Beginning to End

472 40 12
                                    

Sama seperti apa sebelumnya yang ia lakukan,  Kuroko merasa bahwa hidupnya datar-datar saja. Berangkat bekerja ketika pagi hari, melewati jalan yang sama, mengalami peristiwa yang sama setiap harinya. Berulang-ulang. Tanpa terhenti.

Kuroko tampak tak bersemangat, helai biru langitnya jatuh tak beraturan di keningnya yang pucat. Tubuhnya kurus hingga garis pipinya terlihat menonjol, wajahnya kuyu, ada rasa lelah yang menggelayuti kedua bahunya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia memperhatikan bagaimana makan malamnya terhidang di atas meja, atau pergi ke restoran cepat saji hanya untuk membeli Vanilla Milkshake hanya untuk mengecap sebuah rasa manis samar yang dingin.

Langkah kakinya terseret-seret saat ia sampai di ruangan kerja miliknya, seolah-olah tulang kakinya lolos satu per satu dari tempatnya. Jemarinya melempar tas tanpa isinya ke sofa, lantas dihempaskannya tubuhnya yang hanya terbalut kemeja putih pada kursi. Meja kerjanya disesaki tumpukan dokumen—yang pada dasarnya cuma kertas tanpa makna, serta sebuah sarapan yang terbilang cukup bernutrisi untuk orang sepertinya. Ah, jangan lupakan segelas penuh es krim vanila yang datang bersamaan dengan sarapannya. Gelasnya kaca, penuh berisikan dengan es krim putih yang agak mencair, membuat gelasnya membentuk titik-titik embun serupa anggur pada permukaannya. 

Ah, sarapan. Ia menggeser biner senada dengan rambutnya pada baki makanan setelah sebelumnya terfokus pada layar komputer yang lebar dilengkapi teknologi terbaru yang canggih. Sekilas, ia membaca 'selamat bekerja'  pada notes hijau berkesan kaku di baki tersebut. Terima kasih pada kebiasaannya untuk memperhatikan setiap sikap dan kebiasan orang-orang di sekitarnya.

Sejenak, Kuroko tersenyum. Tentu saja tertulis demikian. Atasannya itu bukan tipe orang yang dapat dengan mudah mengungkapkan rasanya. Bagi ia sendiri, tulisan dengan huruf sambung khas miliknya sudah menunjukkan bahwa ia harus memperhatikan kesehatannya. Masih banyak orang dengan kredibilitas kerja sepertinya pada bidang divisinya. Namun Kuroko tahu, yang paling berbakat untuk urusan menyamar adalah dirinya.

Kuroko sedang menggeser layar dengan sentuhan jarak jauh ketika potongan terakhir sandwich berisi tuna, keju, selada, tomat, telur, dan smoke beef itu tertelan ke tenggorokannya. Tangannya yang bebas mengambil mangkuk dengan oatmeal disirami susu vanila, sementara matanya tak lepas dari rincian misi yang dibacanya. Biru matanya yang sedang fokus terbias cahaya hijau layar komputer, ia tercenung mendapati deret-deret kata yang tampak familiar—begitu-begitu saja dari dulu sejak pertama kali ia mendapat misi.

"Hitler. Nazi. Perang Dunia Kedua," gumam Kuroko samar melapalkan ulang poin penting dalam misinya—tangannya sibuk menyuapi oatmeal ke mulutnya—yang sepertinya lebih rumit daripada ikut serta dalam Perang Tujuh Tahun tempo hari. "Tulisan yang menjelaskan tentara Nazi terbakar dan tidak lengkap?"—Kuroko menyendok besar es krim vanilla, menyantapnya cepat—"Midorima-kun kejam sekali...."

Yang dipermasalahkan olehnya sebenarnya adalah karena waktu tugasnya yang berlangsung pada abad dua puluh setelah terjadi sejumlah perubahan-perubahan besar pada sejumlah negara—dia amat membenci perubahan yang begitu besar dan cepat karena ketidakadilan yang terjadi selama proses perubahan tersebut. Kuroko mengusap wajahnya, menaruh dengan tenang gelas dalam genggamannya pada baki makanan. Ada gejolak besar pada dirinya yang tidak ingin menjalankan tugas, apapun konsekuensi yang harus ia terima karenanya. Namun ia tahu bahwa sebagian besar bakatnya untuk pekerjaan ini memaksanya untuk tetap menjalankan apa yang seharusnya.

Ia dengan cepat menyabet alat virtual-reality lalu beranjak dari ruang kerjanya menuju lorong di luar. Kesibukan lalu lalang orang-orang membuat kehadiran eksistensinya mencapai nol, membuatnya tenggelam dalam hiruk-pikuk, tidak disadari keberadaannya. Ah, namun mengapa beberapa orang yang ia tahu memiliki kedudukan yang lebih tetap mendapat sapaan hormat meski ia tidak jauh berbeda dengannya? Sisi pada dirinya yang lain ingin ia untuk bersinar, tujuannya ialah agar ia dapat mudah menemukan jati dirinya dan sebuah makna dari entitasnya  melalui orang-orang di sekitarnya. Namun ia tetap memahami, bahwa harapannya harus ia kurung dan lebih memilih untuk tetap menjadi bayangan. Mencari keseimbangannya yang dulu menjadikannya seorang manusia dengan merenung sendirian bersama pasir putih yang terselip tanpa diketahui siapapun tidak buruk juga ternyata.

Re; ScreamsWhere stories live. Discover now