7

32.5K 2K 7
                                    

Dave telah dipindahkan keruang rawat biasa, Vella memilih ruang rawat kelas satu untuk Dave dengan dua ranjang rawat didalamnya. Terpaksa Dave harus rela berbagi kamar dengan pasien lainnya.

"Siang Arman," Vella yang baru datang meletakkan bawaannya diatas nakas disamping ranjang rawat Dave.

"Siang Vella, kenapa kau lama sekali datangnya? Aku kesepian." Dave merengut, ngambek seperti anak kecil tak mendapat keinginannya membuat Vella tertawa kecil. Ia membantu Dave duduk dan menumpuk bantal dibelakang punggung pria itu supaya Dave bisa bersandar dengan nyaman.

"Maaf, tadi saya ada keperluan," Vella membuka bungkusan makanan yang dibawanya dan mengambil tempat ditepi ranjang Dave, "makan dulu ya."

Dengan telaten Vella menyuapi Dave dengan makanan yang dipegangnya, ini menjadi tugasnya setiap hari dan ia dengan senang hati melakukannya. Dave tak suka makanan rumah sakit karena menurutnya terasa hambar, dan ia meminta Vella membelikan makanan untuknya sekaligus menyuapinya.

Sebentar saja isi bungkusan ditangan Vella telah berpindah kelambung Dave, Vella membantu Dave minum, menyodorkan gelas berisi air putih yang diminum Dave memakai sedotan. Vella meletakkan gelas yang telah kosong ketempatnya semula.

Vella menatap Dave intens, "Apa kau ingat sesuatu?" Lebam-lebam dimuka pria itu berubah warna menjadi ungu kehitaman, penyanggah dilehernya telah dilepas begitu juga gips dilengannya. Rambutnya sudah mulai tumbuh dan kepala plontosnya terlihat mulai menghitam, dan untungnya para orang-orang yang berkeliaran dikamar rawat ini tetap tak bisa mengenali Dave.

Dave menggeleng lesu, ia tak mempunyai memori sedikit pun tentang masa lalunya bahkan namanya sendiri ia tak tahu. Dave merasa ia seperti alien yang terlempar dari dimensi lain dan terdampar didunia manusia. Saat ini satu-satunya manusia yang dikenalnya hanyalah Vella dan ia percaya saja saat vella mengatakan namanya adalah Arman.

Tak banyak data dirinya yang bisa dikoreknya dari Vella, menurut cerita Vella mereka pernah bekerja disatu kantor dan tak terlalu akrab hanya kenal nama dan wajah, Vella juga tak mengetahui seluk beluk keluarganya juga teman-temannya sehingga gadis itu tak bisa menghubungi dan memberitahukan kondisinya pada pihak keluarga.

Vella sengaja merahasiakan identitas pria itu yang sebenarnya, ia menunggu kondisi pria itu stabil dan kesehatannya pulih. Saat ini ada satu hal yang ingin dilakukan Vella demi Dave, dan ia tengah diambang keraguan akan melakukannya atau tidak. Mempertimbangkan baik buruknya buat Dave juga keselamatan pria itu.

***

Setelah berpikir panjang dan matang disinilah Vella sekarang, duduk di bagian pojok sebuah kafe dengan cappucino dingin dihadapannya. Tangannya memutar-mutar gelas minuman dengan mata terarah kepintu masuk menanti kedatangan seseorang. Sudah sepuluh menit ia berada ditempat ini dengan gelisah, ia tak bisa meninggalkan Dave sendirian dirumah sakit.

Vella bangkit berniat meninggalkan kafe tersebut tapi urung begitu melihat sosok yang ditunggunya muncul dipintu masuk. Pria tinggi dengan memakai pakaian santai itu menjelajah seisi kafe dengan matanya dan mengangguk pelan saat matanya bersirobok dengan Vella yang melambai kearahnya.

"Silahkan duduk Pak Toni," Toni menurut dan matanya menatap Vella tajam seperti mengingat siapa wanita didepannya.

"Kau....Vella kan? Novella Maharani divisi keuangan yang dipecat Pak Dave beberapa waktu yang lalu?" tanyanya sedikit ragu.

"Benar Pak Toni, saya Vella, ada sesuatu yang penting yang ingin saya sampaikan. Tapi sebelumnya saya ingin tahu bagaimana keadaan perusahaan saat ini?"

Toni menghela nafas berat, ia seperti memendam sebuah beban berat dipundaknya, "Buruk Vella, sangat buruk. Semenjak Dave meninggal perusahaan dan semua aset Dave berpindah kepemilikan atas nama Claudia. Aku sudah berusaha mempertahankan milik Dave tapi gagal, wanita itu memiliki surat penyerahan harta Dave pada Claudia yang ditanda tangani lelaki itu, aku sendiri tidak tahu kapan Dave membuat surat itu. Aku tak nyaman bekerja disana dan berniat mengundurkan diri."

Vella menarik nafas lega, ia tak salah mengambil langkah dan yakin Toni bisa dipercaya dan berada dipihak Dave.

"Saya rasa sebaiknya anda jangan mengundurkan diri dari perusahaan Pak Dave, karena......"

Toni penasaran dengan perkataan Vella yang menggantung, ia mendorong tubuhnya mendekat kearah meja dan menatap Vella dengan raut ingin tahu, "kenapa Vella, kau ingin mengatakan sesuatu?"

"Pak Toni, saya harap bapak tidak terkejut mendengar kabar ini," Vella menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan keras, "Pak Dave masih hidup."

Toni terkejut, bola matanya membesar dan tubuhnya kian condong ketas meja kafe mempersempit jaraknya dengan Vella, ia ingin meyakinkan telinganya masih normal dan ia tak salah dengar, "APA!!!!?????"

Vella menoleh kesekeliling takut pertanyaan keras Toni barusan mengganggu pengunjung lain, tapi untunglah kafe ini sepi dan jarak meja yang terisi berada jauh dari tempat mereka duduk.

" Pak Dave masih hidup dan saat ini ia sedang dirawat dirumah sakit." Ulang vella memperjelas keterangannya.

Toni tak bersuara, ia terlihat shock dan hanya menatap Vella tak percaya, ia merasa gadis didepannya tengah bercanda.

"Jangan main-main Vella, saya tahu kamu sakit hati karena dipecat Dave, tapi sekarang ia sudah meninggal dan tak baik membuat lelucon orang yang sudah tidak ada." Suara Toni terdengar dingin dan tegang, ia memendam kemarahannya.

"Saya tidak bercanda Pak Toni, saya menemukan pak Dave dipinggir jalan tak jauh dari mobilnya terbakar dan membawanya kerumah sakit," Vella menyerahkan ponselnya kearah Toni memperlihatkan foto Dave yang terbaring diranjang rumah sakit.

Toni memperhatikan foto itu dengan teliti, detik berikutnya ia terbelalak dan menatap Vella dan ponsel itu bergantian. Meski orang yang difoto penuh lebam dan kepalanya plontos Toni bisa mengenali pria itu adalah Dave.

Toni menggeleng keras, wajahnya pucat pasi, "Tidak....tidak mungkin, Dave telah meninggal dalam kecelakaan itu, aku sendiri yang melihat kerangkanya dalam bangkai mobilnya dan aku juga yang ikut memakamkannya." Tubuh Toni bergetar hebat, ia sangat terkejut. Ia seperti mendengar petir menggelegar disiang bolong.

"Tapi itu kenyataannya Pak Toni, Pak Dave masih hidup."

Toni menghela nafas lega dan bersandar dipunggung kursi, mengusap wajahnya pelan, "Syukurlah, berarti aku bisa membawa Pak Dave kekantor dan merebut miliknya kembali dari Claudia. Ayo Vella antar aku padanya, banyak hal penting yang harus kami bicarakan." Toni berdiri dan bersiap hendak berlalu.

"Tapi pak Toni, ada satu lagi masalah besar," Toni urung melangkah dan kembali duduk ditempatnya, "Pak Dave amnesia."

Toni terduduk lemas, baru saja ia mendapat semangat baru dalam hidupnya dan detik berikutnya semangat itu terampas kembali dengan tragisnya.

"Oh my god," Toni menangkup wajahnya frustasi, ia benar-benar buntu sekarang, ia bahagia mengetahui bosnya masih hidup sekaligus kecewa sang bos hilang ingatan.

"Sebaiknya bapak menemuinya dulu, siapa tahu setelah melihat bapak ia bisa mengingat sesuatu." Toni mengangguk dan bangkit dari kursinya, mengekori Vella yang telah lebih dulu melangkah keluar.

***

 

GIVE ME YOUR HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang