Dengan wajah serius, Rodney menyerahkan salah satu rompi anti peluru kepada Miranda.
"Ini kenakanlah, akan aku ceritakan nanti...dan ini pistolmu."Miranda menerima rompi dan pistol itu, segera di kenakannya, seperti yang juga Rodney lakukan. Pistol mereka sarungkan di kantong kulit yang terpasang di dada sebelah kiri masing-masing.
Miranda meminta pada Rodney agar dirinya yang membawa pesawat pagi ini, dan Rodney mengijinkan. Saat pesawat sudah mengudara di atas langit, Miranda menoleh pada Rodney yang tampak tegang. Ia menyentuh bahu pria itu untuk menenangkan. "Kau tampak tegang, Rod...lebih baik makanlah dulu..." tuturnya lembut. Miranda tak ingin memaksa Rodney untuk segera menceritakan apa yang terjadi sehingga mereka harus mengenakan rompi anti peluru dan membawa pistol. Sebagai seorang militer ia bisa memastikan bahwa keadaan di Distrik Sembilan saat ini benar-benar sangat genting.
Rodney sebenarnya malas makan. Tadi setelah mendengar penjelasan Kolonel Arthur di ruangannya, mendadak napsu makannya lenyap, namun melihat tatapan menenangkan dan suara lembut Miranda, dirinya merasa agak tenang dan ia menuruti apa kata Miranda. Sejenak mereka saling memandang penuh arti. Hanya mereka yang tahu apa arti tatapan mereka itu.
Sejak ciuman-ciuman panas pagi ini yang mengesankan dan melemahkan jiwanya, Miranda tak bisa mencegah kebahagiaan yang melambung dalam hatinya. Ia menoleh kembali ke arah Rodney yang telah menghabiskan makannya dan wajahnya kini tampak tenang.
Pria itu balas menatapnya dan tersenyum pada Miranda. "Terima kasih..." ucapnya lembut.
"Memangnya apa yang telah aku lakukan?" tanya Miranda heran. Kehangatan dalam suara Rodney mengirimkan gairah dan membuat hatinya berbunga-bunga, sekaligus bergetar.
"Banyak yang telah kau lakukan untukku....aku tidak yakin... seandainya kau tak ada disisiku, apa aku bisa setenang ini.." ucap Rodney tulus.
"Ada apa Rodney? Kau melankolis sekali pagi ini.." goda Miranda.
Ucapan Miranda membuat pria itu tersenyum. "Aku cabut kembali kata-kata bahwa aku tak suka ada perempuan di kokpit bersamaku. Nyatanya aku suka dengan adanya kau di sini..."
Ia lanjutkan lagi ucapnya, "kau tahu, tadi saat aku keluar dari ruang Kolonel Wayne, aku sangat marah sekali..." wajah Rodney mengeras.
Oh tidak! Jangan kau tampakkan wajah seperti itu lagi. Batin Miranda yang tak ingin rasa nyaman dan intimnya mereka saat terbang bersama kali ini kembali seperti awal-awal mereka bertemu.
Melihat ekspresi Miranda yang tampak muram, Rodney menyadarinya dan ia coba tersenyum kembali. "Oh, maaf Miranda...kau jangan salah duga.."
Rodney tidak ingin membuat perempuan di sebelahnya sedih, dan ia mencoba menjaga agar ia tidak menyakitinya. Rodney senang melihat kelegaan di wajah Miranda yang membuat kehangatan dalam matanya terpancar keluar.Fajar mulai menyingsing, hari tampak cerah. Langit berwarna biru jernih dan tidak berawan. Miranda memasang kacamata hitamnya untuk melindungi matanya dari sinar terik matahari yang terbit di sebelah timur.
"Sayang sekali mata indahmu kau tutupi dengan kacamata hitam itu..." kata Rodney sambil menulis laporan di clipboard di atas lututnya.
Miranda menoleh ke arah Rodney dan hanya tertawa kecil. Sekarang ia bisa leluasa menatap wajah pria di sebelahnya. Selalu tampan dan ia takkan pernah bosan untuk menatapnya terus menerus. Raut wajahnya terasa kuat dan bulu-bulu halus di wajahnya mulai tumbuh kembali, setelah ia cukur beberapa hari lalu. Dan bibirnya... Miranda mendesah dalam hati. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah keinginan mencium bibir Rodney lagi. Dengan gelisah Miranda berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran seperti itu. Ia harus konsentrasi pada pesawatnya, ia tidak boleh melamun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerita Pendek Dewasa
Short StoryWarning 21 +++ Short Story berisi kisah-kisah pendek dewasa....merupakan imajinasi liar dan nakal dari gw...kalo kagak nyaman dengan imajinasi liar gw please leave it...kagak usah baca yah...Peringatan keras ini bukan bacaan buat bocah-bocah yang b...