Bun venit
[rumania: selamat datang]
Kiya 🌽
Copyright ©2017 Bun venit„
jika kamu biarkan masa lalu mengusik, kamu tak akan bisa berikan yang terbaik untuk mendapat masa depan yang lebih baik.
“**
kadang aku bingung, mengapa aku suka memiliki pikiran primitif seperti ini berkali-kali?
Padahal aku percaya jika Tuhanku telah menentukan takdirnya untukku. Tapi aku berkali-kali lupa dengan hal mutlak itu. Sungguh bodoh. Batinku.
Setelah sadar dari keprimitifan pikiranku, aku akan tertawa sendiri. Menyadari aku telah menjadi iri. Iri dengan hal fiktif.
Iri pada tokoh-tokoh cewek dalam beberapa novel yang sering menemaniku. Kisah-kisah sedih mereka yang hampir dan hampir selalu berakhir bahagia.
Konyol. Aku kembali tertawa jengah hingga aku menepuk pipiku berulang kali seperti yang sekarang sedang kulakukan. Hentikan, peringatku pada diriku sendiri.
Setidaknya dengan menepuk pipiku membantuku menyadarkan dan mengembalikan logikaku. Memisahkannya dari dunia khayal yang membuat hatiku menumbuhkan rasa iri lebih dalam.
Sungguh sial. Lagi-lagi aku iri pada tokoh cewek dalam novel yang baru saja aku baca.
Teman, saling jatuh cinta, menjadi sangat dekat, dan tiba-tiba ditinggalkan tanpa alasan. Beberapa hari berlalu hingga ternyata si cowok meninggalkannya karena memiliki kekasih baru.
Miris? tentu saja. Ditambah lagi si cewek yang tak mendapat penjelasan apapun dari si cowok. Tindakan bodohnya yang masih mengintit si lelaki bermesraan dengan kekasih barunya.
Bodoh! memang. Hingga aku lega karena si cewek memilih berpindah negara memutuskan untuk melupakan si cowok sialan yang hanya menyakitinya tanpa kejelasan.
Dan sekarang, inilah yang membuatku iri. Setelah menjadi sukses dengan impiannya dan memiliki sosok cowok yang menyukainya, si cewek dipertemukan kembali dengan si cowok sialan yang selama ini berusaha dia lupakan namun tak bisa.
Lebih baiknya lagi cowok yang menyukainya memiliki jiwa besar untuk menyatukannya dengan cowok sialan yang ternyata selama ini mencintainya dan meninggalkannya karena alasan yang sangat masuk akal untuk tidak diceritakan pada si tokoh cewek.
Damn, batinku kesal. Lagi dan lagi aku melempar dengan asal novel yang telah selesai kubaca ke bawah ranjangku.
Entah bagaimana bentuknya di bawah sana bersama novel-novel sialan yang membuat rasa iri dan dengkiku kembali muncul.
Kembali pikiran primitif-primitif itu menghampiriku. Mentertawakan nasibku yang miris, masih miris, dan mungkin tetap miris. Tak berakhir bahagia seperti novel yang baru saja kubaca.
Ponsel pintarku berdering. "Kampret!" kubaca sambil mengumpat. Itulah tulisan yang tertera pada ponselku yang sedang berdering.
Kampret. Aku menamai cowok sialan itu dengan nama yang memang aku rasa cocok untuknya. Selalu membuat air mataku terbuang sia-sia.
Aku heran kenapa aku masih saja mau kembali menjadi kekasihnya setelah apa yang dia lakukan. Selingkuh berulang kali dibelakangku dengan alasan hubunganku dengannya tidak mendapat restu dari kedua orang tuaku.
Arrgghh come on. Alasan si kampret itu nggak masuk akal banget. Logikanya kalo mau dapet restu dari orang tuaku ya baik-baikin aku lah. Berusaha buat orang tuaku percaya kalau dia memang pantas buat aku. Ini?