"Kayaknya, kita udah gak bisa sama-sama lagi. Maafin gue ya, Eryln," orang itu berkata sambil menunduk. Kalimat singkat tersebut, langsung membuat hatiku terpecah belah.
"Tapi....." omonganku yang ingin kukatakan tidak dapat diucapkan.
Memang terkadang sulit untuk menerima kenyataan. Aku hanya terdiam, sedangkan orang itu senyum, senyum terpaksa.
"Sekali lagi, maaf ya Eryln," ujarnya.
Orang itu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menjauh, menghilang dibalik rintik hujan. Aku menundukkan kepalaku.
Sedih rasanya. Aku tidak bisa menitikkan air mata, hanya bisa merasakan pedih di hatiku.
Perlahan, aku berjalan kembali ke rumah. Perlahan-lahan.
Aku membiarkan tubuhku yang kecil ini terguyur oleh air hujan. Bajuku yang basah juga tidak kuperdulikan lagi. Rasa sakit di hati memang lebih sakit daripada sakit yang lainnya.
Rasanya aku ingin berteriak, tapi suaraku tidak keluar. Ingin menangis, air mataku tidak bisa menetes. Aku hanya terdiam, mengingat kejadian memilukan yang barusan terjadi.
Kubuka dengan perlahan, pintu apartmenku. Aku terkejut, ada seorang laki-laki sedang duduk di sofa melihat tepat ke arah mataku.
"Siapa dia?" aku bertanya dalam batinku.
Aku hanya beku. Kakiku tidak sanggup untuk bergerak, tanganku tak sanggup untuk berpindah. Hanya rintik hujan dan guntur yang bersuara saja.
"Maaf, anda salah kamar sepertinya," kata orang itu. Aku kembali melihat nomor kamar apartmen yang terletak di pintu.
Aku benar-benar malu. Kulihat nomor apartmen lagi, aku salah. Di pintu kamar tertera angka berwarna coklat muda bertuliskan 308. Aku meminta maaf dengan suara yang mungkin tidak ia dengar dan segera menutup pintu.
Aku berlari kecil beberapa langkah menuju kamar coklat tua yang bertuliskan 310.