PETUALANGAN RINDU

61 1 0
                                    

Siang di seberang daratan yang dipenuhi dengan aktivitas kesibukan dan keresahan para pencari sumber kehidupan. Seorang anak muda berpakaian rapi. Seakan pergi ke pesta pernikahan dengan celana jeans biru, baju merah kotak-kotak ala Jokowi, serta tas ransel, dan sebuah dos indomie tampak ramah menyapa di bawah lengannya. Rombongan keluarga mengantar sampai ke dermaga, namun ada beberapa yang ikut mengantar sampai ke Terminal, menjadi saksi bahwa kelak anak muda itu akan menjadi kebanggaan tanah kelahirannya.

Juang adalah nama pemuda itu, nama yang mencerminkan tana adat tana lahir tana tempat berdoa dan berjuang. Entah perjuangan yang sperti apa yang akan di tawarkan oleh si Juang, pemuda sederhana dengan cita cita sederhana pula. Kenapa harus serba sederhana? Karena hidup itu sederhana yang rumit-rumit hanya tafsirannya. Jam di tangan Juang menunjukkan pukul 09.00 WITA, tukang ojek dengan baju partai yang ia kenakan, hasil pembagian dari salah seorang caleg pada pemilu lalu, serta topi ala koboy, membuat tukang ojek menjadi lihai memainkan tongkat yang terbuat dari bambu, sebagai alat untuk mengarahkan perahu, sebelum sandar ke dermaga. Hampir lupa, nama tukang ojeknya adalah daeng Samu, tukang ojek favourit para mahasiswa yang ingin bepergian ke tanah rantau, entah merantau untuk mengenyam pendidikan atau mengadu nasib. Tak lama, setelah membongkar muatan dari perahu seukuran panjang tujuh meter dengan lebar 2,5 meter.

Juang dan beberapa rombongannya naik ke perahu menuju dermaga kedua yang disebut dermaga rindu. Kenapa dermaga rindu? karena dermaga ini, setiap subuh sampai menjelang setengah siang, terjadi transaksi jual beli atau pasar gulung tikar istilahnya orang-orang di situ. Memasang tikar sebagai area barang dagangan setelahnya menggulung kembali untuk pulang ke rumah masing-masing. Makanya setiap subuh, pasti selalu ramai dengan rutinitas warga di desa tersebut. Nama desanya adalah Desa Padang sedangkan desanya Juang adalah desa Kahu-Kahu. Nama yang terdengar unik, namun mengandung kearifan lokal yang memanusiakan manusia.

Kurang lebih 10 menit, mobil sewa merek daihatsu warna silver datang dan seorang lelaki usia setengah baya bertanya, "Mau ke Makassar kah?" tanya sopir.

"Iya, anak saya mau ke Makassar." Jawaban spontan dari ayah Juang yang bernama Andi Parani.

"kalau begitu silahkan naik ke mobilku, saya antar sampai terminal, nanti di sana baru cari Bus menuju Makassar". Kata paka sopir tadi.

Juang pun langsung bergegas menaikkan barang bawaannya ke bagasi. Dengan sedikit cemas dan pikiran yang saling berperang, Juang memeluk kedua orang tuanya dan menatap tajam mata kedua orang tuanya, seakan berkata bahwa petualanganku hari ini adalah awal dari pencarian jati diriku sebagai manusia.

Juang yakin pada dirinya, bahwa meninggalkan lingkungan familiar bukan hal mudah. Melepaskan keterikatan dengan orang-orang yang menyayanginya bukan perkara gampang. Namun, biarlah sebuah perjalanan mengajarkan yang namanya kerinduan. Biarlah sebuah petualangan memperkenalkan dengan persahabatan baru dan Juang semakin yakin dalam pikir dan tindaknya, bahwa petualangan mengajarkan arti kemanusiaan sejati.

Sekitar 30 menit perjalanan dari dermaga rindu (desa Padang) menuju Terminal pengharapan (Bonea). Sampailah Juang pada terminal pengharapan, pundaknya semakin berat, memikul setiap harapan dan doa dari orang tua, sanak family, sahabat dan orang - orang terdekatnya.

Kini Juang semakin mantap melangkahkan kakinya menuju Tana Daeng, tempat para karaeng berada.

"Silahkan turun adinda, kita sudah sampai di terminal". Kata pak sopir dengan muka humoris.

"Iyah kakandaku, terima kasih sudah mengantar sampai ke terminal". Jawab Juang dengan nada sedikit malu - malu.

Di terminal pengharapan inilah, Juang menitipkan janji dan rindunya, bahwa kelak akan kembali pulang dengan hasil yang mampu menjadikannya seorang yang hebat nan sederhana. Namun, Juang menyadari bahwa perjalanannya adalah sebuah proses menjadikannya dewasa.

Bus Aneka dengan nomor polisi 7777, menjadi tunggangan favourite selama perjalanan, dengan fasilitas wifi, tv, dan kursi yang bisa maju mundur. Perjalanan pun di mulai, lambaian nyiur indah di sepanjang bibir pantai menghibur perjalanan, semesta seakan merestui. Di sepanjang perjalanan, Juang tak pernah tidur, karena ia takut nanti impiannya lenyap ketika bangun. Masih di kawasan Tana Doang menuju pelabuhan Pamatata, konon katanya pelabuhan ini, adalah pelabuhan persinggahan para saudagar - saudagar asing dari arab, india, dan pakistan. Pelabuhan ini sangat mendukung stabilitas ekonomi di negeri Tana Doang. Mungkin pelabuhan ini menjadi saksi beribu peristiwa hidup yang dilalui, hingga mengajarkan arti kerinduan. Dan ternyata, sebuah pertemuan adalah awal dari perpisahan, sebuah perjalanan adalah pangkal dari kerinduan, dan sebuah petualangan memperkenalkan dengan jalan kembali pulang.

Sirine Kapal sudah berbunyi, itu tandanya persiapan untuk berlayar menuju Pelabuhan Bira. Semua sopir bersiap naik ke mobil masing-masing untuk merekatkan sabuk pengaman, karena pelayaran akan segera dimulai.

"semua sudah ada di atas mobil, jangan sampai ada yang ketinggalan?" tanya Pak sopir.

"lengkap Pak sopir". Jawaban itu serentak dari para penumpang.

"biarlah kalian sebagai mahasiswa atau perantau di negerinya orang, harus meninggalkan rindu di Tanadoang, agar kelak kalian pulang ke kampung, membawa amanah bukan amarah". Kata-kata itu keluar dari mulut Pak sopir.

Juang langsung mentransformasi nasehat Pak sopir ke alam pikirnya. Walaupun pergi jauh ke Tana Daeng untuk mengenyam pendidikan, namun Juang selalu berpikir bahwa kepergiannya kali ini, bukan sekedar menunaikan kewajiban dari orang tua untuk meraih gelar. Namun, lebih kepada proses kehidupan itu sendiri, mengambil setiap hikmah dibalik peristiwa. Juang pun tersenyum dan bergumam dalam hati.

"Aku tahu, bahwa setiap yang bertemu pasti akan berpisah, setiap yang pergi pasti akan pulang dan setiap yang hilang pasti akan dicari".

Sirine Kedua pun berbunyi dan setiap kendaraan berbaris rapi masuk ke dalam bagasi Kapal. Oh ya.. Nama Kapalnya KM. Bontoharu. Muatannya sekitar 20 mobil Truk. Bisa dibayangkan seperti apa pelayaran yang akan dihadapi oleh Juang.
Etzz...bukan hanya pelayaran di laut, namun pelayaran melintasi samudera kehidupan dan menerjang badai keresahan. Akhirnya, semua kendaraan dan penumpang sudah berada di atas KM.Bontoharu, sirine ketiga pun berbunyi, serta pengumuman dari Nakhoda kapal memperjelas bahwa pelayaran segera dimulai. Kencangkan sabuk pengaman kapten. Badai di depan mata.

Pelayaran pun dimulai, perlahan -lahan daratan Tanadoang semakin mengecil, hingga lenyap dipelupuk mata. Juang yang berdiri di samping ruangan deck Kapal, tempat kapten dan perwira mengontrol kapalnya. Menatap dengan penuh keresahan mengundang banyak tanya dan tanda seru.
"apakah aku mampu menyelesaikan perjalananku, sebelum akhirnya di suruh pulang, apakah aku mampu melawan setiap kegalauan hidup, karena tak mampu lagi bercengkrama dengan teman-teman di kampung."

Pertanyaan itu terus muncul dalam pikiran Juang, berada di antara rasa yang saling berperang. Namun, Juang adalah orang yang tak pernah menuntut kemapanan hidup, namun ia selalu menjadi penuntun bagi orang - orang yang membutuhkan pertolongan. Karena Juang yakin, bahwa rencana Tuhan-lah yang terbaik.

99 RINDU DI LANGIT KHATULISTIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang