Happy reading!
Pertama kali aku melihatnya, itu sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu. Biar kuceritakan padamu. Sekitar pukul 4 atau 5 sore, seorang gadis berlari menerjang kerumunan orang yang sedang menghindari hujan. Yang lain mencari tempat berlindung agar tak terkena derasnya air hujan, tapi dia berbeda. Jumper biru tua-nya bertambah gelap akibat basah kuyup. Tapi, dia tetap berlari, aku tidak tahu kemana. Tapi yang pasti, dia tetap berlari di pinggiran jalan.
Kemudian langkahnya terhenti di depan salah satu toko obat. Dia tersenyum lega sambil menengadah ke atas, membiarkan beberapa mili air hujan itu mengenai wajahnya yang sempurna. Dengan langkah ringan, gadis itu masuk.
Mataku tetap terpancang di pintu toko itu, sambil menikmati beberapa sesap kopi pesananku yang sudah mulai mendingin. Badanku yang semula tidak kokoh, kembali menegak melihat pintu toko itu sedikit terbuka. Gadis itu keluar, membawa sekantong barang yang baru saja dibelinya. Dia mengusap kedua tangannya kemudian kembali berlari di sepanjang pinggiran jalan. Dia menghilang setelah berbelok di persimpangan jalan pertama.
Aku termangu. Itu pertama kalinya aku memperhatikan seorang gadis yang bahkan namanya pun aku tidak tahu.
Sudah dua belas hari sejak aku pertama kali melihat gadis itu. Di hari ke tiga belas itu, aku sedang berada di tempat yang menduduki tingkat pertama di daftar tempat yang paling kubenci. Rumah sakit. Aku benci harus melihat orang-orang sakit di tempat itu. Aku benci melihat orang-orang itu memakai pakaian yang sama selama mereka di sini, pakaian rumah sakit. Aku benci pada diriku sendiri yang merupakan salah satu orang yang harus menyandang status sebagai pasien dan di beberapa waktu harus mengenakan pakaian seragam layaknya pengurus panti asuhan.
Seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh hanya untuk menemukan kakak perempuanku yang menemaniku menggenggam sebuah tempat persegi panjang di tangan kanannya. “Aku sudah dapat suntikannya, ayo ke ruangan Dokter Andrews,” ujarnya dengan muka yang dibuat-buat sok keren. Aku hanya mengangguk.
Shailene, kakak perempuanku, menyeret pergelangan tanganku dengan tidak sabar. Sampai akhirnya dia berhenti mendadak di depan pintu ruangan Dokter Andrews. Aku bertanya padanya, “Kenapa tidak masuk?” Dia menempelkan telinganya di daun pintu itu, kemudian memberi isyarat padaku untuk diam.
“Masih ada seseorang di dalam–“
Cklek.
“Ah! I’m so sorry,” ucapannya terputus dan berganti sebuah permintaan maaf kala pintu putih itu terbuka. Aku mengalihkan pandanganku dari Shailene.
Aku tercengang.
Badanku menegang seketika.
Mataku tertumbuk di mata orang itu.
“Tidak, aku yang seharusnya minta maaf karena sudah mengejutkanmu. Maaf ya,” ujar ‘gadis itu’ sambil membungkuk. Tidak salah lagi, dialah gadis yang dua belas hari yang lalu menjadi perhatianku. Gadis itu tersenyum. Oh oh, dadaku bergemuruh.
“Apa kau tidak apa-apa, Nona..” Dia berhenti sejenak, kemudian Shailene tersadar sesuatu. “Ah ya, namaku Shailene, Shailene Rudd. Dan ini adikku, Garrett.” Gadis itu tersenyum kecil lagi. Dia mengangguk mengerti kemudian kembali berucap, “Sekali lagi, maafkan aku, Shailene, Garrett. Aku permisi,” ujarnya kemudian dia menghilang.
Shailene menyadarkanku untuk masuk ruangan bernuansa putih itu. Sudah menunggu seseorang yang sudah beberapa tahun ini kukenal, Dokter Andrews. Dokter Andrews mempersilakanku dan Shailene untuk duduk.
“Suntik, Mr. Rudd?” tanyanya dengan senyum. Aku tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan Dokter Andrews. Entah mengapa aku malah terus memperhatikan wajah Dokter Andrews. Sepertinya dokter spesialis kanker itu mirip dengan seseorang.