Sang Takdir
"Bangsaat!"
Umpatan kecil itu keluar bersamaan dengan tendangan keras mengenai ulu hatiku. Mataku melotot, mulutku terbuka lebar, mengeluarkan saliva dan sebagian isi perutku, terbatuk. Entah keberapa kalinya tendangan dan pukulan mengenai ulu hatiku. Wajahku sudah lebam, jauh sebelum pukulan dan tendangan mengenai ulu hati, muka pasaranku lah yang menjadi target utama. Bajuku juga sudah kusut, dari tadi tergesek kerikil kecil bekas pembangunan seminggu lalu.
Tubuhku terkulai lemas menyandar dinding gang, memegang perutku dengan wajah meringis. Di depanku ini ada tiga orang berseragam senada, tubuh mereka menjulang tinggi hingga menghalangi jingga mentari yang menyinari cakrawala, mengharuskanku mendongak dan menyipitkan mata silau.
Tubuku mengerang ketika sebuah kaki menginjak pahaku. si pemilik kaki tersebut menumpu beban tubuhnya pada kaki yang menginjak pahaku hingga ku harus menahan sakit. " Heh, maneh makin hari makin ngelunjak, ya?!"
Aku hanya diam, membiarkan mereka memukuli tubuhku sekali lagi dan menendang kaki ku keras. Aku meringis. Aku tak pernah melawan, pasalnya dulu aku pernah melawan dan menentang, tapi mereka malah membawa komplotan anak dari sekolah lain yang membuatku kalah telak. Kalah jumlah lebih tepat.
Aku juga hanya terdiam melihat mereka mengambil seputung rokok dan pemantik, menyalakannya, menyingkap poniku yang kepanjangan, dan menyodorkan pada dahiku. Perlahan api pada putung rokok menembus lapisan kulit luarku, darah segar mengalir lembut di sekitar dahi, aku meringis, menahan sakit pada fisik dan psikis. Mereka tertawa sebentar sebelum mereka meninggalkanku sendiri dengan luka fisik yang tercetak jelas kasat mata.
Aku bangun dari posisi ku. Berjalan tersuruk, memegangi perut dan sekitar kepalaku dengan pelan. Aku baru saja pulang sekolah, menggendong tas hitamku yang sudah buluk sebab lama usia ketika aku bertemu dengan mereka yang tiba-tiba menyuruhku mencuri uang di ibu warung. Dengan takut, aku menolak. Kata itu mengalir begitu saja bersamaan tangan yang menyeret kerahku menuju gang sepi. Dan inilah yang terjadi.
Langit kini berwarna gradasi. Perpaduan antara jingga yang senantiasa mengelilingi mentari dan gelap jelaga yang hadir mengiringi jatuhnya mentari pada peraduan. Aku menyuruh kedua kakiku berjalan menuju warteg dekat rumahku setelah memperhitungkan jumlah uangku.
Aku duduk di salah satu kursi yang tersedia dan memesan teh tawar hangat pada Bu Yeti. Bang Satria– anak Bu Yeti –menghampiriku dengan membawa segelas teh tawar. " Woi. Wajah maneh ku naon lagi?" katanya seraya menaruh segelas teh pesananku. Aku menggeleng, "Teu nanaon".
"Ck, kamari lusa teh maneh dateng ke sini, kan? Wajah maneh juga kaya gitu! Maneh diapain lagi, sih, sama rerencangan maneh?" aku yang sedang meringis menahan sakit –panasnya teh tawar yang mengenai bibirku yang sedikit robek –menoleh. "Urang gak diapa-apain,"
"Halaah boong waee, udah atuuh maneh bilang ke urang siapa orangnya! Biar urang bisa hajar mereka hiji-hiji,¬ gini-gini urang jago berantem!" ucap bang Satria dengan mantap, bahkan saking mantapnya ia menaikkan kedua lengan bajunya dan memamerkan ototnya. Aku tertawa pelan.
Bang Satria menatap wajahku yang sedang menatap senyawa hampa dengan lekat. Tiba-tiba, "Ya Tuhaan!" bang Satria melotot ketika sadar ada bekas darah yang mengalir di tulang pipiku, dengan sigap ia menyingkap poniku dan membelalakkan mata, rahangnya mengeras. " tuh,kan, gusti ampuuun hh"
Bang Satria langsung berlari, "Maak! Maak! Aya plester jeung betadine,teu?!" Bu Yeti yang sedang menambah menu balas berteriak, "Aya,"