First Chapter and The Last Chapter

391 2 0
                                    

Sepucuk surat putih itu dipegang dengan eratnya oleh sebuah tangan mungil, dengan senyuman lebar terlukis di wajah lugunya, berlari dengan semangat menuju rumahnya membawa secuil harapan yang telah lama ingin ia buktikan bahwa "inilah yang ku harapkan membuktikan ke teman-teman dan semuaaanya jika aku itu benar, jadi aku tak akan dianggap aneh lagi yeee!" dengan senyum yang kian melebar dan mata yang terus mengarah ke rumahnya.

Saat ia telah sampai di depan rumah lariannya kian cepat hingga tak di hiraukannya tetangga yang menyapanya. Langsung didorongnya gerbang besi itu dan diterobos juga pintu besar rumah itu, dengan semangat menggebu-gebu ia berteriak

"Mahhhhhhhh, mamah, mah? Mamah dimana?" sambal berlari kecil ia melihat sekeliling rumah.

"Ibu belum pulang den, sini makan dulu saja!" keluar seorang wanita tua dari arah dapur, seorang yang pernah membuat dia bingung manakah yang benar ibu saya.

"Oh, belum pulang yak..." untuk sesaat ia tertegun, senyuman itupun kian redup.

Dengan sigap wanita itu melangkah menuju anak kecil itu dan terucaplah salah satu kata-kata penumbuh senyum itu.

"Bibi masak makanan kesukaan kamu loh, ayam kecap." dengan senyuman kecil dan nada bicara yang amat berkesan baginya.

"Hahhh? Yang bener bi? Yeee." Wajah lugu itupun kembali bersinar.

Dengan kebahagian yang masih terpancar ia terus bicara tentang apa yang terjadi di sekolah kepada nenek itu, walaupun masih ada nasi dan ayam kecap itu terisi di mulutnya.

"kalo makan jangan sambil bicara ya den tidak baik" dengan jari keriputnya dipasang di depan mulut anak itu seolah menandakan untuk diam. Dibalasnya dengan sebuah anggukan.

Setelah selesai makan ia pun melanjutkan ceritanya kembali.

"O ya bi tadi aku dapat surat dari guru loh, isinya..."

"Hehhh ini minum dulu, memang suratnya isinya apa? Ko keliatan senang banget." dengan di sodorkannya cangkir kesukaan anak itu, sebuah cangkir dengan gambar sebuah keluarga yang semua anggotanya tersenyum lebar.

"Suratnya isinya undang lohhh, tau gak buat siapa?"

"Loh kok bisa tau isinya, jangan-jangan udah dibuka duluan nih suratnya"

"Hehehe, iya udah dibuka dulu, abisnya dapet semua sih jadinya aku penasaran, biasanya kan cuma aku yang dapet. Eh bibi jawab dulu dong pertanyaan aku!" dengan agak malu ia menjawab pernyataan itu.

"Pasti buat ibu kan? Tenang den nanti kalo ibu gak bisa dateng nanti bibi yang gantiin." Dengan percaya diri ia menjawab pertanyaan anak itu.

"SALAH!, Suratnya itu buaaaaaat ayahhhhhhhhhh."

"Loh ayah kan gak bisa dateng den, bibi aja ya nanti yang dateng." Dengan hati-hati ia mengatakan kalimat pemahit hati ini.

"GAK, ayah pasti dateng, ayah kan sayang aku. Bibi jahat bilang kayak gitu." Raut marah dan kecewa terukir bersaman di wajah anak itu.

"Deden pasti tau kan kenapa ayah gak bisa dateng?" dengan sabar dan berusaha menenang si anak itu yaitu deden.

"Ayah pasti dateng, ayah pasti dateng, ayah pasti dateng, ..." diucapkannya berkali-kali sambil pergi meninggalkan bibi dan surat itu digunakannya sebagai penutup telinga berharap tak bisa mendengar lagi kata-kata yang diucapkan bibi.

"Dubrak!" dibantingnya pintu kamarnya .

"Ayah pasti dateng kan dim?" ditanyanya sebuah boneka beruang yang sudah agak lapuk itu, sebuah boneka yang menjadi salah satu kenangan yang kini tersisa sewaktu bersama ayahnya.

Anak AyahWhere stories live. Discover now