(titipan) Apa Kau Mendengarnya?

1.4K 151 13
                                    

Halo... aku datang bawa FF nih. Oneshot dengan Gender Switch (GS) couple ONGNIEL. Oneshot ini titipan dari @CamilliaS_ silakan dinikmati ya ;)


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Title : Apa Kau Mendengarnya?

Author : @CamilliaS_


Disaat istrimu meninggalkanmu untuk orang lain dan tanpa rasa bersalah,

Apa yang akan kau lakukan?


18/11/17 (GS)


OOO


Sayang, apa kau mendengarnya?
Aku menyanyikan lagu bodoh ini berharap sampai ke surga.
Berharap kau mendengarnya.
.
.
.
.
"Aku mencintaimu, Niel."
Daniel tersenyum lembut dengan gelengan keras dari kepalanya. Tangannya masih setia menggenggam erat satu tangan pemilik suara. Genggaman keras yang setimpal dengan peringatan keras.
Peringatan untuk tidak menyakiti dirinya sendiri.
Peringatan untuk tidak menyakiti hati Daniel pula.
Peringatan untuk berhenti berbohong.
Wanita dewasa itu tersenyum meyakinkan. Ia mengangguki ucapannya sendiri di sela gelengan Daniel. "Tapi aku memang mencintaimu, Niel."
"Berhenti mengatakan itu, sayang. Kau semakin membuatku sakit meskipun itu juga terasa manis. Maaf--," Daniel menjeda ucapannya. Membuat wanita itu berekspetasi untuk yang lainnya.
"Maaf apa Niel?"
Tangan Daniel beralih dan mengusap puncak kepalanya. "Maaf, aku tidak ingin mendengarnya lagi. Kau nampak berat dengan kalimat itu."
Sang wanita menghela napas lelah. Air mata mulai memenuhi pelupuk matanya lagi. Hingga satu persatu pun mulai kembali berjatuhan dengan manis.
"Aku mengkhawatirkan hatimu. Biarkan aku saja yang mengatakan semua hal itu, ya. Jangan paksa dirimu untuk mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah ada dalam benakmu, sayang." Daniel berujar tegar.
Tangannya bergetar. Menghapus air mata yang mulai ramai di sana dan lagi-lagi bersikap sok baik-baik saja. Namun yang ada hanyalah, isakan wanita itu yang semakin keras terdengar.
Kedua tangan yang pemiliknya tengah menderita itu pun ikut bergetar. Kewalahan karena susulan lain dari air mata kesayangannya benar-benar tak dapat ditampung lagi.
"Tidak bolehkah aku mengatakan itu untuk suamiku sendiri? Setidaknya di detik- detik akhir ini sebelum aku pergi." Wanita itu mulai mengontrol napasnya yang memburu. Menatap lekat pada mata seseorang yang ia sebut suami.
Suami bodoh yang selama ini masih selalu dan mau bersamanya.
Bodoh yang kelewat bodoh.
Kebodohan yang membuat wanita itu baru menyadari sesuatu.
"Niel," sang pemilik nama memalingkan wajahnya. Tak ingin bertatap wajah dengan istrinya sendiri. "Niel, aku mencintaimu. Seharusnya kau melihatku lekat dan menjawabku kan, sayang?"
Daniel masih tak bergeming.
Tangannya menggenggam erat kedua tangan istrinya seperti di awal, namun jika pandangan itu kembali terfokuskan pada seluruh dunianya, sungguh ia tak sanggup.
Karena sedehana saja.
Meski tak pernah terasa sekalipun balasan cinta dari sang istri, tetap membuat sang istri tak akan masuk ke dalam semua cakupan mata.
Terlalu luas.
Hingga membuatnya kembali merasa sakit kala mengingat, ia sendirian di sini.
Ia hanya sepihak, dan dengan baik hati melepas istrinya untuk bahagia bersama pria lain. Dengan syarat, tanpa menghilangkan status mereka. Daniel merutuki dirinya sendiri sekarang. Penuh penyesalan.
Sesaat satu kalimat ini hadir,
Apa yang selama ini sudah ia lakukan?
"Niel, sayang. Ini saat terakhirku, aku ingin mendengar pengakuanmu lagi."
Daniel kembali menatap wajahnya dengan keras. "Saat terakhir apa, Seongwu sayang? Berhenti mengatakan itu. Kau menyakitiku lagi."
