Requiem

1.5K 95 34
                                    

REQUIEM

09.05

Jam sembilan pagi, pengawas ujian datang. Aku tak menyangka kalau yang menjadi pengawas di ruang ujian kami adalah seorang pria muda yang terlihat seperti masih mahasiswa-mungkin ia kerja sambilan di bimbingan belajar ini. Walaupun sebagai sesama lelaki, aku bisa mengatakan bahwa wajahnya lumayan tampan, meski tubuhnya agak pendek untuk ukuran orang seumurnya. Ia mengenakan kemeja putih bergaris-garis coklat yang agak kusut, celana jeans biru yang warnanya sudah memudar, dan sepatu kets yang sepertinya sudah satu semester tidak dicuci. Meski begitu, tetap saja banyak teman-teman wanitaku yang berbisik-bisik genit ketika ia memasuki ruangan (mungkin itu karena kami sudah kelas tiga SMA, sehingga perbedaan umurnya tak terlalu jauh). Aku sendiri, hanya senang saja meperhatikan tingkah laku mereka.

Ia meletakkan tas ranselnya di bawah papan tulis dan meletakkan amplop coklat berisi lembar soal dan lembar jawaban di atas meja. Kemudian dia berdeham, memberi isyarat agar seisi kelas memperhatikannya.

"Tolong perhatikan, waktu kalian untuk mengerjakan soal, masing-masing satu jam tiap mata pelajaran. Yang sudah selesai boleh keluar lebih dulu, tapi dilarang berisik. Untuk nomor peserta dan nomor sekolah bisa dilihat di daftar hadir," ia menunjukkan selembar kertas yang ada di tangannya, "ada pertanyaan?"

Aku sedang menyiapkan pinsil 2B ketika Silvia mengangkat tangannya. Ia duduk tepat di depanku, sehingga aku dapat melihatnya dengan jelas.

"Ya?" tanya pengawas.

"Nama Kakak siapa?" tanya Silvia dengan lembut.

Spontan suara whuuu seisi kelas langsung terdengar menyoraki Silvia dan pertanyaannya, beberapa orang tertawa terbahak-bahak. Silvia memang primadona di kelas bimbel ini: cantik (rambut panjang sebahu dicat agak pirang), seksi (hampir semua murid pria hapal berapa senti jarak dari pinggang ke tepi roknya), tapi ia terlalu genit, terlalu sering cari-cari perhatian. Aku lebih suka dengan tipe seperti Amel-wanita yang duduk dua bangku di sebelah kananku-yang tidak banyak bicara, cantik, dan cerdas.

"Evan. Nama saya Evan," ucap pengawas itu sambil tersenyum. Tampaknya dia terkena perangkap Silvia, atau malah sebaliknya ya?

Kak Evan membagikan soal dan lembar jawaban satu persatu kepada kami, setelah itu ia meminta kami untuk mengisi daftar hadir. Suara alunan musik klasik yang lembut mulai terdengar dari speaker yang ditempelkan di sudut atap ruangan ini. Begitulah kebiasaan di tempat bimbel kami, mereka selalu memasang musik-musik klasik saat pelajaran dimulai, sebab mereka percaya ada semacam hubungan yang baik antara musik klasik dan kinerja otak. Silvia dan teman segengnya masih saja berisik dengan bisik-bisiknya, sementara aku sudah siap mengerjakan soal. Bagiku, try out ini memang bertujuan untuk menguji kemampuan sebelum Ujian Nasional nanti. Meskipun aku punya hobi bermusik dan bercita-cita menjadi musisi, namun tetap saja setelah lulus SMA ini aku berencana untuk kuliah di perguruan tinggi negeri favorit, sehingga aku tidak boleh main-main. Tentu dalam ujian yang sesungguhnya nanti aku tak menutup kemungkinan untuk memanfaatkan contekan, tapi tidak untuk try out ini.

10.55

Menit-menit berlalu tanpa terasa, sementara soal-soal matematika di hadapanku seperti menari-nari mengejek. Dari dua puluh lima soal, baru tujuh saja yang berhasil kujawab. Kadang-kadang aku tergoda untuk melirik teman di sebelahku, tapi aku tahu itu tak ada gunanya, sebab mereka pun sama saja. Kak Evan mengawasi kami dari tempat duduknya di muka kelas, kadang memainkan ponselnya, kadang juga berjalan berkeliling sambil memeriksa lembar jawaban peserta-seringnya sih ia bolak-balik di sekitar tempat duduk anak perempuan, dasar mahasiswa pemburu daun muda.

"Waktunya tinggal lima menit lagi!" ucap Kak Evan lantang.

Tiba-tiba saja sura kerisauan peserta ujian memenuhi ruangan yang semula hening, aku juga termasuk orang yang tiba-tiba mengeluh. Banyak teman-temanku yang terlihat pusing sambil garuk-garuk kepala, tapi lebih banyak lagi yang sibuk mengoper contekan. Dari tadi pun Silvia tidak henti-hentinya bertukar lembar jawaban dengan temannya, dan aku yakin Kak Evan tahu, tapi ia membiarkannya.

RequiemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang