Senin

821 108 71
                                    

Satu: Kenalan dulu.

Krist sudah duduk di mejanya yang diberi label 111164. Nomor ini berdasarkan nomor peserta yang tertera di kartu ujiannya.

Sementara di meja sebelah (sebenarnya ini masih satu meja tapi karena panjang dan memiliki dua kursi anggap saja begitu) yang bernomor 121164, duduk seorang pemuda lain yang Krist yakini adalah kakak kelasnya.

Sistem ujian di sekolahnya memang menempatkan kakak kelas dan adik kelas agar duduk bersebelahan, tujuannya untuk menghindari aksi saling mencontek dengan teman seangkatan. Meski sebenarnya sistem ini sia-sia saja, pikir Krist ketika tanpa sengaja melihat orang di sebelahnya menyelipkan kertas ke dalam celana.

Ke dalam celana. Bukan saku celana. Entah apa dia sampai menyelipkannya ke dalam sana.

"Ngapain liat-liat, dek?"

Orang itu bertanya tiba-tiba, membuat Krist langsung salah tingkah karena dia-ketahuan-memperhatikan-sedari-tadi. "Hah? Apa, kak?"

"Gue tanya, lo ngapain liat-liat ke celana gue."

"Saya nggak liat ke celana kakak."

"Gue liat lo ngeliat ke celana gue."

"Nggak kak, suwer!" Seru Krist sambil mengangkat dua jari membentuk peace. Yeah, chill brow. "Saya liatnya ke kertas yang kakak selipin."

Ada jeda sebelum pemuda di sampingnya menyeringai, "Jangan ember, ya."

Yah, bukan urusan gue juga. "Sip, kak, tenang aja."

"Bagus."

Tidak berniat membalas, Krist membuang pandangan ke pintu ruangan. Murid-murid yang tadi belajar di luar mulai memasuki kelas. Jelas, jam sudah menunjukkan pukul 06.50. Ujian akan dimulai 10 menit lagi.

Krist mengeluarkan tempat pensil dari dalam tasnya, kemudian menata alat-alat tulis yang ia butuhkan di atas meja. Sebuah tawa renyah menghentikan aktivitasnya, "Kenapa ketawa, kak?"

"Nggak, lucu aja." Kakak kelasnya terkikik sekali lagi. "Lo udah kayak anak SD aja, mau ujian ngeluarin pensil penghapus dulu."

"Segala sesuatu harus dipersiapkan dengan matang, kak." Krist ikut tertawa.

Ia sama sekali tidak merasa tersinggung. Toh, kalau dipikir-pikir apa yang dia lakukan ini memang terlihat lucu untuk ukuran anak kelas 2 SMA.

"Gue jadi inget adegan pas Mr. Bean mau ujian. Kayak lo gini, pamer kelengkapan alat tulis."

"Saya nggak pamer ya, kak. Ini memang persiapan saya." Jelas Krist tak terima.

"Ya, terserah lo deh." Katanya, "Ntar kalau punya gue kenapa-kenapa, gue boleh ya pinjem punya lo."

Krist memutar bola matanya malas. "Modal, dong."

"Nggak boleh pelit sama senior." Ia mencebik. "Omong-omong, gue belum tau nama lo."

"Krist Perawat Sangpothirat."

"Widih, lengkap amat lo nyebutin."

Krist tertawa kecil. "Kalau nama kakak?"

"Panggil aja Singto."

"Singto? Singa?"

"Iya, dan gue bisa nerkam lo kapan aja." Tiba-tiba Singto mengangkat kedua tangannya dan membuat ekspresi seakan-akan hendak menyerang Krist. Cukup mengagetkan sampai membuat Krist menjauhkan badannya.

"Apa sih, kak."

"Bocah." Singto tertawa keras, "Ekspresi lo terlalu lucu."

"Saya kaget loh, ini." Kata Krist sambil mengelus dada. "Yah, pokoknya salam kenal ya, kak. Semoga kakak betah seminggu duduk bareng saya."

SebangkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang