Tunggu

15.3K 892 73
                                    

   Aku menatapnya sekali lagi, tak percaya dengan apa aku temukan diantara ratusan manusia yang berada di sana.  Aldo. Dia berdiri dihadapanku saat ini, baru saja menyapaku.

   Masih sama, rasanya masih sama. Getaran itu masih belum hilang walau sudah empat tahun berlalu sejak pertemuanku yang terakhir dengannya. Aku manatapnya, mengamati setiap lekuk wajahnya, dan mulai terhanyut oleh kharisma begitu nyata melekat pada dirinya.

   Raut wajah setenang danau, mata yang tajam setajam elang, tapi teduh dan menenangkan. Garis wajahnya yang tegas dan sarat akan wibawa.

   Aku menutup mataku, berusaha melawan setiap khayalanku yang mulai meliar bersamaan dengan aroma tubuhnya yang mulai menyergapku.

   "Apa kabar?" suaranya kembali memenuhi gendang telingaku, membuat percikan kembang api dalam dadaku.

   "Baik," jawabku singkat masih berusaha mematikan dentuman liar di jantungku.

   "Masih ingat aku?" tanyanya dengan senyum yang selalu terefleksi di langit-lagit kamarku.

   "Tentu, pertanyaan bodoh," jawabku dengan suara sumbang, aku rasa ia takkan mendengarnya dengan jelas.

   "Maaf," katanya membuatku menoleh, aku terpaku. Tak menyangka akan mendengar kata maaf lagi dari bibirnya.

   Aku mengalihkan pandanganku, menghindari tatapan matanya yang selalu terasa menusuk. Aku tak mau lagi jatuh ke dalam harinya, aku tak mau lagi tenggelam dalam tatapan matanya. Walau aku sendiri tahu, aku tak pernah benar-benar ingin bangkit dan keluar dari hatinya. Aku tak pernah benar-benar mampu mengusirnya dari hatiku. Ia selalu berada di sana, bersembunyi di sudut hatiku, meringkuk diantara keinginanku untuk melepaskannya.

   Pelupuk mataku mulai membentuk danau bersamaan dengan ingatan tentangnya yang mulai menyeruak dalam imajinasiku. Terlalu banyak kenangan, terlalu banyak kebersamaan, dan terlalu banyak luka di sana.

   Tujuh tahun yang lalu, aku bertemu dengannya sama-sama masih menggunakan seragam putih abu-abu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasakan getaran hebat dalam tubuhku, jantungku melonjak-lonjak berdegup lebih kencang tiga kali lipat dari yang seharusnya. Ia tersenyum kepadaku dan saat itu seluruh syarafku terasa mati karenanya. Aldo, dia cinta pertamaku.

   Laki-laki pertama yang mulai memenuhi mimpiku. Sejak pertemuan pertama itu banyak pertemuan-pertemuan selanjutnya.

   Tiga tahun masa SMAku aku habiskan bersamanya; belajar bersama, menonton bioskop, menonton konser.

   Pesan darinya adalah yang paling aku tunggu-tunggu setiap malamnya, sapaan ringan, sebentuk perhatian semuanya sangat terasa manis.

   Semua mengalir begitu saja, tak ada yang tau apapun tentang kami, tanpa pernah ada suatu pengucapan kecuali sekali pada malam itu. Aku dan Aldo duduk di bangku taman, baru saja selelai mengerjakan tugas.

   Aldo duduk di sampingku, matanya menatap jauh ke langit malam, menembus warna langit yang semakin pekat.

   "Langitnya bagus," gumamku pelan. Aldo memperhatikanku sebentar lalu kembali menjamah langit.

   "Iya, luas. dan hanya satu," katanya membuat ku menoleh.

   "Maksudnya?" tanyaku tak mengerti.

   "Hanya satu, jadi selama kita menatap langit yang sama maka selama itulah aku ada di sisimu, Yas." Aku tersenyum mendengarnya.

   "Apa itu berarti selamanya?"

   "Mudah-mudahan begitu."
 
   Aku tersenyum mendengarnya, hening menyelimuti kami sampai Aldo kembali bersuara.

   "Yas, kamu percaya takdir?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 28, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Setoples BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang