Prolog

132 2 3
                                    

Namanya Tanjakan Setan, sebuah nama yang sanggup menggetarkan siapapun, terutama pendaki pemula seperti Elea, seorang wanita yang berhasrat menjadi pendaki profesional. Tapi bagi Alden, tanjakan ini tak ubahnya monster besar yang harus ia taklukkan. Ia begitu suka tantangan dan pendakian, baginya itu adalah kegiatan yang menyenangkan.

Tanjakan ini merupakan jalur pendakian yang memiliki kemiringan tebing hampir mencapai 90 derajat diisi banyak ukiran batu-batu alam cadas kekuningan dan rangkaian tali merentang di sepanjang tanjakan untuk membantu pendaki naik ke atas. Jalan setapak yang begitu curam dan harus ditaklukkan jika ingin sampai ke atas, mencapai puncak.

Mereka merintis jalur pendakian itu ke Gunung Gede melalui Cibodas, Kandang Badak. Puncak Gede dari Kandang Badak terlihat samar tertutup kegelapan melalui sela-sela pucuk dedaunan pohon cantigi yang tumbuh di sepanjang jalur. Saat itu masih pagi dini hari dan mereka baru sampai di tanjakan setan. Tentu saja ini membuat nyali Elea agak ciut.

"Gue nggak kuat, Al," bisik Elea tercekat. Tegang. Pendakian ini baru dimulai tapi Kika merasa sudah begitu lelah. Ditatapnya wajah Alden dalam kegelapan. Namun pria itu bergeming, ia hanya memberikan senyum dan sorot mata penuh ketenangan. Elea mengadahkan muka ke atas tebing. Dalam kegelapan itu, ia coba melihat apa yang di atas sana, berusaha mencari-cari puncak dari tebing itu. Namun yang ada hanyalah gelap.

Dengan tangan kaki gemetar, Elea terus menanjak sembari mencengkram erat tali itu. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Betis kakinya terasa mengeras. Napasnya semakin berat. Mendadak tali itu terputus. Genggaman tangan Elea terlepas, diiringi tubuhnya yang menggelinding ke bawah, menerjang akar-akaran, batang, pohon, dan kerikil.

"Aldeen!" Jerit Elea melengking, memecah kesunyian. Alden cepat-cepat meraih tangan Elea, tetapi gagal. Tanpa pikir panjang, ia langsung menyusuri semak belukar dan menemukan cewek itu telah berbaring dengan beberapa memar di siku. Elea sedikit meringis.

"Untung, nggak apa-apa," ujar Alden sembari memerhatikan wajah gadis itu. "Kita istirahat aja," lanjutnya sembari memegang bahu Elea yang memar dan kakinya yang terkilir. Dan, Elea hanya sanggup menganggukkan kepala.

Elea memang masih 16 tahun, seorang remaja SMA. Tapi baginya, menjadi pendaki adalah hal yang mengagumkan. Ia mencintai keindahan alam. Lebih dari itu, ia mengagumi bunga edelweiss, dan tak mau lagi kehilangan itu. Juga indahnya matahari kala terbit diantara bukit-bukit, lalu tenggelam di balik megahnya gunung. Lain halnya Alden, yang memang hobi mendaki gunung dan anggota Narapala, klub pencinta alam di sekolahnya.

Keduanya adalah sahabat lama. Dan, kini mereka dipertemukan alam dan satu kata ajaib itu. Satu kata yang entah kenapa tidak pernah berani mereka ungkapkan. Satu kata yang mampu membuat Elea menjadi seorang perempuan yang pemberani dan tidak lagi menjadi wanita yang cengeng. Satu kata yang mengubah pendapat Alden tentang makna hidup.

Kata itu bernama cinta.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 02, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Little EdelweissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang