1. Lab dan Kebun Stroberi

5.4K 330 97
                                    

Dua menit lagi jam pulang. Artinya tas-tas yang tergeletak bisu di dalam kelas akan segera diambil, dan kami akan diusir keluar dari ruang lab komputer. Ini bukan pertanda baik, setidaknya bagi Iron, teman sebelahku. Komputernya heng dan tidak bisa dikembalikan ke layar utama. Keringatnya bercucuran, kalau begini dapat dipastikan nilainya nol. Tugas itu harus dikirim melalui e-mail sebelum bel pulang berbunyi.

Untuk dikeluarkan saja tidak bisa apalagi mau mengirim pesan elektronik.

Sepertinya Iron harus mengikhlaskan nilainya akan nol. Belum tertutup mulutku, bel pulang berbunyi. Keringatnya semakin membesar, tangannya mengguncang mouse komputer, berharap tidak heng lagi. Tapi tetap saja tidak semudah itu, tetikus komputer bukan tikus sungguhan yang akan hidup begitu saja saat diguncang. Tetikus hanya peranti komputer biasa.

Akan tetapi ajaibnya, kursor itu bisa bergerak setelah tetikus dipukul pelan ke atas meja. Iron tersenyum karena mengira tugas ketikan yang ia buat bisa dikirim melalui e-mail. Sayang, waktu telah habis. Guru TIK sudah berdiri di samping kami untuk menyuruh pergi. Sedangkan teman sekelas kami sudah keluar dari ruangan untuk kembali ke kelas—beberapa mampir ke kantin lebih dahulu.

"Nanti telat saya lagi yang dimarahin. Buruan ke kelas," kata bapak berkumis tebal yang berdiri di samping kami itu, "jangan lama. Belom lagi masang sepatu sejam, ditambah kalian lagi suka melipir ke kantin, sudah dua kali saya dimarahin guru lain karena telat ngeluarin kalian. Padahal kaliannya saja yang lengah."

Tanpa menoleh Iron mengangkat jari telunjuknya. Semenit lagi, Pak. Semenit lagi.

Lelaki itu langsung bergerak menuju mejanya, mematikan rangkaian listrik paralel yang membuat komputer Iron padam sekarang juga.

Sekarang lebih fatal, bukan hanya tidak bisa mengirim data tetapi Iron juga kehilangan ketikan yang belum ia simpan pada sebuah file itu. Semuanya hangus. Iron terkejut bukan main. Dia hendak memerotes, tetapi guru kami langsung mengisyaratkan agar kami keluar dari ruangan sekarang juga.

***

Malang benar nasib Iron. Sekarang jam istirahat, dia sedang gelisah sembari menikmati minuman dingin dari kantin. Sepertinya bukan nilai yang ia permasalahkan, melainkan perlakuan guru kami tadi.

"Aku heran sama Bapak itu. Emangnya gak ada gitu empati atau belas kasihannya sama aku? Dikiranya gampang buat ketikan sepanjang 5.000 kata. Terus tahu-tahu ilang dan kehapus gitu aja."

Aku tidak bisa berkomentar apapun. Dalam hal ini aku hanya bisa mengusap punggung Iron, berharap dia bisa sedikit tenang. "Santai, Ron. Mungkin bapak itu mau kita lebih disiplin. Biar on time."

Iron termenung. Menghela napasnya dalam-dalam. Lalu kemudian dia mengangguk. "Pulang sekolah aku mampir ke rumahmu ya, Ris?" tanyanya.

"Oh boleh sekalian kita ngerjain tugas. Oh ya Ron, pulang ke taman bentar ya, tapi. Mau ketemu cewek dulu. Ada janji."

"Alah, Ris. Gaya kamu sementang punya pacar. Iya deh iya, aku tunggu. Dah ah mau ke kelas." Iron langsung berdiri dan berjalan meninggalkanku.

"Ngapain sih ke kelas?"

Iron menoleh. "Mau cari cewek biar gak kayak jones pas di taman nanti."

***

Panas terik menyiram aspal.

Tahun ini kemarau panjang, sudah dua bulan hujan tidak turun ke bumi. Ya akhirnya beginilah nasibnya, kaki kami melepuh karena aspal panas. Ini tak luput karena sepatuku rusak saat mengejar Iron ke kelas tadi. Terjebak lumpur lalu kemudian tertancap paku. Mantaplah.

Yang aku salut, Iron rela melucuti sepatunya demi merasakan panasnya aspal yang terinjak kakiku. Dia bilang kalau kakiku melepuh maka kakinya juga harus diperlakukan sama.

Sekarang, menurut kalian kami akan ke mana? Ke taman? Salah. Atau bertemu dengan cewek yang kubilang tadi? Juga salah. Taman yang kami maksud sebenarnya adalah kebun stroberi milik pamanku, dan cewek yang kumaksud adalah buah stroberi yang kami tanam beberapa waktu lalu.

"Paman baru saja mau pergi. Eh kalian malah datang ke sini. Ada apa, Aris dan Iron?" Pria bertopi bundar, berbaju kaus oblong, bercelana pendek, dengan kumis tipis di atas bibir, juga badan yang tegap itu, adalah pamanku. Namanya Zul. Paman Zul kami memanggilnya. Dia adalah tukang kebun terkenal di kota kami, merangkap distributor stroberi yang disalurkan dari kebunnya sendiri. Aku dan Iron senang mampir ke sini untuk menghibur diri di tengah rutinitas belajar.

Oh ya, ada yang aku lupa bilang. Selain sahabat, aku dan Iron adalah sepupu. Dia anak dari kakak perempuan pertama ayahku. Sedangkan paman Zul adalah adik ayah. Total ayahku tiga bersaudara, dengan Paman Zul adalah anak bungsunya.

"Iya Paman, kami stress kalau di rumah terus. Males. Oh ya Paman, Kesa ada?" tanya Iron. Kesa adalah anak satu-satunya dari Paman Zul. Kesa masih berusia 4 tahun, lucu dan menggemaskan jika kalian melihat wajahnya. Rambutnya kriting memintil di bagian ujung, kulit putih, dan matanya cemerlang.

"Lagi tidur. Abis dimarahin ibunya, dia. Soalnya tadi pas di sekolah gak mau pulang, maunya tetap main perosotan. Tahulah sama Bibi kalian?" Kami berdua kompak mengangguk.

"Stroberi kami yang kemarin ada di mana ya, Paman?"

"Ha itu, di sana. Di ujung kebun sana. Yang paling kerdil. Hehehe." Paman malah tertawa. "Lama tumbuhnya. Heran paman sama tanaman kalian. Mungkin tangan kalian tidak cocok buat nanam stroberi. Bisa-bisa mati itu stroberi."

Kalau ngomong suka jujur.

Aku ikut tertawa, begitu juga Iron yang sudah melangkah menuju stroberi tanaman kami.

Stroberi kami belum berbuah. Soalnya belum sampai setengah bulan kami menanamnya. Ya beginilah, menanam stroberi dengan biji memang membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan menggunakan sulur.

"Kaki kalian kenapa bisa memerah begitu? Melepuh ya?" Paman melihat telapak kaki kami berdua yang sedang duduk bersimpuh. Kami menyiram biji stroberi yang mulai tunas sedikit.

"Iya, Paman. Jalanan panas sekali," jawab Iron.

"Kenapa tidak pakai sepatu?"

Aku menyengir mendengar pertanyaan itu. Lalu aku dan Iron saling lirik untuk meminta jawaban. Masa iya aku harus bilang sepatuku terbenam lumpur dan harus diamankan ke dalam kantung plastik. Dan masa iya juga Iron harus mengaku bahwa ia melepas sepatu demi kesetiakawanannya.

Alhasil kami hanya senyum-senyum sendiri selama menyiram tanaman stroberi, hingga akhirnya kami pamit pulang 30 menit setelahnya.

***

Buat yom bikin. 😊😊😊

My Lost Earth (Uneditted Vers)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang