1 - Athanasius W.

74 6 3
                                    

"Woi Halilintar, tar jam ke-2 cabut, ya. Ada yg mau gw omongin."

Mata Atha membaca sebaris kalimat itu dengan cepat. Tebakannya benar, siapa lagi yang rajin mengirim pesan seperti itu kalau bukan komandan gengnya, Davion?

Tangan Atha kini mengetik dengan lincah, membalas pesan singkat Davion dengan jawaban seperti biasanya. Ia sempat tertawa kecil ketika membaca panggilan dari Davion untuknya. Meski ia sudah sering mendengar panggilan itu, Atha masih sering tertawa ketika orang-orang memanggilnya 'Halilintar'.

Atha memandang langit-langit kamarnya sambil menghela napas panjang. Pikirannya kini teralih pada hari-hari kemarin yang ia lewati seperti ini juga, dengan alur yang sama dan permasalahan yang sama. Kehidupan SMA-nya kian hari kian membosankan dan entah sudah berapa kali Atha mengeluhkan hal ini.

Atha juga teringat bahwa ia sekarang sudah duduk di kelas tiga. Semester depan, ia akan mengikuti serangkaian ujian dan seleksi masuk perguruan tinggi. Pemuda itu tersenyum pahit, entah apa dan ke mana tujuan hidupnya bila ia lulus nanti. Sekarang ini, Atha merasa tak mempunyai cita-cita apapun selain tetap hidup untuk menemani mamanya.

Betapa menyedihkannya gue, pikir Atha lagi.

***

Atha berjalan ke arah meja makan dengan malas. Sejak turun dari kamarnya tadi, ia sudah melihat wajah tidak bersahabat milik papanya. Satu-satunya alasan mengapa Atha berniat sarapan di sana adalah mamanya. Atha tak tega melewatkan masakan yang sudah susah payah dibuat oleh wanita paruh baya itu.

"Kamu masih mau sekolah, hah?"

Tubuh Atha melemas ketika mendengar perkataan tajam dari papanya, ia bahkan hafal apa yang akan dikatakan papanya selanjutnya.

"Buat apa ke sekolah? Bolos lagi? Tawuran lagi? Lebih baik kamu di rumah, dasar anak tukang onar. Bikin malu papa saja."

Bener. Atha menggumam pelan. Ia tak segan-segan menyebut ini sebagai sapaan ramah papanya setiap pagi. Atha hanya bisa menunduk, telinganya akan panas lagi untuk beberapa saat, setidaknya hingga ia atau papanya selesai sarapan. 

Atha sangat sadar akan hal ini, mungkin saja ini balasan Tuhan atas apa yang ia kerjakan selama ini atau mungkin juga konsekuensi atas kesalahan-kesalahan yang telah ia perbuat.

Ya, Atha memang anak berandalan. Di sekolah, ia tak pernah absen dari kegiatan komunitasnya dengan Davion. Merokok, bolos, bahkan tawuran, semua sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Atha sejak ia mengawali masa SMA-nya.

Hingga sekarang, setelah Atha resmi menjadi senior di tahun ketiganya, ia otomatis menjadi bagian dari petinggi di komunitasnya. Hal itu pulalah yang membuat tingkah laku dan kenakalan Atha semakin menjadi-jadi.

Atha memilih untuk tidak peduli. Yang ia tahu, ia punya alasannya sendiri.

***

"Masih ada uang jajannya?" Tanya mama pada Atha dalam bahasa isyarat, tepat ketika papa meninggalkan rumah dan berangkat menuju kantornya.

Atha merogoh saku untuk mengecek lalu menganggukan kepala. Ia menggerakkan jemari tangannya sambil berujar, "Aku pergi dulu, Mama."

Kini giliran mama yang menganggukan kepala. Wanita itu mengulurkan kedua tangannya dan tanpa pikir panjang Atha menyambut uluran tangan mamanya dengan lembut. Atha diam-diam tersenyum. Hangatnya pelukan mama memang tak pernah gagal membuat dirinya bangkit kembali untuk menghadapi hari.

Atha lalu menatap sejenak teduh mata mamanya sebelum akhirnya melepaskan pelukannya. Mata itu, mata yang ingin Atha lihat setiap hari. Walaupun tanpa suara, Atha dapat melihat bahwa mama selalu mendoakannya.

Dan alasan Atha adalah mama.

Alasan mengapa Atha masih tetap hidup dan bertahan di rumah yang sunyi namun sesekali diisi dengan umpatan dan teriakan dari papa, sekaligus alasan mengapa Atha memutuskan untuk menjadi pemuda berandalan, yaitu supaya papa tak lagi meneriaki mama melainkan meneriaki dirinya.

Atha tak pernah sanggup melihat mamanya bersedih.

Atha masih ingat jelas hari disaat mama kehilangan pendengarannya, ketika mama terpeleset dan jatuh di lantai kamar mandi yang licin. Saat itu, Atha masih duduk di bangku sekolah dasar dan ia sedang sibuk bermain saat para guru memberitahu bahwa mamanya dilarikan ke rumah sakit.

Betapa terkejutnya Atha ketika mendapati mama tidak bisa mendengar suaranya lagi ataupun berbicara padanya dengan jelas. Papa, bahkan mama sendiri pun sempat tak percaya dengan kenyataan yang terjadi.

Hari demi hari berlalu, mama tetaplah mama bagi Atha dan Atha akan menerima mama dengan segala kekurangannya. Namun, papa malah bersikap sebaliknya. Hubungan papa dan mama menjadi tidak harmonis sejak mama kehilangan pendengarannya.

Atha yang masih kecil pun tahu, papa seringkali meneriaki dan memarahi mama, karena papa tahu mama tidak dapat membalas amarah papa secara langsung. Tak jarang, mama menangis setelah diteriaki Papa dan Atha selalu ikut menangis juga.

Hingga akhirnya, Atha memantapkan hati lalu mengubah dirinya menjadi pemuda berandalan, supaya papa akan terus fokus pada kenakalan-kenakalan yang ia perbuat dan mengalihkan amarahnya pada Atha.

Atha tahu ini cara yang aneh dan salah, tapi rupanya cukup berhasil menghentikan amarah papa pada mama perlahan-lahan. Atha semakin senang jika kenakalannya sukses membuat papa marah, karena itu artinya papa akan fokus meneriaki dirinya dan bukan mama.

Mama sempat protes saat mengetahui rencana Atha untuk melindungi dirinya, tapi Atha terus menerus meyakinkan mama kalau ia akan baik-baik saja dan pada akhirnya mama menyerah.

Sebagai gantinya, setiap pagi mama akan memeluk Atha seperti ini, supaya kata-kata umpatan dan teriakan dari papa tidak menempel di telinga Atha sepanjang hari. Atha tentu tidak merasa keberatan.

***

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang