Day 1 : Nanang

115 12 2
                                    

"Hallo! Dengan siapa ini?" Suara barithone itu berhasil membuatku membeku seketika.

Rasanya, lidahku terlalu kelu untuk mengucapkan patah kata yang sudah sejak lama kuuntai. Sungguh, aku rindu.

Kutekan layar ponselku, kumatikan secara sebelah pihak. Sudah selama satu minggu aku melakukannya. Ya, menelpon lelaki yang sangat kurindukan, walaupun aku tak pernah berani untuk berbicara. Hanya dengan mendengar suaranya, kupikir seluruh rindu akan terobati. Nyatanya, aku semakin terbuai sepi.

Mega berangkat senja, aku terus nanang, tenggelam dalam seluruh asumsi yang terus mengungkung dalam pikiranku. Apakah dia merindukanku? Apakah dia pernah mencintaiku?

***

"Ris, kamu tahu nggak kenapa gorila hidungnya besar?" Aris menggeleng dengan wajah yang terlihat agak bodoh.

"Yah, kamu tebak dulu, kek. Jangan langsung nyerah," ujarku sambil mencebikkan bibir.

"Ke sana, yuk, Ca. Ada yang jualan es potong." Lelaki bertubuh tinggi itu meraih pergelangan tanganku, memaksa agar segera berjalan cepat menuju penjual es potong yang tengah sibuk memotong beberapa batang es.

"Dua, Mang. Rasa coklat sama melon." Aris selalu tahu rasa favoritku, dia juga suka semua yang kusuka. Malahan, Aris cenderung pemakan segalanya.

"Mang, jual rasa yanv pernah ada, nggak?" tanya lelaki itu sambil cengengesan. Yang ditanya hanya tersenyum.

"Kamu belum jawab tebak-tebakkannya, Ris. Sebel, ih," kataku masih terus merajuk.

"Iya-iya, kamu maunya apa, dong? Nih, makan dulu esnya. Nanti keburu cair. Ntar baru kita tebak-tebakan, oke?" ujar Aris sambil memberikan setusuk es padaku.

Kami duduk di trotoar. Mungkin terkesan tidak elegant. Dia, Evarista Prasetya, sahabatku. Aku selalu menyayanginya, sebagai seorang wanita.

#Dayswritingchallenge #31dwc

Sunny (31 days writing challenge)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang