"Mas Iced Chocolate nya satu ya"
"Oke mbak"
"Gulanya.."
"Gulanya sedikit, esnya banyakin, tambah sirup karamel satu sendok sama pakai sedotan harus warna putih"
"Eh... kok tau?"
"Gimana nggak tau mbak, kan mbak ke sini tiap minggu, saya hapal kok customer yang langganan ke sini hehehe"
"Wah gitu yaa, keren jugaa"
Ini cerita tentang aku dan Mingguku. Tentang hal yang tak pernah bosan aku lakukan, mengunjungi kedai kopi di sebrang jalan, setiap Minggu pagi menjelang siang. Meskipun sebenarnya.. aku tidak terlalu suka kopi sih.
"Ini ya mbak kembaliannya, nanti minumannya diantar 5 menit lagi"
"Oke mass nanti aku duduknya..."
"Di pojokan deket jendela yang ngadep ke barat"
"Hahaha seratuss deh buat masnya, okedeh di tunggu ya!"
"Siip mbak"
"Ohya mas, sama jangan lupa cookiesnya, di anter ke tempat biasa"
Dan selalu di situ, tempat favoritku. Dekat jendela, menghadap ke barat. Bukan, bukan karena dari situ aku bisa merasakan udara segar, bukan pula karena lebih sunyi dan sedikit orang. Tapi karena dari tempat itu aku bisa melihat langsung sosok lelaki itu. Dia selalu duduk sendiri ditemani segelas capuccino hangat. Mata dan tangannya tak lepas dari laptop dan kertas. "Orang sibuk" batinku. Tapi aku suka berdiam diri di pojok dekat jendela itu, sambil berpura pura mengerjakan sesuatu. Sesekali kualihkan pandanganku ke dia, yang sedang dengan muka serius mengerjakan tugas tugasnya.
Sudah enam bulan, aku dan Mingguku, duduk di pojok kedai kopi itu. Segelas Iced Chocolate menjadi saksi bisu, betapa aku selalu ingin tahu namanya. Namun untuk mengagumi dalam diam, ternyata aku lebih suka. Kalau cinta memang tidak harus punya. Tapi aku percaya cinta harus dibuktikan, makanya aku suka memberi kejutan.
——
"Ini mas cookiesnya" kata barista kedai kopi sambil menaruh sepiring cookies di meja lelaki yang sedang asik dengan laptopnya.
"Dari orang itu lagi mas?" Tanya lelaki itu.
"Iya.. hehe"
"Siapa sih mas? Masa saya selalu dapet cookies gratis dari orang yang nggak saya kenal"
"Yah maaf mas orangnya nggak mau dikasih tau, beneran deh" jawab barista itu sambil mengangkat dua jari tangannya.
"Tapi udah enam bulan loh mas saya terus terusan dapet cookies ini, kan saya jadi gaenak"
"Udah gapapa mas, makan aja"
Lelaki itu menghela napas
"Apa mau saya buang nih?" Tanya barista itu
"Eeh.. jangan jangan, yaudah gapapa. Makasih ya mas, sampaikan makasih saya juga ke orang itu"
———
Bahagiaku yang sedehana, melihat orang yang ku suka sedang memakan sepiring cookies yang kuberikan diam diam untuknya. Meskipun aku tak punya nyali untuk memberikan langsung, tapi setidaknya aku cukup beruntung, karena cookies itu selalu habis tak bersisa, dia suka manis, sudah kuduga.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, seiring berjalannya waktu, aku tetap setia duduk dalam diam di pojok kedai itu.
"Mau sampai kapan mbak?" Tiba tiba ada suara mengagetkan lamunanku.
"Eh mas, ngagetin aja"
Barista itupun duduk di sebelahku, "Daripada gapernah tau sama sekali, mending dicoba walau nggak punya nyali"
"Malu ah mas" kataku sambil menundukkan kepala
"Kenapa?"
"Ya masa cewek ngajak kenalan duluan kan maluu"
"Yah hahahah gapapa lagi udah santai aja nih, nih, daripada saya mulu yang ngasih mending hari ini mbak aja yang ngasih langsung"
"Aduh aduh jangan deh mas beneran deh saya malu"
"Udah gapapa mbak, percaya sama saya deh"
"Nggak ah mas nanti dia kira saya kepedean lagi"
"Mending sekarang atau nggak sama sekali" kata barista itu tegas sambil meninggalkan sepiring cookies di dekat tanganku.
Aku terdiam dan berpikir
"Mungkin benar juga.." kataku dalam hati "sekarang atau nggak sama sekali" aku bulatkan tekadku, menggenggam sepiring cookies itu sambil berjalan ragu penuh malu ke arah dia. Lelaki itu masih sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Semakin dekat..
Semakin dekat..
"Ha.. Ha.. Hai?"
"Hai sayangg! Kamu kok nggak angkat telfon aku sih aku udah misscall berkali kali loh, Mama sama Papa udah nungguin tuh katanya kamu mau fitting baju hari inii, gimana sih?"
Suara perempuan tiba tiba datang dari belakangku seraya berlari menghampiri lelaki itu dan duduk di sampingnya.
"Yaampun aku lupaa udah jam segini" lelaki itu terkaget sambil melihat jam, "maaf sayang tapi beneran kerjaan aku lagi banyak banget. Oke oke aku telfon mama dulu bentar mau ngabarin terus kita langsung ke sana ya"
"Tuhkan kamu kebiasaan deh kalau udah sama kerjaan, pasti yang lain dilupain"
"Iya maaf.. dress kamu yang kemaren gimana? Udah fix? Terus undangan jadi dicetak besok?"
Aku dan Mingguku, menjadi orang paling menyesal hari itu. Sakit hatiku, bukan karena dia. Apa salahnya? Bahkan namaku saja dia tidak tahu. Ini salahku, yang terlambat datang ke kehidupannya. Sedangkan dia yang tidak tahu apa apa, mana bisa disalahkan?
Minggu itu adalah minggu terakhir aku ke kedai kopi yang penuh dengan memori.
——
"Loh mbak kemana aja? Udah lama nggak kesini?"
"Hahahah iya, tiba tiba kangen sama tempat ini"
"Wah lama juga ya ada kali empat bulan nggak kesini, kirain udah pindah rumah mbaknya"
"Nggak, masih sama kok hehe, ohya mas saya pesennya..."
"Iced Chocolate gulanya sedikit esnya banyak pakai sirup karamel satu sendok sama sedotannya warna putih?"
"Wah wah wah masih apal aja nih mas"
"Hahaha iya dong"
"Tapi nggak mas, buat hari ini espresso panas aja nggak pakai gula sama sekali"
"Hah? Tumben... biasanya nggak suka kopi, maunya yang manis manis"
"Nggak papa mas, hidup saya sudah pahit, pengen ngerasain kopi yang pahit juga, biar saya ada temennya" kataku sambil tersenyum tipis
Tempat favoritku, masih sama seperti dulu. Di pojok dekat jendela. Namun bedanya, lelaki itu sudah tak lagi di sana. Dia mungkin sedang menjalani hari hari bahagia dengan wanita pendamping hidupnya. Terlambat sudah.
Sambil duduk di pojokan itu, aku masih memikirkan bagaimana jika dari awal aku langsung menyapanya? Kakiku mulai memberanikan diri berjalan ke arah kursinya, yang kini kosong tak bernyawa. Aku menghela napas. Memang penyesalan selalu datang di akhir. Aku duduk di kursi itu, kursi yang dulu diduduki lelaki pujaan hatiku yang bahkan namanya saja aku tidak tahu.
"Sudah cukup menyesalnya, yang lalu biarlah berlalu" kataku pada diriku sendiri.
Aku bangkit dari kursi itu dengan senyum yang merekah, kembali ke kursi pojok kedai favoritku tak sabar menikmati segelas espresso.
Lalu aku terkejut
Karena tidak hanya segelas espresso yang ada di sana. Namun juga.... sepiring cookies.
Hatiku berdegup kencang, sambil tak percaya aku lihat lagi sepiring cookies di mejaku. Ini benar benar ada di mejaku, dan aku tidak memesannya. Aku melihat sekeliling, orang orang tampak sibuk sendiri berlalu lalang. Sebelum sempat aku bertanya kepada barista yang mungkin salah menaruh pesanan, aku terdiam ketika melihat sepucuk surat terselip di balik cookies itu. Perlahan kuambil dan kubaca
"Ini sepiring cookies, untuk jiwa yang manis. Jangan terlalu lama terpuruk dalam pahitnya kehidupan, cinta dan perjuangan adalah bagian dari penyesalan. Karena sepahit apapun itu... pasti ada manis di sana"
Aku membaca sambil mengernyitkan dahi, batinku penuh tanya siapa kira kira yang menulis surat untukku terima
Kemudian aku mebalikkan kertas dan tertegun melihat sebaris kalimat di sana
"p.s. kenapa sedotannya harus warna putih?"
Aku tersenyum dan tertawa. Sampai aku lupa, ternyata ini bahagiaku yang pertama semenjak empat bulan terakhir yang kurasa.
YOU ARE READING
Iced Chocolate
Teen FictionJangan terlalu lama terpuruk dalam pahitnya kehidupan, cinta dan perjuangan adalah bagian dari penyesalan. Karena sepahit apapun itu... pasti ada manis di sana