MENUNGGU TENGAH MALAM

33 2 0
                                    

Dua Patung Kuda menghiasi pintu gerbang selamat tinggal dari Tanah Takalar, Patung yang berdiri gagah di kedua sisi jalan, kemudian bertemu pada kedua puncak yang membentang bertuliskan selamat tinggal dan sisi lain tertulis selamat datang. Juang yang sedang tertidur, dan jarum jam menunjukkan pukul 07.00 WITA, menjadi penanda waktu isya telah tiba. Namun perjalanan tetap di lanjutkan, mengingat jeda waktu antara isya dan subuh cukup lama. Tegar yang duduk disamping, sedang asyik mendengarkan lagu-lagu daerah yang sedari tadi diputar oleh pak sopir. Nampaknya, lagu itu cukup bersahabat di telinga tegar, membuatnya tetap terjaga sambil melenggokkan kepala ke kiri dan ke kanan, seperti lagu Nona Manise yang dari Ambon.

"woy Juang,,bangun cepat kita sudah hampir sampai di Tanadaeng, aku sudah tidak sabar menikmati keindahannya, kata orang-orang di kampung yang pernah ke sana sebelumnya bahwa indah sekali, bagaikan emas, tak pernah terasa malam, lampu-lampu di sepanjang jalan berdisko mengikuti ritme kota". Kata Tegar dengan retorikanya yang dipenuhi majas hiperbola

Juang tak menghiraukan apa yang dikatakan oleh si Tegar, dia cukup mengangguk sambil tersenyum dan menutup muka dengan sapu tangan legendaris pemberian ayahandanya.
Kemudian kembali lagi tertidur dan mendengkur.

"hmmm...malah tidurr, katanya perjalanan harus di nikmati, sekrang giliran aku terjaga dia malah tertidur, Juang...Juang..uangg". Tegar tersenyum lirih.

"telolet...telolet..telolett"
Kurang lebih seperti itulah suara klakson bus yang Juang dan Tegar tumpangi, semua penumpang tiba-tiba kaget dan berteriak secara bersamaan.

"telolet om..telolet pak Sopir..hahahaha" sambil semua penumpang tersenyum dan tertawa "hahahahahaha".

"Semuanya turun, kita sudah sampai di Tanadaeng" kata pak sopir.
"ahh..serius..kok sepi banget pak sopir, tak ada lampu-lampu yang berdisko, tak ada gedung-gedung pencakar langit, tak ada sedan-sedan mengkilap". Tanya Tegar.

"Ternyata, Si Tegar punya pemikiran yang kritis juga, darimana asalnya kata-kata itu, seperti Dewa yang mengetahui isi di Tana Daeng, padahal belum pernah mengunjungi sebelumnya" tanya Juang dalam hati.

Sambil tertawa Pak Sopir berkata "hahaha memang kita belum sampai, kita masih berada di perbatasan Takalar dan Gowa, ban mobil meletus dan terpaksa kita menunggu bantuan"

"memang tak ada ban serep kah, Pak?" tanya salah seorang penumpang.

"ada, tapi bannya ketinggalan di Terminal, daeng". Jawab si Sopir.

Dengan sangat terpaksa mereka harus terlantar di perbatasan selama beberapa jam menunggu bus lainnya yang bersedia membantunya dengan berbagi ban serep. Satu jam sudah berlalu, namun tak ada satu pun kendaraan bus atau truk yang melintas, kebanyakan hanya mobil pribadi dan kendaraan roda dua. Semua penumpang merasa bosan dan lelah, ingin cepat-cepat sampai ke Tanadaeng. Mungkin karena rasa rindu dengan sanak family, mengadu nasib di tanah rantau, menikmati perjalanan yang Tuhan rencanakan. Namun, Juang tetap merasa tenang, meskipun terlambat sampai ke Tana Daeng, yang dia khawatirkan hanya keluarganya yang menunggu terlalu lama di Terminal Malengkeri. Juang tetap optimis, bahwa di setiap moment yang selalu ada dan tak terduga, Tuhan punya cerita indah di balik semua itu. Tergantung bagaimana cara masing-masing orang menanggapi dan mensyukuri, karena rencana Tuhan-lah yang terbaik.
Duduk di atas bangku yang terbuat dari bambu, Tegar mengamati setiap cahaya yang mengarah kepadanya, dan berharap semoga yang lewat adalah Bus yang berasal dari Tana doang. Namun tak kunjung ada bus yang lewat.

Malam semakin larut, jarum jam menunjukkan pukul 10.00 WITA, aktivitas lalu lalang pengguna jalan sudah tak ramai lagi di depan mata. Penumpang semakin gelisah, anak kecil yang kerjaannya cuma menangis waktu di perjalanan, kini anak itu tengah tertidur pulas di atas pangkuan sang ibunda tercinta. Sungguh indah dan terbaik rencana Tuhan.

"hey Juang..kamu sudah makan malam?"..tanya Tegar.

"belum..perutku terasa kenyang melihat anak kecil itu, aku teringat dengan adikku kecilku di Kampung, aku teringat ketika dia menangis karena sering ku buat kesal, aku teringat ketika dia tertawa karen diriku yang sering melucu di hadapannya, aku rindu adik kecilku di kampung, Tegar!"..jawab Juang dengan mata berkaca-kaca sambil mengepal sapu tangan.

Si Tegar langsung menghampiri Juang dan menarik lengan bajunya sambil tersenyum dan berkata,

"makanya..ayo kita makan dulu, supaya pikiran jadi jernih dan hati tetap istiqomah, perjalanan kita masih panjang Juang, impian menanti di hadapan kita, okey Kawan, semangat Juang, semangat!!".

Juang tersenyum.."kamu memang paling jago memberi semangat kepada orang yang lagi merindu tapi bukan merindukan kekasih, hehe".

Mereka berdua pun menuju warung terdekat sambil memesan indomie telur (indotel), makanan favourite para petualang dan kelayaban. Sepertinya begitu.
Sesampainya di warung ternyata pak sopir sudah lebih dahulu mampir dan menikmati secangkir Kopi sambil menunggu bantuan ban resep dari Bus lain. Pak Sopir memang orang yang luar biasa, mungkin karena situasi seperti ini sudah sering dialaminya atau bahkan setiap hari.
Makanya, pak sopir menganggap hal biasa. Nikmati hidup selagi masih ada kesempatan, nikmati proses selagi masih ada keyakinan, dan nikmati hasil ketika proses sudah menjadi makna.

"hey anak muda, kemari duduk di sebelahku nanti pak sopir yang traktir!" kata pak sopir.

"tak usah pak, kami punya uang, dan cukup untuk membeli (indotel)". Serentak Juang dan Tegar menjawab.

Tanpa ragu-ragu pak Sopir langsung memesan dua mangkok mie dan berkata kepada mereka berdua,
"uangmu itu, kamu simpanlah dulu anak muda, Tana Daeng itu ibarat raksasa pemakan orang kampung, ibarat emas permata, mampun menyilaukan mata manusia, jadi simpanlah itu uangmu untuk bekalmu di perjalanan selanjutnya".

Juang dan Tegar langsung tersenyum dan berkata "hmm..terima kasih banyak pak sopir sudah berbaik hati, kelak kami akan membalas budi pak sopir".

Mereka berdua pun segera menyantap makanan tanpa berlama-lama sementara Pak sopir menyeruput kopinya dengan sangat menikmati sambil menghisap rokok yang ada di sela jarinya.

Tak lama setelah itu, akhirnya bantuan pun datang dari masyarakat sekitar, mungkin karena mereka lama memperhatikan akhirnya timbul rasa prihatin dan simpatik untuk membantu.
"mana sopirnya ini?" tanya salah seorang warga.

"pak sopir, katanya di sana ada ban serep yang di sewakan, mungkin bisa dipergunakan dulu, untuk kelancaran perjalanan, daripada menunggu terlalu lama dari bus lain, sementara tak kunjung datang". Tanya Juang kepada pak Sopir.

Sambil menghisap cerutunya pak sopir pun langsung bertolak menuju salah seorang warga itu.
"mana ban serepnya, Daeng?"

Sambil mengambil telepon di sakunya dan mulai memencet nomor untuk berkomunikasi dengan rekannya, setelah melakukan dialog melalui ponsel, salah seorang warga itu berkata, "tunggu sebentar pak sopir, sementara di bawah ke mari itu ban serepnya".

Juang dan penumpang lainnya merasa bahagia, akhirnya bisa melanjutkan perjalanan. Ternyata di balik sebuah perjalanan mengajarkan yang namanya kesabaran dan ketegaran, tergantung sperti apa rencana Tuhan, yang pasti sebagai manusia, Juang dan Tegar hanya bisa bersabar dan bersyukur.

99 RINDU DI LANGIT KHATULISTIWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang