengangguk membenarkan ucapan mas Hen. Pikiran kembali pada beberapa tahun terakhir. Mas Hen memang nggak pernah merayuku dengan gombalan. Tapi perbuatannya bisa membuat pipiku merona.
“Yang kedua. Inget kan, bulan-bulan ini siapa yang sering begadang. Terus ngebangkong bangun siang? Bisa ngerasain kecupan Mamas disaat lagi enak-enaknya tidur?” tanya mas Hen lembut namun terasa menohok hatiku.
Ya, memang ku akui, aku sering begang membaca novel, komik dan teman-temannya. Hanya untuk memuaskan rasa penasaranku tentang isi ceritanya. Dan berakhir dengan bangun siang, bahkan tidak sekali dua kali aku terbangun dengan mas Hen yang sudah berangkat bekerja. Ya, jangan salahkan aku. Kalau mas Hen nggak seperti Mama yang selalu menyita koleksi buku kalau aku membaca sampai lupa waktu.
“Ketiga” ada jeda sesaat sebelum Mamas melerai pelukan dan menenggak kan wajahku menghadap wajahnya. Dan melanjutkan ucapannya.
“Mamas maunya cium bibir. Bukan cium lipstick, sayang. Kalau nduk pake lipstick gak ada gereget-geregetnya. Nggak bisa gigit-gigit kayak gini” mas Hen mengigit lembut bibirku.
Aku mencebikkan bibir, setelah Mamas melepaskan pangutannya.
“Dan terakhir” mas Hen kembali memelukku, tapi kali ini lebih erat. “Mamas marah karena Mamas nggak mau berbagi dengan orang lain. Apalagi berbagi keindahan seperti nduk. Nduk. Milik. Mamas!” ada penekanan pada tiga kata terakhir yang diucapkan.
“nduk ngerti, kan” tanya mas Hen yang ku jawab dengan anggukan.
“Mamas sayang nduk” kembali kurasakan pucuk kepalaku dicium lembut. Dadaku berdebar kencang. Sekencang debaran yang kurasakan didada mas Hen.
Ah, kenapa rasanya begitu nyaman dan melegakan. Lebih manis dari kecupan.
End