Seongwu -wanita itu- tertawa dalam rapuh dan lemah tubuhnya. Air matanya sudah berhasil membuat bantalnya terasa basah. Air mata sepele yang biasa hadir dari orang-orang bodoh.
Air mata penyesalan.
Air mata orang semacam Ong Seongwu.
"Tuhan mungkin akan menempatkanku di neraka paling dalam setelah ini." Seongwu mengusap puncak kepala Daniel yang sedikit menunduk. "Kau tau kenapa, Niel?"
Daniel menggeleng sembari terus mencoba mendongak ke atas. Air mata Seongwu sudah luar biaa menguras semangat hidupnya dan menyisakan rasa sakit yang sama persis di kala istrinya lebih memilih orang lain.
Ia tak ingin menangis lagi.
"Aku pergi meninggalkanmu tanpa alasan, anak kita pergi dari tubuhku, dan di saat terakhirku pun aku masih menyiksamu. Kau tidak akan marah kan kalau kubilang kita ini sama-sama bodoh?"
Seongwu mengeluarkan nada cerianya yang kini terdengar canggung. Ya, nada ceria. Yang luar biasa berbanding kontras dengan pucat tubuhnya sendiri.
"Apa yang membuatku jadi orang bodoh di matamu, Seongwu?"
Seongwu merenggut. "Aku ingin kata 'sayang'-mu, Niel."
Memang dasar. Nyaris mati saja merepotkan. Seongwu demi apapun malu dengan dirinya sendiri. Kalaupun setelah ini ia memang akan ada di neraka paling dalam, ia tak apa.
Setidaknya pernah merasa bahagia dengan suaminya sudah luar biasa membayar semua.
Sebagai jaminan sebelum ia masuk ke dalam proses penyelesaian hukuman.
"Apa yang membuatku jadi orang bodoh di matamu, sayang?"
Seongwu tersenyum hingga matanya nyaris tak nampak. Perasaan ini kembali membuatnya malu. Perasaan yang selama ini ia cari, luapan perasaan bahagia ini, ternyata sudah ada di sekitarnya.
"Kau terlalu bodoh, Niel. Terlalu bodoh karena tetap berada di sampingku dan bersikap seakan semuanya baik-baik saja di hadapan orang lain." Seongwu tertawa pelan.
Danielnya hanya diam dengan pandangan yang tak dapat diartikan maksudnya.
"Kau tau, Niel sayang? Aku akan sangat bersyukur jika setelah ini kau pergi meninggalkanku karena sudah muak atau karena apalah itu. Masih ada seribu alasan lain yang bisa kau gunakan untuk meninggalkanku."
Tanpa diduga, kalimat itu seakan langsung terkabul dalam hitungan detik.
Daniel bangkit dari duduknya.
Dengan wajah datar yang terkesan kaku. Membuat Seongwu langsung melebarkan kedua matanya meski sarafnya sudah terasa berat untuk sekedar bekerja cepat. Seperti yang disebut sebelumnya,
Ia ini sudah rapuh dan lemah sekarang.
Tak berguna.
Seperti sampah.
Khawatir Daniel pergi, ia kembali mencoba mengucapkan titik lanjut kalimatnya yang tertunda tadi. "Tapi aku ini memang sialan. Aku egois, Niel."
Seongwu tertawa lagi pelan untuk menutupi malunya.
"Aku bersyukur kau pergi. Tapi aku tidak ingin kau pergi dan memintamu untuk bersamaku setidaknya sampai semua ini selesai."
Daniel nampak menggigit bibir bawahnya dan Seongwu masih tak paham apa maksud dari itu. Kemudian pandangan mereka bertemu dalam keheningan. Tanpa pergerakan.
"Niel, tolong. Jangan tinggalkan aku."
"Apa yang kau pikirkan dengan kalimat 'Sampai semua ini selesai', sayang? Sudah kubilang kan itu menyakiti hatiku." Wajah khawatir Daniel membuat Seongwu bahagia.
Kalaupun ia tak ingat ada jarum infus di punggung tangannya, mungkin ia langsung bangkit dan melompat pada Daniel. Namun yang mengejutkannya, sesuatu yang terjadi setelahnya kembali membuat Seongwu bersedih.
Daniel mendaratkan ciuman hangat di dahinya.
Ciuman menghanyutkan yang menghangatkan satu tubuhnya.
"Seongwu, aku sangat mencintaimu, sayang. Karena itu tetaplah bersamaku dan kita bangun lagi semuanya dari awal. Kau mau, kan, sayang?"
