SECANGKIR PERASAAN
Aroma kopi dan roti membaur menjadi satu. Bel kecil yang tergantung di sudut atas pintu berbunyi silih berganti, membawa masuk orang-orang yang ingin bersantai ataupun sekedar menghangatkan diri karena hujan lebat yang turun sejak pagi tadi.
Love Cafe, sebuah kedai kopi yang sudah berdiri hampir 30 tahun di Kota Malang.
Meski sudah berdiri cukup lama, tetapi kedai tersebut masih banyak dikunjungi karena tempatnya yang nyaman dan strategis. Apalagi di musim hujan seperti ini.
Kedai yang merupakan warisan dari sepasang suami istri, kini dikelola langsung oleh Arumi, anak semata wayang mereka.
Gadis yang baru akan memasuki usia 22 tahun tersebut sangat senang saat Ayahnya mengatakan akan menyerahkan tugas beliau kepadanya, yaitu mengurus kedai yang Ayahnya bangun bersama Ibunya. Walaupun tidak mudah, ditambah dengan dirinya yang menjadi salah satu mahasiswi jurusan ekonomi yang menginjak semester akhir di salah satu Universitas Negeri di kota Malang. Tetapi semangat dan kerja keras Arumi sangat tinggi.
"Terimakasih telah berkunjung." senyum hangat menghiasi wajah Arumi saat menyerahkan sebuah bungkusaan kue waffle dan dua cup kopi kepada pembeli.
Ting.
"Selamat datang di Love Cafe!" sambutnya sambil mengembangkan senyumannya saat seorang pengunjung datang. "Mau pesan apa?" Arumi tersenyum ramah kepada pengunjung pria yang tidak bisa Arumi liat wajahnya, karena tertutup topi hitam yang dipakai pria tersebut.
"Black Coffee, satu."
"Pakai tambahan gulanya?"
"Gak sama sekali."
"Ada pesanan yang lain?"
"Itu saja." Jawab pria tersebut dengan singkat sambil menyerahkan selembar 50.000.
Dengan lincah tangan Arumi mengetikan pesanan tersebut. "Total 12.000 rupiah. Pesanan anda akan segera diantarkan. Terimakasih." Arumi menyerahkan kembalian beserta nota belanjanya. Setelah itu laki-laki tersebut melangkah menuju meja yang terletak di pojok kedai, yang langsung menghadap ke jalanan dan taman bermain di seberang sana.
***
Arumi menghela napas lelah saat berhasil mengangkat kursi terakhir ke atas meja. Malam sudah larut. Jam yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukan pukul 22.20. Kedainya baru saja tutup 20 menit yang lalu. Dibantu oleh dua pegawai yang tersisa, Arumi merapikan kedai sebelum ditinggal pulang ke rumah.
"Arumi, Mbak duluan ya. Mbak sudah dijemput suami." Salah satu pegawai yang biasa ia panggil Mbak Heni berpamitan kepadanya.
"Iya Mbak, hati-hati di jalan ya." Balas gadis berambut sepunggung tersebut sambil tersenyum hangat. Kini di kedai tersebut hanya tinggal dirinya dan Larisa, salah satu pegawainya yang sedang merapikan perabotan di dapur.
Saat akan menyapu lantai di bagian pojok, tak sengaja Arumi melihat sebuah benda persegi yang tergeletak di bawah. Dengan segera ia berjongkok memungut benda tersebut, yang ternyata sebuah dompet kulit berwarna hitam.
"Punya siapa ini?" gumam Arumi kepada dirinya sendiri. Lalu dengan hati-hati ia membuka dompet tersebut untuk melihat identitas pemilik.
"Yoga Arfian, Yogyakarta..." bacanya melihat nama dan alamat pemilik di salah satu kartu identitas pemilik dompet tersebut. Arumi lantas melihat foto di kartu identitas itu dan mencoba mengingat-ngingat wajah dari pengunjung-pengunjung yang datang.
Setelah beberapa menit mencoba mengingat, tetapi hasilnya nihil, karena Arumi tidak mengingat wajah di foto tersebut sama sekali.
"Mbak Arum? Lagi apa?" Tanya Larisa yang sepertinya sudah selesai dengan urusan dapur, saat melihat Arumi masih berjongkok sambil sebelah tangannya memegang sapu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Perasaan
Short StoryTentang secangkir kopi pahit, secangkir coklat panas, dan secangkir perasaan. Original short story by yurakimchi