Bodoh

545 32 5
                                    

Neji Hyuga + Tenten Mitsasi
NejiTen

Terik sang mega serasa membakar sekujur tubuh. Ya, jika kau berani berdiri di tengah hari dengan cuaca 'panas gila' seperti ini.
Di bawah jendela, Tenten meringkuk. Merengkuh kedua lututnya erat. Setelahnya, menengadahkan kepala dan berharap hujan.
Sial. Keajaiban memang bisa terjadi kapan saja, dan sepertinya tidak untuk saat ini.
Tenten terus mengeluh sembari menyeka keringat yang berselancar bebas di wajahnya.
"Gaah, bagaimana bisa aku bersembunyi di luar ruangan. Menurutku ini bukan tempat persembunyian yang bagus."
Bagaimana kaki-kakinya membawanya kemari? Kalau memang hati dan tindakan memang tak sinkron, Tenten merasakannya saat ini.
"Tsk. Aku ini kenapa?"
Tenten menenggelamkan wajahnya dalam pelukan lutut.
Tak hanya sekujur tubuhnya yang panas, tetapi hatinya juga panas.
"Ugh. Neji... bodoh."
Bodoh dalam banyak hal?
Tidak. Dalam dua hal.
.
.
.
Bel istirahat masih belum berdenting. Punggung Tenten merasakan nyeri setelah mencium mesra dinding bangunan selama beberapa menit.
Tenten merenggangkan badan. Bunyi krek terdengar beberapa kali.
"Tapi... Neji tidak salah..." Kepala sang gadis tertunduk. "Seharusnya... Aku tidak begini..."
Batinnya sakit. Namun Tenten meremas kemejanya.
"Sudah kuduga. Di sini."
Freeze . Waktu serasa terhenti. Suara bariton yang dikenal Tenten...
"Hup!"
...dan sang pemilik kini mendaratkan kakinya sukses setelah melompati jendela. Duduk di samping Tenten.
"Kau berlari begitu saja. Dan seperti biasa, larimu cepat."
Tenten masih menunduk. Mengumpat amarah, atau tangis.
Sang pemuda—Hyuga Neji, menjepit rambut yang ikut tertunduk di telinga Tenten.
Tenten menangis. Neji panik.
"Mitsasi...? Kenapa—"
"Maaf! Aku menangis bukan karena—"
"..Lalu karena apa?"
Tenten menoleh ke samping. Neji menyeka air mata sang gadis.
"..."
"Bukankah sudah kubilang. Jangan menangis. Cengeng."
Saat itu, Tenten masih ingat bagaimana lengan Neji menarik kepalanya dalam benaman dada.
Dada yang hangat. Atau karena kemejanya terbakar sinar matahari?
Beserta kalimat penenang dari Neji, Tenten mulai menghentikkan isakkan. Air matanya berhenti keluar.
.
.
.
Yang terjadi sebelumnya:
Dalam sudut pandang Tenten, Neji memeluk erat seorang gadis di ruang PKK. Atau bisa dibilang saling berpelukan.
Berpelukan dalam posisi telentang. Neji di bawahnya.
Tenten bungkam sejenak. Kemudian membanting pintu ruang PKK.
Selama berlari tanpa tujuan, telinganya menangkap panggilan namanya. Panggilan oleh Neji.
Yang terjadi saat ini:
Neji berkata bahwa semua, apa yang dilihat Tenten, ada penjelasannya. Telunjuk dan ibu jari si pemuda bahkan menyentil dahi sang gadis karena sembarangan menerka.
Yang sebenarnya, Neji datang ke ruang PKK untuk mengambil  kotak pensil yang tertinggal. Di dalam sana masih ada murid yang membersihkan alat-alat yang tadi digunakan eksperimen suatu makanan.
Tumpahan cairan minyak di lantai luput dari pandangan mereka berdua.
Hingga sang gadis terpeleset ketika hendak mengembalikan wajan, gerak refleks Neji menangkap tubuh sang gadis.
Tambahan juga, punggung tangan Neji yang memegang ubun-ubun si gadis murid terantuk bagian bawah wajan.
Tenten sadar jika punggung tangan yang mengusap air matanya tadi memerah.
"Kau sudah mendapatkan penjelasan dariku, Mitsasi." Neji menghela nafas. "Jadi. Berhentilah menangis."
Jemari Tenten menggenggam erat kemeja Neji.
"A-Aku... sudah berhenti—ukh, menangis..."
"Lalu isakkan itu apa? Tak ada isak kalau tak ada tangis. Jangan bilang itu dibuat-buat."
"Jahat!" Pukulan kecil menghantam dada. Neji masih dapat menahan sakit.
Semakin lama mereka di sini, Neji semakin menenggelamkan wajah Tenten dalam pelukannya. Tahu walaupun Tenten sudah berhenti menangis.
"Aku... Minta maaf..."
"Kau sudah meminta maaf tadi."
"Kurasa belum cukup..."
"Baiklah. Baiklah. Maaf untuk apa?"
Tangan Neji mengelus puncak kepala Tenten. Yang dielus semakin terbuai dalam pelukan.
"... Karena—"
Bel masuk berbunyi. Kalimat Tenten terpotong begitu saja.
"Maaf. Apa?"
Tenten bangun dari pelukan. "T-Tidak apa-apa. Ayo masuk kelas." Mata bengkaknya terkerjap.
"... Aku akan mengantarmu ke Ruang Kesehatan."
"Hah? Mau apa?"