Seongwu menggeleng dengan tangis yang kembali pecah di saat yang sama. Daniel sejujurnya kewalahan. Tapi ia berusaha menjaga senyumnya agar tetap ada. "Sayang, kenapa?" sambungnya lagi.
Seongwu menarik dengan sangat pelan jemari suaminya dan memintanya untuk kembali duduk. Setelah tubuh itu kembali pada posisi awalnya, tangan wanita itu pun kembali pada puncak kepala sang suami dan mengelusnya pelan.
Meski masih dengan isakan yang mulai mereda.
"Kau tau apa yang membuatku menyebut diriku sendiri bodoh, Niel?"
Daniel mengangguk dan sekali lagi mendaratkan ciuman di dahi Seongwu. "Aku tau. Karena itu ayo kita mulai semuanya seperti di awal, seperti yang kubilang tadi, sayang."
Seongwu mengambil tangan Daniel dan menggenggamnya erat. Seakan khawatir suaminya lepas, pergi, dan mereka terjarak lagi. Padahal siapa yang selama ini pergi?
"Iya, kita mulai semuanya dari awal. Jika saja ini bukan saat terakhirku."
"Seongwu, berhentilah. Kenapa kau senang mengatakan hal semacam itu?"
Wanita itu menggeleng dengan senyum di wajahnya. "Maafkan aku, Niel. Tapi aku sepertinya memang akan pergi."
"Sayang..,"
"Tak apa. Akan aku sampaikan pada anak kita. Ayahnya di sini sangat mencintainya. Bukankah itu manis? Aku tidak sabar untuk mengobrol dengannya." Seongwu sejenak memejamkan matanya.
Membayangkan hal manis itu terjadi dengan situasi nyata, membuatnya kembali pula pada dunia nyata. Dunia yang tidak semanis itu. Dunia yang tidak sefiksi itu.
"Tapi, Niel. Apa aku akan bertemu dengan anak kita? Dia pasti diantar ke surga sedangkan aku digiring ke neraka. Bagaimana cara kami bertemu?"
Daniel masih sakit hati. Hatinya terasa panas setiap Seongwu membahas hal ini. Ia juga tak lelah untuk menolak semua kalimat yang Seongwu lontarkan. Tapi ia takut.
Sangat takut Seongwunya lelah dan tak tenang.
Haruskah ia biarkan sekarang?
"Pasti kalian bertemu, sayang. Aku mencintai kalian. Di antara doa malam dan kegiatanku sepanjang waktu pasti akan selalu terselip nama kalian."
Seongwu mengangguk dengan pergerakan pelan. Matanya masih sembab dan wajahnya semakin nampak pucat. Tapi senyuman cerahnya benar-benar bertengger di sana. Tak pergi.
"Daniel, boleh aku meminta yang lain? Aku ini memang tak tau diri dan merepotkan. Tapi bolehkah?"
Daniel mengangguk pelan. "Apa, sayang?"
"Aku mulai mengantuk. Kau mau kan menemaniku tidur di sampingku?" Seongwu mulai menggeser tubuhnya. Memberikan sisi kosong untuk Daniel. "Aku rasa ini cukup untuk kita."
Seongwu sudah mendapat posisi akhirnya dan ini membuat jantung Daniel berdegup gila. Bagaimana jika ini memang yang terakhir? Bagaimana jika Seongwunya tak bangun lagi nanti?
Daniel tak ingin menangis di hadapan istrinya yang nampak siap ambruk kapan saja. Seperti Seongwu, Daniel juga tidak ingin merepotkan wanita itu dengan mengguncang emosinya di situasi seperti ini.
"Kau ingin tidur sekarang?"
Seongwu mengangguk lugu. Tidak ada hal lain yang bisa Daniel lakukan selain mulai naik ke atas kasur. Hingga akhirnya mereka berhadapan, sampai bisa merasakan deru napas satu sama lain.
Jantung Kang Daniel sudah tak terasa berdegup lagi.
Aliran darahnya justru terasa berdesir kemudian berhenti sejenak.
Pria itu tak siap. Tak pernah siap.
"Daniel...,"
"Hm?"
"Tolong peluk aku." Seongwu berujar lugu lagi.
Daniel mengangguki dengan senyum bergetar. Ia mengusap dahi Seongwu dan langsung memeluk tubuh itu meski tak begitu erat. Kepala Seongwu berada dekat telinganya sekarang.
"Niel...,"
"Ya, sayang?"
Seongwu nampak memainkan anak rambut Daniel dengan tangan yang tanpa infus. Ia tak berani lagi menatap Daniel. Sudah cukup baginya. Atau perpisahan ini akan semakin terasa berat.
"Seandainya terjadi sesuatu padaku, atau aku sudah tidur lebih dulu, tolong jangan panggil siapapu--,"
"Sayang, maaf. Untuk itu aku benar-benar tidak bi--,"
Seongwu menggeleng di dekat lehernya. Membuat perasaan geli muncul dari rambut yang bergesekan dengan kulit leher. "Jangan, Niel. Aku tidak mau."
"Tapi kenapa, sayang? Kita tidak boleh begini. Segala sesuatu itu pantas diperjuangkan!" Nada bicara Daniel terkesan menekan. Tapi usapan di kepala Seongwu membuatnya masih terkesan lembut.
Seongwu menggeleng lagi.
Keheningan terjadi sesaat hingga Seongwu kembali membuka suaranya lagi.
"Aku hanya ingin tenang. Aku ingin pergi dilepasmu. Bukan dokter atau suster. Jadi aku tidak butuh siapapun." Seongwu tersenyum meski Daniel tak melihatnya. "Tolong, Niel."
"Seongwu, aku--,"
"Niel, biarkan aku tenang sebelum malaikat-malaikat Tuhan menghukumku di nerakanya. Sebentar saja. Ini yang terakhir dariku. Aku tak minta apapun setelah ini. Aku hanya ingin tenang."
Daniel tak menjawab lagi.
Yang Seongwu rasakan hanyalah pelukan yang semakin erat pada tubuh ringkihnya dan sedikit anggukan yang terasa dari gerakan Daniel. Wanita itu lega dengan respon sang suami.
Sekarang, ia sudah bisa pergi kan?
"Daniel sayang, maafkan aku."
"Maafkan aku."
"Maafkan aku."
"Maafkan aku."
Daniel terdiam.
Hanya dua kata itulah yang terus Seongwu rapal sepanjang proses menuju tidurnya yang sudah membuat Daniel menangis dalam diam sejak tadi. Napas Seongwu sekarang benar-benar terdengar sangat pendek.
Ingin ia jauhkan tubuh itu dan melihat wajah istrinya. Tapi ia takut perasaan sulit melepas datang dan jelas ia tidak mau. Karena itu, Daniel mengambil keputusan yang sama bodohnya dengan keputusan yang lain.
Mengurungkan niatnya untuk melihat wajah Seongwu.
"Niel, aku mencintai-mu. Maaf."
Dingin mulai terasa menusuk kulit Daniel.
Napas Seongwu menghilang.
Tidak ada lagi deru napas hangat yang sejak tadi membuatnya geli karena menerpa lehernya. Menghilang begitu saja secepat angin seakan tak terjadi apapun. Dan sesuai permintaan Seongwu, ia tak memanggil siapapun.
Ia biarkan Seongwu tidur dengan tenang seperti yang dirinya sendiri mau.
Ruangan itu pun hanya terisi oleh isakan tangis yang lama-lama mengeras, serta satu tubuh tanpa jiwa dalam pelukan satu tubuh bernyawa. Hanya itu. Sepi seperti perasaan Daniel.
Terlihat tenang seperti yang Seongwu minta, namun nyatanya remuk dan hancur seperti hati Daniel sekarang.
Satu hal yang Daniel sesali.
Bukan dirinya orang terakhir yang mengatakan kalimat cinta. Tapi Seongwunya lah yang mengatakan kalimat manis nan menggetarkan itu. Sekarang, entah Seongwu di mana.
Tapi ia harap, Seongwu ada di sekitarnya.
"Sayang, aku memaafkanmu. Aku mencintaimu. Terima kasih banyak."
Malam ini menjadi malam untuk menyiapkan mental bagi Daniel. Sebelum benar-benar melepas Seongwunya untuk menjauh dan tak tertangkap lagi oleh cakupan mata.
Karena ya, satu pusat fokus yang menjadi seluruh dunianya telah pergi.
Itulah akhir dari malam dingin Daniel dan Seongwu.
Kembali melanjutkan tidur mereka yang tertunda dengan tubuh Seongwu dalam pelukan Daniel.
.
.
.
.
Aku yakin kau di surga sekarang, sayang.
Bersama anak kita.
Sayang-sayangku, tolong dengarkan lagu yang akan ayah nyanyikan.
Aku merindukan kalian, sangat.
Dan aku mencintai kalian.
-Beautiful-




[✓] ONGNIEL ― K.O. (kumpulan oneshot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang