Temen-temen gue selalu bilang kalau gue terlahir beruntung karena gue dikelilingi sama orang-orang yang luar biasa sejak lahir.
Iya, luar biasa bagi orang lain, tapi ajaib bagi gue.
Gue memang anak tunggal, tapi sejak kecil, gue terbiasa tinggal serumah sama sepupu-sepupu gue yang ajaib. Buat gue, nggak ada satu pun dari mereka yang bisa dikategorikan waras. Ada aja hal sinting yang nggak pernah gagal bikin gue ngelus dada. Dan nggak cuma sampai di situ, bokap, nyokap, om, tante, sampe kakek dan nenek gue itu juga sama ajaibnya—yang bikin gue mikir ribuan kali, apa jangan-jangan gue ini cuma anak pungut?
"Eh, Claire. Temen gue ada yang mau kenalan sama lo nih."
Nah, kan. Baru aja diomongin, padahal.
Salah satu tingkah ajaib sepupu gue adalah suka ikut campur kehidupan pribadi gue, terutama yang nyangkut masalah asmara. Ada dua orang yang paling gencar banget kalau udah berhubungan sama ngejodoh-jodohin gue; Valen dan Sean, yang kebetulan juga kakak-beradik. Yang barusan aja ngomong sama gue itu tuh Sean.
"Temen lo yang mana lagi, sih?" Gue udah risih banget setiap kali denger Sean ngomong begitu. Nggak masalah sih, kalau temen-temennya itu waras. Masalahnya, gue udah hapal sama model temen-temennya Sean. Dulu, gue masih ngeiyain aja, kalau temennya ada yang minta dikenalin ke gue. Lama-lama, gue capek sendiri ngadepinnya.
"Set, santai aja dong, Non." Sean kelihatan kaget waktu gue sewotin. "Ada deh, pokoknya. Lo tinggal dateng aja besok malem ke restoran yang ada di depan kantor lo itu."
Gue nyipitin mata. "Yang langganan gue itu?"
"He'eh."
Sumpah, ya. Pinter banget si Sean. Dia tahu, kalau gue punya restoran langganan di depan kantor. Kebetulan, selain terkenal karena masakannya yang enak, harga makanan sama minuman di sana juga lumayan mahal. Yah, meskipun gue masih sering dikasih uang bulanan sama Papi, di samping gaji gue sebagai editor majalah, gue tetep nggak bisa foya-foya segampang itu. Jadi, gue jarang banget nongkrong di restoran itu. Paling mentok, gue cuma beli kopinya buat dibawa ke kantor kalo lagi lembur. Kalau udah kayak gini, gimana gue bisa nolak, coba?
"Nama temen lo siapa? Ya kali, gue nggak tau namanya."
"Hah? Serius lo mau, Claire?" Sean kayak kaget gitu habis denger respons gue barusan.
"Oh, menurut lo, gue nggak serius gitu?"
"Yaelah, sensian banget, sih?" Sean protes, kayak biasa. "Iya, iya, gue percaya kok, lo serius, Claire." Sean pasang wajah sok manis yang bikin gue cuma muter bola mata. "Namanya Zhafir. Zhafir Lesmana. Lo selesai ngantor jam berapa?"
"Jam 6, kayaknya," bales gue sambil ngecek hp. Kali aja, ada keajaiban yang bikin bos gue meliburkan karyawannya.
"Sip! Lo langsung ke sana aja, kalo lo udah kelar kerja. Gue bilangin Zhafir buat stay di sana dari jam 6."
"Yee, seenaknya aja. Temen lo pengangguran apa, gimana?" Gue cuma ngelirik sinis ke arah Sean.
"Maap, maap nih, ye. Temen gue nggak ada yang pengangguran, Claire."
"Serah lo, deh. Sana pergi. Gue mau me time."
Sean mulai bangkit dari sofa di kamar gue. "Eh, tapi bener ya, lo dateng besok."
"Iyaaa, bawel." Iseng, gue dorong-dorong Sean pake kaki gue. "Awas aja, kalo temen lo yang nggak dateng, ya. Gue mutilasi lo besok."
—
Keajaiban yang gue harapkan semalem nggak terwujud.
Sebaliknya, gue justru dapet kesialan beruntun. Pertama, gue telat bangun tadi pagi. Kedua, gue baru nyadar kalau hari ini gue kedatangan tamu bulanan. Ketiga, gue telat nyampe kantor. Keempat, gue kena omel bos gue yang terkenal super galak, Bu Sarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lines
General FictionParallel lines have a lot in common, but they never meet. Ever. You might think that's sad. But every other pair of lines meets once and then drifts apart forever. Which is pretty sad too. So, which lines are you?