Prolog
"Aku akan tetap memilihmu."
"Tetapi kisah ini akan berakhir sedih."
"Aku tahu," Phana mempererat dekapannya pada Wayo. Matanya terpejam, menikmati momen yang semakin mendekati deadline, "dan aku tetap memilihmu."
***
Bagian Satu: Satu
Phana, Kit, Beam, dan Pring berjalan cepat mengikuti Gustaf, konsulen mereka untuk stase neurologi. Mereka berempat baru selesai menjalani stase forensik (dimana Kit harus berkali-kali menangis melihat mayat mengenaskan yang bergeletakan dimana-mana, padahal Pring yang satu-satunya wanita malah terlihat paling bahagia) dan memutuskan untuk mencari stase yang bisa 'bersantai'.
"Kalau kalian berharap di stase ini kalian bisa santai, lupakan mimpi itu jauh-jauh." Terang Gustaf sebelumnya.
Phana mendengus.
Seorang suster cantik membukakan pintu bangsal untuk mereka bertiga sambil bercanda dengan Gustaf sedikit, "ada pasien yang merindukanmu."
"Si kodok?" Gustaf terkekeh sambil berjalan memasuki bangsal, "ah, bocah itu. Aku keceplosan menjanjikannya cokelat ketika memeriksanya terakhir. Dia pasti merengek ketika kemarin aku tidak datang."
Phana memperhatikan sekeliling bangsal dan satu hal yang terlintas di benaknya; ramai. Para pasien dengan gangguan neurologis biasanya memang terhambat untuk melakukan sesuatu sendiri, sehingga banyak anggota keluarga yang datang untuk merawat. Pandangan Phana jatuh pada seorang gadis kecil yang membantu kakeknya untuk membaca; sepertinya si kakek mengidap Alzheimer. Phana tersenyum kecil, ikut bahagia karena si kakek masih mendapatkan cinta dari keluarganya. Banyak sekali kasus Alzheimer yang Phana temui dimana pasien 'dibuang' ke rumah sakit atau panti jompo dan keluarganya tidak pernah mengunjunginya lagi. So much for humanity.
Gustaf berhenti di pojok bangsal yang lebih tertutup dan menoleh kepada tiga dokter mudanya, "ngomong-ngomong, residen kalian sedang membantu rehabilitasi medik dan baru bisa kembali setelah makan siang. Akan kuberikan kalian hadiah karena kalian sudah mendapatkan nilai baik di stase forensik; pasien favoritku," katanya sambil menyibak tirai putih, "kalian bisa mulai mengerjakan kasus bangsal sekarang. Pasien ini didiagnosa Amythropic Lateral Sclerosis sejak dua tahun yang lalu."
Phana merasakan nafasnya tercekat di tenggorokan ketika ia melihat sosok dibalik tirai itu. Sosok yang mendadak menghilang bagai kabut namun tak pernah berhenti ia tunggu.
"Namanya Wayo Panitchayasawad."
***
Bagian Satu: Dua
Dulu Phana pernah jatuh cinta pada lelaki kecil berkacamata tebal yang bermain dengan anak kucing diam-diam di sudut tangga sekolah. Ia memandangi lelaki itu dan mengoreksinya dari ujung rambut sampai ujung kaki; tak ada yang spesial. Namun senyumnya yang polos dengan rambut halusnya teracak angin membuatnya tak ingin kehilangan pemandangan lugu itu. Phana tak pernah menganggapnya masalah besar; ia percaya itu hanya sebuah fase, karena ia yakin ia masih menyukai wanita. Anggapan ini ia bawa sampai SMA.
Namun ketika Phana menemukan post-it-note yang terjatuh di depan kelas di hari terakhir SMA-nya dari lelaki kecil berkacamata tebal itu, menyatakan bahwa ia juga telah jatuh cinta, Phana sadar bahwa ia salah. Itu bukan fase. Persetan dengan wanita; ia harus mengejar cinta pertamanya.
Terlambat. Mereka tidak pernah bertemu lagi.
***
Bagian Satu: Tiga
YOU ARE READING
a sad love story is still a love story even if it hurts
Romance(end) lucunya, phana tetap menganggap kisah cintanya adalah kisah paling manis sedunia.