"Untuk seseorang yang masih menangis. Mata bengkak dan merah seperti itu bisa menarik perhatian yang lainnya.
Setidaknya beristirahatlah di sana sejenak."
"K-Kau berlebihan, Neji! Aku tidak apa-apa."
Pergelangan tangan Tenten ditarik oleh Neji. Tenten berjalan menuruti langkah kaki Neji.
.
.
.
Ruang Kesehatan.
Tenten menyadarinya begitu kakinya menginjak lantai di dalam.
"Berbaringlah." Neji mendorong bahu Tenten ke bawah, memaksakan agar Tenten duduk di atas kasur.
"Ta-Tapi Neji, jam pelajarannya—"
"Sudahlah."
Kepala Tenten terhempas di atas bantal. Si gadis kini sudah dalam posisi telentang (plus bantal di bawah kepala).
Neji berlalu dari samping Tenten.
"H-Hei!"
Protes menguar begitu saja dari mulut Tenten. Sampai kedua matanya dipaksa menutup dan sesuatu menimpa kelopak mata sang gadis.
Handuk kecil basah.
"Neji..."
Pipi Tenten memerah melihat Neji yang perhatian. Semoga Neji tak sadar, harap Tenten.
"Yah. Aku hanya ingin bengkak di matamu sembuh. Supaya tidak ada protes macam-macam dari Sakura, Ino dan Hinata."
Penjelasan Neji terdengar begitu indah di telinga Tenten.
"Sekaligus permintaan maafku."
"Hahaha. Oke. Aku tahu itu."
Keheningan menyelimuti keadaan. Tenten merasakan hembusan angin dari jendela yang terbuka.
Tapi Tenten lebih takut kalau Neji pergi meninggalkannya.
"Neji...?"
"Hm."
"Kupikir kau sudah kembali ke kelas..."
Tenten belum mendapat sahutan. Tangannya bergetar. Jangan-jangan, setelah ucapan Tenten, Neji akan pergi?
Yang ada, tangan Tenten ditangkap Neji. Digenggam dengan lembut.
"Aku akan menemanimu di sini."
Pernyataan yang mengudara menambah pacuan jantung. Tenten manyun.
"Ha—Hahaha! Bisa saja! Tapi iya sih, yang bawa aku ke sini, 'kan, kamu... Kalau kamu meninggalkanku..."
'Aku akan menangis lagi. '
Tanpa sadar tangan kanan Tenten digenggam, ditarik ke atas. Punggung tangan dikecup lembut.
"Hah? Ne-Neji?"
"Aku berjanji untuk tidak meninggalkanmu."
Tangan Tenten masih dalam genggaman tangan Neji.
Tenten menggingit bibir. "U-Uh... Begitu..."
Dalam hati, Tenten memaki dirinya sendiri dan Neji.
Kata Tenten, Neji bodoh.
Pertama. Neji membuatnya bersedih. Kedua. Neji membuatnya merasa berbunga-bunga.
Tambah lagi.
Setiap detik perlakuannya, membuat Tenten semakin jatuh hati kepadanya.
Neji bodoh.
Dan itulah mengapa Tenten tidak pernah memalingkan pandangannya dari Neji.
.
"Tenten-chan!"
Sakura berlari menghampiri Tenten. Yang baru saja memasuki kelas, setelah jam pelajaran berakhir. Aliasnya jam pulang.
"Kenapa tidak ikut pelajaran? Bolos berdua?"
"E-Euh... Bolos, sih, iya..." Tenten menggaruk tengkuk.
"Kami berdua dipanggil ke Ruang Guru, atas nama Wakil Kelas."
Tenten menoleh. Neji menatap balik dengan datar.
"Begitukah?" Sakura memiringkan kepala.
Tenten mengangguk heboh. "U-Um! Ya! Tadi... Di suruh membantu Kakashi-sensei..." Naruto mengedipkan mata.
"Kenapa aku tidak diajak?" Protesnya. Tenten tertawa garing.
Semuanya beranjak dari kelas. Pulang.
.
.
.
"Ano, Neji. Maaf dan terima kasih. Gara-gara aku kamu harus sampai menemaniku..."
Neji melempar minuman kaleng. Tangan Tenten refleks menangkapnya, tepat.
"Tidak apa-apa."
Desisan terdengar sesaat setelah Neji membuka minuman kopi kaleng. Neji meneguknya tanpa segan.
"Lalu. Mitsasi." Ujung bibir diusap dengan ibu jari, "Kau cemburu karena aku memeluk gadis itu?"
Pipi Tenten diselimuti rona merah. Tenten memalingkan wajah.
"E-Enggak!"
"Kalau mau bohong, tatap mataku."
Tenten meremas minuman kaleng.
"See? Jadi, kau mau kurengkuh?" Neji menggoda dengan nada sedikit meninggi.
"U-Uhm..."
Kalau menolak, melewatkan kesempatan yang ada.
Ayo Tenten!
"Uhmn..." Perlahan Tenten menoleh, memusatkan pandangannya pada mata Neji yang memukau.
Neji tercengang melihat wajah memerah yang ada di hadapannya.
"A-Apa?"
"Tidak."
Sekarang, Neji tersenyum dengan kehangatan yang menjalar. Tangan kanan dan kirinya melebar, seakan menyarankan free hugs .
Bukan free hugs. This is a hug for something special . And for someone special .
"Ayo, kemari."
Iman Tenten goyah.
Keduanya berpelukan di malam rembulan.
.
.
.
Kata Tenten, Neji bodoh.
Kata Neji, Tenten yang lebih bodoh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 21, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang