[1]Sebuah Awal

52 14 10
                                    

Aku melangkah masuk ke kelas setelah mengetuk pintu tiga kali dengan pelan, walaupun pintu itu terbuka dan walaupun aku tahu tidak akan ada yang mendengar suara ketukan itu. Itu sudah menjadi kebiasaan. Tidak sama seperti orang lain yang biasanya mengucapkan salam atau sapaan "selamat pagi.", aku lebih suka mengetuk pintu. Salah satu alasan yang kupunya—yang terdengar konyol—adalah, suaraku di pagi hari akan serak dan berat, bahkan terdengar aneh di telingaku. Kalau aku berjenis kelamin laki-laki sih, tidak masalah. Tapi kan, aku ini perempuan!

Aku menyimpan tasku. Di bangku sebelah kiri tempat aku menyimpan tasku, ada Mala, yang sedang memainkan game di ponselnya. Sadar aku datang, Mala menoleh padaku. Dia menjauhkan ponselnya sedikit, dan berkata, "Anterin ke kelas temen aku yuk, mau ngasihin novel."

"Temen kamu yang mana?" Aku bertanya. Mala mengambil novel miliknya di tas, dan berkata lagi. "Itu loh, si Audri, tau kan? Yang kelasnya sama kaya Mahardika temen kamu itu."

"Oh Audri yang itu.., iya aku tau."

"Yaudah, anterin yuk. Lumayan kan, siapa tau liat Mahardika."

Aku refleks memukul punggung Mala pelan. Memangnya, Mahardika itu sesuatu yang penting dilihat? Aku saja bosan melihat wajahnya sejak kami di taman kanak-kanak sampai sekarang, kelas tiga SMP. Rumah kami berdekatan pula! "Natanya?" Mala memanggilku.

"Jangan ngelamun, ayo cepetan!" Mala menarik tanganku.

Jarak kelas kami dan kelas Mahardika tidak jauh, hanya menuruni tangga yang cukup curam. Lihat, belum juga Aku selesai menuruni anak tangga, Aku sudah bisa melihat Mahardika yang berdiri di ambang pintu, sambil memakai dasi. Dia sendirian di situ, sambil melihat keadaan sekitar. Saat aku benar-benar di bawah, pandangan kami bertemu, dan dia terlihat terkejut melihatku. Jarang-jarang aku melihat ekspresi Mahardika yang seperti itu. Tapi ekspresi itu tidak bertahan lama. Mahardika segera tersadar, dan masuk ke kelasnya. Dan Aku, mengikuti langkah Mala yang kini menghampiri temannya yang ada di depan kelas. Aku tidak mengerti benar apa yang mereka bicarakan, dan tanpa sadar aku memperhatikan pergerakan Mahardika.

Lelaki jangkung itu mengambil sesuatu di tasnya, seperti sebuah buku cerita, dan dia berjalan ke arahku. "Natanya!" dia memanggil namaku.

Aku menyahut. "Apa?"

"Nih," Mahardika memberikan buku cerita yang dia pegang. "buat kamu, gantiin buku yang waktu itu aku ilangin."

Aku menerima buku itu, lalu mengerutkan dahi. "Buku yang waktu itu? Yang waktu awal-awal kelas delapan?" kataku. Aku tidak ingat pernah meminjamkan buku kepadanya, tapi setelah melihat judul bukunya, aku ingat kalau buku ini memang menghilang dari rak bukuku, dari awal kelas delapan.

"Iyalah, yang mana lagi." katanya, membenarkan.

"Tapi kan," Aku menggantungkan kata-kataku. "Itu udah lama banget, aku aja udah lupa. Terus, kenapa juga ngasih bukunya di sekolah?" Aku bertanya. Bisa kan, dia ke rumahku dan memberikan buku ini? Kenapa harus di sekolah?

Mahardika menggaruk tengkuknya. "Ngga mau, aku pinginnya di sekolah," suaranya terdengar aneh di telingaku. "Kalau ke rumah kamu, aku..,"

"Kamu kenapa?"

"Ngga, ngga jadi."

"Ngomong aja, kenapa?"

"Ngga jadi, Natanya, denger ngga?"

"Tapi aku pengin tahu alasan kamu!"

"Kepo, dih."

"Mahardika!"

"Udah kamu ngga usah tau," telunjuknya di letakkan dibibirnya. "Rahasia aku."

"Jahat."

"Yaudah, bukunya balikin." Dia mengulurkan tangannya, seolah meminta buku ini kembali. Aku langsung memeluk buku itu erat. "Ngga mau!"

"Nat, ayo ke kelas, udah mau bel masuk," Suara Mala terdengar. "Jangan pacaran terus, inget umur, masih bocah juga."

"Siapa juga dih! Udah ah, ayo ke kelas." Gantian aku menarik tangan Mala menuju ke kelas, meninggalkan Mahardika yang tersenyum kearahku.

♦◊♦

[BSLS:2] RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang